• Berita Hari Ini
  • Warta
  • Historia
  • Rupa
  • Arena
  • Pariwara
  • Citra
Kaltim Kece
  • WARTA
  • LINGKUNGAN
  • Yang Terlewat dari Bagi-Bagi SK Hutan Adat

WARTA

Yang Terlewat dari Bagi-Bagi SK Hutan Adat

Presiden Joko Widodo menyerahkan 19 SK Hutan Adat seluas 77.185 hektare. Sebuah kampung di Mahulu yang bertahun-tahun berjuang justru tak kebagian.
Oleh Surya Aditya
24 Februari 2023 02:16
ยท
4 menit baca.
Presiden Jokowi menyerahkan SK perhutanan sosial dan hutan adat di Kelurahan Karang Joang, Balikpapan Utara. FOTO: BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Jokowi menyerahkan SK perhutanan sosial dan hutan adat di Kelurahan Karang Joang, Balikpapan Utara. FOTO: BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN

kaltimkece.id Syaifuddin dan Sukarman terburu-buru menuju panggung ketika nama mereka disebut Presiden Joko Widodo. Kedua lelaki itu menyusul rekan mereka, Legiman, yang lebih dulu berdiri di samping Presiden di dekat mimbar. Setelah semuanya naik ke pentas, Presiden lantas menanyakan kegunaan perhutanan sosial yang telah diberikan negara.

Rabu sore, 22 Februari 2023, Jokowi menyerahkan 514 Surat Keputusan Perhutanan Sosial. Luas perhutanan sosial yang tersebar di seluruh Indonesia itu 321.800 hektare dan digunakan 59.267 kepala keluarga. Sebagian dari penerima SK ialah Syaifuddin, Sukarman, dan Legiman. Ketiganya memperoleh SK secara simbolis dari Presiden Jokowi di Ekowisata Hutan Bambu, Kelurahan Karang Joang, Balikpapan Utara. Sebagian penerima yang lain mengikuti acara dari jalur virtual.

Syaifuddin menjawab pertanyaan Presiden dengan sekali tarikan napas. Ia bersama sejumlah warga telah mengelola hutan sosial seluas 200 hektare di Kilometer 15, Karang Joang. Secara swadaya, mereka menggunakan 20 hektare hutan sebagai ekowisata meranti. Lokasi wisata tersebut dibangun supaya generasi muda dapat melihat dan mengetahui fungsi pohon meranti. 

“Sejumlah pelajar SD dan SMP kerap berkemah di wisata ini,” kata Syaifuddin.

Dari pengelolaan wisata meranti, Syaifuddin dan kolega mendapat pemasukan. Mereka menarik retribusi dari pelancong. Pungutan itu bersifat sukarela sehingga tak ada patokan tarifnya. Pengelola ekowisata juga menyewakan sejumlah gazebo. Presiden memuji aktivitas tersebut.

“Ini bagus. Saya senang. Jadi, ada tempat-tempat wisata untuk anak-anak kita mengenal alam. Anak-anak jangan tiap hari pegang smartphone saja. Ajak juga mengenal meranti, ekaliptus, akasia, dan pohon-pohon lainnya,” tutur Jokowi.

Syaifuddin kemudian menjelaskan kekurangan lokasi wisata yang ia kelola. Jalan masuk sepanjang 450 meter masih tanah. Jokowi yang sudah mengetahui maksud Syaifuddin itu segera menyela. “Ya, sudah. Nanti jalannya dikerjakan Pak Menteri PU,” ucap Jokowi seraya menunjuk Menteri Pekerjaan Umum, Basuki Hadimuljono, yang duduk di belakangnya.

Selain membagikan SK Perhutanan Sosial, Jokowi menyerahkan 19 SK Hutan Adat seluas 77.185 hektare. Ada pula 46 SK Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 73.743 hektare kepada 40.669 penerima. Jokowi mengakhiri pertemuan hari itu ketika langit Balikpapan mulai gelap.

“Semua SK harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan kita semua. Kami memberikannya agar semua lahan-lahan produktif. Jangan ditelantarkan,” pesan Jokowi kemudian mengucapkan salam perpisahan.

Suasana penyerahan SK perhutanan sosial, hutan adat, dan TORA di Balikpapan. FOTO: BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN
 

Yang Berjuang yang Tak Kebagian

Makarius Inus adalah salah seorang penerima SK Hutan Adat dari Jokowi di Balikpapan. Kepada kaltimkece.id, Kepala Adat Dayak Seberuang di Kampung Singi, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, itu memberikan penjelasan. 

“Hutan adat kami yang telah di-SK-kan seluas 4.272 hektare,” sebutnya.

Makarius mengaku, tidak sulit memperoleh SK tersebut. Ia dibantu Wahana Lingkungan Hidup setempat dalam mengajukan permohonan pengakuan masyarakat adat kepada Pemkab Sintang pada 2019. Sebulan kemudian, permohonan dikabulkan. Makarius mengajukan permohonan pengakuan hutan adat di kampungnya pada 2020. Semua prosesnya berjalan mulus.

