kaltimkece.id Ferdinandus Jalaq sibuk memilah potongan kayu jelutung ketika lengannya menyenggol kaleng cat yang sedikit terbuka. Pemuda berusia 21 tahun itu segera membetulkan letak wadah tersebut kemudian melanjutkan pekerjaannya. Di dalam ruangan beralas karpet seluas 40 meter persegi yang terkena ceceran cat, Ferdinand kembali bekerja. Ia tenggelam berteman kepingan papan, ampelas, pernis, cat, dan pahat.
Jumat petang, 24 Februari 2023, Ferdinand baru saja menyelesaikan pembuatan topeng hudoq ketika ditemui reporter kaltimkece.id. Beberapa karyanya dipajang di rumah kontrakannya di Jalan Sentosa, Sungai Pinang, Samarinda. Ada alat musik sapeq, mandau, serta perisai khas Dayak.
Ferdinand menekuni karya seni lokal sejak masih di bangku SMA di Kutai Barat. Ia tinggal di Samarinda sekarang karena kuliah di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman. “Sebagian besar karya seni ini terbuat dari kayu. Material utamanya adalah kayu jelutung,” jelasnya.
Masyarakat Dayak disebut sudah akrab dengan kayu ini. Jelutung cocok dijadikan karya seni karena ringan tetapi kuat. Kayu ini juga tidak mudah pecah. Ferdinand pernah menggunakan kayu ringan yang lain seperti sengon untuk membuat topeng. Akan tetapi, kayu tersebut pecah ketika dipotong.
Kayu jelutung berbeda. Topeng hudoq, misalnya, terbuat dari kayu jelutung yang sudah ditipiskan. Topeng lebih ringan dan tidak pecah. Aksesori itu nantinya dikenakan orang-orang Bahau saat menari dalam ritual sebelum menanam padi.
“Masalahnya, mendapatkan kayu jelutung perlu perjuangan lebih. Saya harus memesan dari Kutai Barat atau Mahakam Ulu,” kata Ferdinand. Ia memesan kayu dari seorang kenalan yang sering keluar-masuk hutan.
Pohon dengan Banyak Manfaat
Jelutung berasal dari famili Apocynaceae. Spesiesnya ada dua yaitu jelutung darat (Dyera costulata) dan jelutung rawa (Dyera polyphylla). Perbedaan keduanya adalah tempat tumbuhnya. Spesies ini tersebar di semenanjung Malaya, Kalimantan, dan Sumatra. Pohon ini masuk dalam perhatian regulasi mengenai konservasi pohon langka (Cerita 100 Pohon, 2019, hlm 51-54).
Pohon jelutung tingginya bisa 65 meter. Diameter terbesar batangnya 3 meter dengan cabang hanya di bagian atas. Kulit pohon kehitaman sementara daunnya bulat dan panjang. Pada akhir abad ke-19, jelutung dikenal karena getahnya. Getah pohon ini adalah primadona untuk bahan baku permen karet sebelum memakai getah karet. Hindia Belanda mengekspor jelutung dengan nama “Dead Borneo” atau “Pontianak” sejak 1905 (hlm 53).
Getah jelutung juga digunakan sebagai isolator kabel bawah laut. Sementara ekstrak daun jelutung mengandung antioksidan sebagai analgesic. Jelutung darat juga berperan sebagai penghambat alergi. Dari fungsi ekologi, akar jelutung darat dapat mengabsorsi tembaga (Cu) di dalam tanah (Pendugaan Potensi Populasi dan Ekologi Jelutung (Dyera Costulata (miq.) Hook. F) di Harapan Rain Forest (HRF-PT REKI) Jambi, 2016, hlm 1).
Sebaran pohon jelutung saat ini hanya tersisa di hutan lindung. Sementara itu, upaya budi daya pohon disebut rentan gagal karena kebakaran hutan dan lahan.
Kepada kaltimkece.id, Prof Paulus Matius dari Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, memberikan penjelasan. Ada kayu ringan yang bernama pulai (Alstonia Sp), dalam bahasa Benuaq sering disebut jelutung atau lelutung. Sebaran spesies ini adalah satu sampai dua pohon per hektare di hutan sekunder. Pohon ini masih bisa ditemukan di hutan primer walaupun tidak sebanyak dulu. Adapun jelutung (Dyera costulata), kini merupakan kayu langka. Dalam sekian puluh hektare, belum tentu pohon ini tumbuh.
“Di Bukit Bengkirai, saya hanya menemukan satu pohon jelutung di pinggir jembatan gantung. Pada prinsipnya, kedua kayu ini sama-sama ringan sehingga sering dipakai orang zaman dulu untuk perisai atau papan untuk kiang/kebaaq,” terang Prof Paulus.
Guru besar yang meraih gelar doktor dari Universitas Albert-Ludwig, Freiburg, Jerman, itu melanjutkan, pohon jelutung atau pulai punya keunikan. Kedua spesies yaitu jelutung darat dan rawa (gambut) memiliki sifat yang sama. Pohon ini mampu menyesuaikan diri yang baik.
“Ciri khas utamanya yaitu mengeluarkan getah putih ketika dipotong. Warna kayunya putih kekuningan, lentur, ringan, tetapi kuat. Makanya, orang Dayak zaman dulu memilih kayu ini," jelas Prof Paulus.
Daniel Ngo adalah bagian dari Lembaga Adat Dayak Samarinda. Ia menjelaskan bahwa kayu jelutung merupakan warisan hutan Kalimantan kepada masyarakat Dayak. Itulah sebabnya, kayu hanya diambil secukupnya. Hutan dan masyarakat adat Dayak, sambung Daniel, sudah seperti sahabat karib.
"Kayu jelutung, dalam bahasa Dayak Bahau, adalah kitaq. Kayu ini ringan dan mudah dibentuk. Kitaq sering digunakan dalam karya seni dan kebudayaan Dayak. Awal mulanya, orang dulu memilih kayu kitaq dari hutan karena lebih ringan dibawa dibanding kayu ulin," jelas Daniel.
Ia mengatakan, keberadaan kayu jelutung sudah mengkhawatirkan. Pembukaan hutan besar-besaran menyebabkan kayu ini makin sukar ditemukan. Ada yang lebih berbahaya dari itu. Identitas masyarakat Dayak yaitu hutan bisa ikut lenyap seiring kepunahan kayu jelutung. (*)
Senarai Kepustakaan