kaltimkece.id Matahari mulai jatuh di sebelah barat ketika rombongan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI tiba di sebuah kolam raksasa. Danau buatan yang berkeliling pepohonan hasil reklamasi itu dulunya lubang tambang. Sebuah pondok kecil dan keramba ikan milik warga berdiri di dekat tepi kolam.
Senin menjelang petang, 29 Juli 2019, para komisioner Komnas HAM meneliti benar lubang bekas tambang di Simpang Pasir, Palaran, Samarinda. Selain melihat lokasi, Komnas HAM bertemu dua keluarga korban lubang tambang. Mereka adalah Marsini, ibunda almarhum Maulana Mahendra, 11 tahun. Maulana adalah korban kedelapan yang tenggelam tepat pada Hari Natal 2012 silam. Satu lagi adalah Karti, kakek dari korban ke-34 atas nama Natasya Aprilia Dewi, 11 tahun. Natasya tenggelam pada 29 Mei 2019. Kepada Komnas HAM, keluarga korban meminta lubang tambang segera ditutup. Mereka berharap, tak ada lagi korban yang jatuh.
Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, mengatakan bahwa kedatangan Komnas HAM ke Kaltim adalah kesekian kalinya. Lembaga ini ingin memastikan penyebab korban terus-menerus berjatuhan. “Mengapa negara masih membiarkan persoalan lingkungan seperti ini sehingga korban terus berjatuhan?” kata Sandrayati kepada kaltimkece.id.
Padahal, sambungnya, Komnas HAM telah memantau teror lubang tambang di Kaltim sejak 2015. Saat itu, ibunda dari almarhumah M Raihan Saputra (10) membuat laporan resmi ke Komnas HAM. Raihan adalah korban lubang tambang yang meninggal pada 22 Desember 2014.
Dua tahun selepas laporan tersebut, tepatnya pada 2016, Komnas HAM mengeluarkan sejumlah rekomendasi mengenai persoalan lubang tambang. Rekomendasi tersebut ditujukan kepada pelbagai pihak. Pertama, kepada pemerintah, Komnas HAM meminta Pemprov Kaltim selaku pemegang kewenangan pertambangan di daerah memoratorium, menginventarisasi, dan mengevaluasi seluruh izin tambang. Provinsi juga harus meningkatkan pengawasan dalam tahap reklamasi dan pascatambang.
Kepada Polda Kaltim, rekomendasi Komnas HAM adalah meminta penyelidikan yang profesional dalam peristiwa korban meninggal di lubang bekas tambang batu bara itu. Saat mengeluarkan rekomendasi ini, Siti Noor Laila selaku ketua Komnas HAM menyatakan, penyidikan kepolisian belum menjangkau luasnya persoalan maupun jumlah korban.
"Selemah-lemahnya iman, polisi bisa menggunakan pasal kelalaian dari pihak perusahaan. Hampir semua tambang yang kami lihat di lokasi tidak memasang bahwa ini wilayah bahaya. Dari 27 kasus, polisi merespons dan menyampaikan update perkembangan baru dua kasus," jelas Siti di Jakarta, 21 November 2016 silam.
Rekomendasi selanjutnya ditujukan kepada korporasi. Komnas HAM meminta perusahaan tambang melakukan remedi terhadap hak korban. Misalnya tunjangan belasungkawa dan pemulihan psikologis keluarga yang ditinggalkan.
Rekomendasi yang dikeluarkan tiga tahun lalu itulah yang dicek Komnas HAM sekarang. Apakah dijalankan atau tidak? "Kalau kami lihat di lapangan seperti ini, sepertinya rekomendasi tidak dijalankan. Semacam tidak ada tanggung jawab terutama dari pemerintah,” tegas Hairansyah, wakil ketua Komnas HAM. Menurutnya, aktivitas eksploitasi tambang batu bara tidak aman untuk masyarakat terutama anak. Seharusnya, ada tindakan konkret menyelesaikan masalah ini. Bukan masyarakat yang mendekati lingkungan pertambangan, aktivitas pertambangan-lah yang mengambil lokasi permukiman.
Berkoordinasi dengan KPK
Mochammad Choirul Anam, komisioner Komnas HAM yang ikut dalam kunjungan di Samarinda menilai, teror lubang tambang adalah kelalaian yang teramat-sangat. Abai yang mendekati kesengajaan. Keadaan ini tak bisa dibiarkan karena telah berlangsung lama dan korban terus berjatuhan. Itu sebabnya, Komnas HAM memastikan bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
Sebagai tindak lanjut, rombongan Komnas HAM berencana menemui Gubernur Kaltim Isran Noor. Komisi akan mempertanyakan tindakan konkret Pemprov Kaltim menyelesaikan persoalan anak meninggal di lubang tambang.
Menurut dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, langkah Komnas HAM melibatkan KPK harus didukung. Koordinasi bersama KPK sangat penting untuk menunjukkan keseriusan penegakan hukum. Lagi pula, jelas Rupang, kasus lubang tambang di Kaltim sudah sangat darurat. Keberpihakan Gubernur Kaltim Isran Noor juga disebut tidak ada. Terlihat dari tiadanya kebijakan yang jelas dalam agenda keselamatan publik khususnya anak.
“Angka 35 itu bukan sekadar angka. Itu adalah nyawa. Mau berapa nyawa lagi yang hilang sampai pemerintah sadar bahwa harus ada langkah konkret menghentikan teror lubang tambang,” kata Rupang.
Dalam catatan Jatam, sejak 2011 hingga 2019, sudah 35 anak yang meninggal di lubang bekas tambang. Korban terbanyak berasal dari Samarinda --kota yang dikelilingi lubang tambang-- yakni 21 orang. Adapun korban terbanyak kedua berasal dari Kutai Kartanegara yakni 12 orang. Sisanya, satu korban jatuh di Kutai Barat, satu lagi di Penajam Paser Utara.
Masih menukil data Jatam, setidaknya ada 1.735 lubang tambang batu bara yang ditinggalkan tanpa reklamasi dan rehabilitasi di sekujur Kaltim. Jumlah lubang tambang dihasilkan hanya dari 60 persen izin tambang dari total 1.404 izin usaha pertambangan (daerah) dan 30 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (pusat).
“Bayangkan jika seluruh izin tambang beroperasi 100 persen. Benar-benar mengerikan,” tutupnya. (*)
Editor: Fel GM