“Kalau saja tidak ada Covid-19, mungkin, SK-nya terbit tahun itu juga,” ucapnya.

Bagi Makarius, SK Hutan Adat amat penting. Lewat SK tersebut, hutan yang telah memberikan kehidupan bagi Makarius dan komunitas sukunya dapat dilestarikan. Setidaknya, mereka punya landasan mengusir cukong yang hendak membabat hutan.

“Hutan telah memberikan kami makanan dan obat-obatan. Kami berburu dan berladang di hutan. Kelestariannya sangat penting bagi kami,” bebernya. Ia menambahkan, sebagian hutan adat akan dikembangkan menjadi wisata ramah lingkungan. “Ada tiga air terjun. Nanti kami kelola secara profesional,” imbuhnya.

Karpet merah yang dilewati Makarius itu yang tak pernah dirasakan masyarakat Kampung Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu. Sejak 2016, masyarakat adat Long Isun mengusahakan hutan seluas 12.000 hektare untuk diakui negara sebagai hutan adat. Sampai hari ini pengakuan tersebut tak pernah ada. 

Foto udara Kampung Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, Mahakam Ulu. Berharap hutan adat mereka segera diakui negara. FOTO: ARSIP KALTIMKECE.ID
 

Upaya memperoleh pengakuan hutan adat tidak lepas dari warga yang bersitegang dengan perusahaan kayu di lokasi tersebut. Konflik ini sempat menyebabkan tokoh pemuda Long Isun, Theodorus Tekwan Ajat, ditangkap dan ditahan selama 109 hari pada Agustus 2014. Tekwan dituduh memeras dan merampas aset perusahaan. Padahal, menurut Tekwan, ia hanya meminta kegiatan perusahaan disetop karena menyalahi aturan.

“Sampai hari ini, status tersangka yang disandang Tekwan belum dicabut walaupun sudah dibebaskan,” jelas Direktur Kelompok Kerja 30, Buyung Marajo, kepada kaltimkece.id. Pokja 30 adalah bagian dari Koalisi Kemanusiaan untuk Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat yang mendampingi masyarakat Long Isun. Koalisi itu juga termasuk Walhi Kaltim, Perkumpulan Nurani Perempuan Samarinda, dan Jaringan Advokat Lingkungan.

Buyung mengkritik Presiden Jokowi yang membagi-bagikan SK pengelolaan kehutanan. Menurutnya, hutan adat di Long Isun yang belum diakui adalah bentuk ketidakadilan. “Narasi menyejahterakan rakyat lewat hutan yang dibunyikan Presiden seperti lips service,” ucapnya. 

Perwakilan warga Long Isun menemui Ketua DPRD Kaltim Makmur HAPK pada 2018. Berjuang agar hutan adat mereka memperoleh pengakuan negara. FOTO: ARSIP KALTIMKECE.ID
 

Founder Nurani Perempuan Samarinda, Martha Doq, menguraikan hambatan dalam proses hutan adat di Long Isun. Kendala terbesar adalah belum adanya peta batas wilayah hutan yang hendak dijadikan hutan adat. Sebenarnya, Pemkab Kutai Barat–kabupaten induk Mahakam Ulu–pernah menyusun peta partisipatif di Long Isun pada 2010-2011. Namun, pemetaan dianggap tak partisipatif karena tak ada masyarakat Long Isun yang dilibatkan. Hasil pemetaan tersebut tak disetujui warga.

“Terlalu banyak wilayah Long Isun yang diambil dengan tujuan perusahaan bisa masuk,” sebutnya.

Koalisi masyarakat sipil menegaskan, pengakuan hutan adat dari negara di Long Isun amat mendesak. Kelestarian hutan Long Isun berarti kehidupan masyarakat yang berburu, bercocok tanam, dan memperoleh obat-obatan dari alam. (*)

Editor : Fel GM
Iklan Above-Footer

Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi kaltimkece.id

Gabung Channel WhatsApp
  • Alamat
    :
    Jalan KH Wahid Hasyim II Nomor 16, Kelurahan Sempaja Selatan, Samarinda Utara.
  • Email
    :
    [email protected]
  • Phone
    :
    08115550888

Warta

  • Ragam
  • Pendidikan
  • Lingkungan
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Humaniora
  • Nusantara
  • Samarinda
  • Kutai Kartanegara
  • Balikpapan
  • Bontang
  • Paser
  • Penajam Paser Utara
  • Mahakam Ulu
  • Kutai Timur

Pariwara

  • Pariwara
  • Pariwara Pemkab Kukar
  • Pariwara Pemkot Bontang
  • Pariwara DPRD Bontang
  • Pariwara DPRD Kukar
  • Pariwara Kutai Timur
  • Pariwara Mahakam Ulu
  • Pariwara Pemkab Berau

Rupa

  • Gaya Hidup
  • Kesehatan
  • Musik
  • Risalah
  • Sosok

Historia

  • Peristiwa
  • Wawancara
  • Tokoh
  • Mereka

Informasi

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Hubungi Kami
© 2018 - 2025 Copyright by Kaltim Kece. All rights reserved.