kaltimkece.id Hutan gambut dan mangrove disebut memiliki peran yang amat penting dalam menjaga keberlangsungan hidup umat manusia. Kedua lahan basah tersebut mampu menyerap banyak karbondioksida (CO2) yang dapat membahayakan kesehatan makhluk hidup. Ironinya, puluhan ribu hektare lahan basah di Kaltim dilaporkan rusak.
Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kaltim, Rafiddin Rizal, saat mengikuti acara bertajuk Ekspose Pengelolaan Lahan Basah Berbasis Masyarakat di Kalimantan Timur, Selasa, 11 Juli 2023, di Hotel Mercure Samarinda. Ia menyebut, Kaltim saat ini memiliki kawasan hidrologi gambut sekitar 141.000 hektare dengan kondisi ekosistemnya terganggu. Selain itu, Bumi Etam memiliki hutan mangrove di beberapa daerah.
“Hutan mangrove di Delta Mahakam luasnya hampir 150.000 hektare. Kondisinya, lebih dari 50 persen mengalami degradasi akibat berbagai sebab,” kata Rizal.
Sejumlah upaya melindungi lahan basah di Kaltim dilakukan. Salah satunya, Pemprov Kaltim menjalin kerja sama dengan Bank Dunia. Kerja sama ini menghasilkan program bernama Forest Carbon Partnership Facilities. Rizal menjelaskan, upaya ini dilakukan karena lahan basah memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga lingkungan hidup. Kemampuan lahan basah menyerap CO2 disebut jauh lebih besar dibandingkan ekosistem daratan lainnya.
“Itu sebabnya, dalam kerangka Kesepakatan Pembangunan Hijau atau Green Growth Compact (GGC) yang diluncurkan pada 2016, Kaltim membagi pengelolaan lahan basah menjadi tiga inisiatif model,” sebut Rizal. Ia berharap, pengelolaan lahan gambut berbasis kolaborasi di Muara Siran, Delta Mahakam, dan Mesangat-Suwi dapat memberikan model pengelolaan multipihak atas berbagai tipologi lahan basah yang berbeda.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Daerah Kaltim, Sri Wahyuni, menyampaikan, pengelolaan lahan basah di Kaltim perlu dikerjakan secara partisipatif dan kolaboratif. Alasannya, dukungan dari berbagai pihak dalam mengelola lahan basah telah terbukti membantu menurunkan emisi karbon di Kaltim sesuai target.
“Dalam hal ini, daya partisipasi warga tinggi dan capaian program bisa dirasakan oleh warga setempat,” katanya.
Kawasan mangrove di Delta Mahakam, Kutai Kartanegara. FOTO: DOKUMEN KALTIMKECE.ID
Para Pengelola Lahan Basah
Acara pada Selasa itu diadakan oleh DLH Kaltim, Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kaltim, Yayasan Konservasi Alam Nusantara, dan beberapa mitra pembangunan. Dalam acara tersebut, Ketua Harian DDPI Kaltim, Profesor Daddy Ruhiyat, menyebutkan, ada empat lahan basah di Kaltim yang dikelola. Keempatnya yakni lahan gambut di Desa Muara Siran, hutan mangrove di Kecamatan Anggana (Kutai Kartanegara), hutan mangrove di Kampung Semanting (Berau), serta rawa dan riparian di Mesangat-Suwi (Kutai Timur).
“Peran masyarakat menjadi kunci keberhasilan pengelolaan lahan basah yang lestari di empat wilayah tersebut,” sebut Prof Daddy.
Program pengelolaan lahan basah tersebut merupakan hasil Kesepakatan Pembangunan Hijau (GGC). GGC adalah aksi kolaboratif berbagai pihak, mulai dari pemerintah, swasta, lembaga nonpemerintah, perguruan tinggi, masyarakat adat, dan masyarakat sipil. Tujuannya mempercepat pencapaian “Kaltim Hijau”.
Sejak GGC dideklarasikan pada 2016, sudah ada 13 inisiatif model pengelolaan sumber daya alam berbasis lanskap. Tiga inisiatif di antaranya dikhususkan untuk pengelolaan lahan basah. Ketiganya yaitu kemitraan pengelolaan Delta Mahakam, kemitraan perlindungan lahan basah Mesangat-Suwi, serta pengelolaan kolaboratif ekosistem gambut Muara Siran. Ada pula inisiatif model program karbon hutan Berau. Program ini mengelola hutan mangrove di Kampung Teluk Semanting.
Keempat inisiatif tersebut dikelola oleh sejumlah mitra kerja. Salah satunya Yayasan Mangrove Lestari. Yayasan ini mengelola ekosistem mangrove di Delta Mahakam, Kukar. Ekosistem mangrove di kawasan ini disebut mengalami kerusakan karena pembukaan lahan. Hal ini menyebabkan berkurangnya hasil laut dan meningkatkan penyakit.
Mitra lainnya adalah Yayasan Ulin dan Yasiwa. Kedua lembaga tersebut berkolaborasi mengelola kawasan ekosistem esensial dengan spesies endemik buaya badas hitam (Crocodylus siamensis) di Mesangat-Suwi, Kutai Timur. Ada juga Yayasan Bioma yang mendampingi masyarakat di daerah gambut di Muara Siran. Kemudian Perisai Alam Borneo mendampingi masyarakat dalam mengelola ekosistem mangrove di Kampung Teluk Semanting.
Acara Ekspose Pengelolaan Lahan Basah Berbasis Masyarakat di Kalimantan Timur diadakan di Hotel Mercure Samarinda, Selasa, 11 Juli 2023. FOTO: ISTIMEWA
Pengelolaan yang Menguntungkan
Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) mendukung pengelolaan lahan basah berbasis masyarakat yang menyelaraskan kebutuhan ekologi dan kesejahteraan warga. Bersama DDPI, YKAN melakukan koordinasi, fasilitasi, serta peningkatan kapasitas para mitra pembangunan yang terjun langsung dalam pengelolaan lahan basah. Mitra-mitra ini yakni YML, Yasiwa, Yayasan Bioma, dan Perisai Alam Borneo.
Keempat mitra tersebut mendorong pendekatan pengelolaan lahan basah yang dipadukan dengan perlindungan partisipatif dengan meningkatkan ekonomi alternatif masyarakat. Salah satu upayanya adalah mengedukasi warga Muara Siran, yang rata-rata membudidayakan sarang burung walet, untuk lebih peduli terhadap ekosistem gambut. Jika lahan gambut rusak, hasil produksi sarang burung walet diyakni akan turun.
“Peningkatan ekonomi alternatif membuka kesadaran secara perlahan bahwa lingkungan di sekitar warga yang dijaga juga bisa menghasilkan,” jelas Alfan Subekti, Manajer Senior Pembangunan Hijau YKAN.
Selain di Muara Siran, pengelolaan lahan basah yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat juga dilakukan di Delta Mahakam hingga Teluk Semanting. Sejumlah perempuan di Delta Mahakam didampingi dalam mengolah hasil perikanan. Mereka juga melindungi ekosistem mangrove yang berperan penting dalam menjaga hasil tangkapan ikan. Adapun warga Kampung Teluk Semanting mengembangkan wisata mangrove. Di wisata ini, pengunjung bisa berkemah dan melihat bekantan.
“Apa yang Kaltim lakukan saat ini memang belum ideal tapi setidaknya, dengan komitmen dan kolaborasi, lahan basah bisa tetap lestari,” ujar Alfan. (*)