kaltimkece.id Ratusan orang berkumpul di sebuah tempat persinggahan di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Sebagian besar di antara mereka adalah warga Desa Pemaluan di Sepaku. Ada pula utusan Otorita Ibu Kota Negara Nusantara, kepolisian, TNI, hingga sejumlah kepala desa yang terdampak pembangunan IKN.
Jumat, 8 Maret 2024, sekira pukul sembilan pagi, mereka berdiskusi mengenai tata ruang IKN. Otorita disebut meminta bangunan yang tidak berizin dan tak sesuai tata ruang Wilayah Perencanaan IKN untuk dibongkar. Permintaan tersebut segera diprotes sejumlah warga. Mereka merasa diusir pemerintah.
"Dalam pertemuan itu, enggak ada tawaran apakah warga boleh tidak pindah atau tempat layak untuk pindah. Jadi, ini jelas pemaksaan," kata Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Mareta Sari, dalam konferensi pers via Zoom Meeting, Rabu, 13 Maret 2024.
Kurang dari 24 jam setelah pertemuan itu atau pada Jumat sore, lebih dari 200 warga Desa Pemaluan menerima surat teguran pertama. Dalam salinan surat yang diterima kaltimkece.id, penerima surat diminta membongkar rumah mereka dalam tujuh hari terhitung sejak menerima surat. Surat tersebut ditandatangani Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN Nusantara, Thomas Umbu Pati.
Satu dari antara alasan pembongkaran karena rumah warga tak memiliki sertifikat kepemilikan. Artinya, rumah warga dianggap ilegal. Delapan aturan yang menjadi dasar pembongkaran rumah turut dicantumkan dalam surat berlogo IKN Nusantara itu (lihat infografik).
"Surat itu telah membuat warga resah dan ketakutan," beber Mareta. Padahal, sambungnya, ia menerima informasi warga yang rumahnya hendak dibongkar. Warga itu disebut telah menempati rumah tersebut sejak 1993.
Warga kini didampingi Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim. Koalisi ini terdiri dari 11 organisasi di antaranya Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman (Saksi FH Unmul), Jatam Kaltim, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kaltim, Kelompok Kerja 30, Lembaga Bantuan Hukum Samarinda, hingga Perempuan Mahardika.
Belakangan, surat perintah pembongkaran rumah itu dicabut. Mareta Sari dan peneliti dari Saksi FH Unmul, Herdiansyah Hamzah, menilai, pencabutan tersebut cuma akal-akalan. Mereka menduga, tujuan pencabutan surat adalah meredam emosi warga atau melihat respons publik.
"Apabila kemarahan publik sudah reda, sangat mungkin upaya pembongkaran rumah ini kembali dilanjutkan," kata Castro, panggilan Herdiansyah Hamzah.
Upaya selanjutnya diyakini berbeda dari skema sebelumnya. Mareta menebak-nebak skema berikutnya. Jika pertemuan sebelumnya dihadiri ratusan orang, pertemuan berikutnya diyakini mengundang segelintir orang. Atau, bisa juga tak ada pertemuan melainkan utusan pemerintah mendatangi rumah warga satu per satu. Tujuan dari skema ini disebut untuk menggembosi kekuatan warga.
"Coba lihat, pasti nanti ditanya lagi, 'sertifikat hak milik bangunannya mana?' Kalau ini terjadi, tentu saja posisi warga makin melemah," ingat Mareta.
Dugaan tersebut bukan tanpa dasar. Castro menyebut, menggusur paksa permukiman warga untuk kepentingan pembangunan pernah terjadi di sejumlah daerah. Kasus yang dialami warga Wadas, Rempang, Poco Leok, hingga Air Bangis disebut sama persis dengan warga Pemaluan.
"Pola-pola seperti ini sudah dilakukan sejak zaman penjajahan dan Orde Baru. Jadi, makin jelas wajah asli rezim sekarang," sebutnya.
Pemerintah, lanjut Castro, seharusnya tidak serta-merta melihat sertifikat sebagai dasar kepemilikan bangunan dan tanah. Lama warga bermukim juga harus diperhitungkan. Pendapat itu diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi 3/2010 yang menyatakan bahwa negara dalam mengelola sumber daya alam, termasuk tanah, tidak bisa mengingkari keberadaan warga yang secara turun-menurun bermukim di sebuah tanah.
"Putusan itu konteksnya bukan hanya untuk warga adat tapi juga warga lokal karena mereka juga warga Indonesia," jelasnya.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kaltim mendata, dari ratusan rumah yang hendak dibongkar, dihuni 419 orang. Ketua aliansi tersebut, Saiduani Nyuk, menyatakan, apabila upaya membongkar rumah warga belum berhenti, pihaknya menempuh jalur hukum.
"Meminta pembongkaran rumah dalam tujuh hari itu tidak berperikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia," ucap Saiduani.
Konferensi pers ditutup dengan pembacaan lima sikap Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim atas kasus yang menimpa warga Pemaluan. Direktur Kelompok Kerja 30 Kaltim, Buyung Marajo, membacakan sikap-sikap tersebut. Pertama, Koalisi menolak upaya-upaya penggusuran paksa masyarakat lokal dan masyarakat adat dari tanahnya dengan dalih apapun.
Kedua, masyarakat lokal dan masyarakat adat merupakan bagian kelompok rentan yang sudah menjadi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan. Ketiga, menyatakan dokumen tata ruang yang dibentuk tanpa partisipasi sejati masyarakat lokal dan masyarakat adat adalah dokumen yang cacat hukum.
Keempat, menolak pembangunan IKN yang menggusur hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat. Yang terakhir, menyerukan seluruh rakyat untuk membangun solidaritas bersama.
"Hanya dengan cara bersatu, keputusan penguasa yang menindas dan tidak memihak rakyat bisa kita lawan," seru Buyung Marajo.
Penjelasan Otorita IKN
kaltimkece.id berupaya meminta klarifikasi Otorita IKN Nusantara mengenai surat pembongkaran rumah warga Pemaluan. Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN Nusantara, Thomas Umbu Pati, mengatakan, sedang rapat pada Rabu, 13 Maret 2024, sehingga belum bisa memberikan penjelasan. Ia memastikan, segera memberi klarifikasi seputar masalah ini.
Mengutip Kaltim Today, Thomas Umbu Pati dari Otorita IKN meluruskan kabar yang menyebut pihaknya meminta warga sekitar IKN merobohkan bangunan rumah. Menurut Thomas, kabar itu tidak benar. Otorita IKN tidak tiba-tiba datang dan memerintahkan pembongkaran.
Thomas menjelaskan, jauh sebelum surat peringatan pertama dilayangkan pada 4 Maret 2024, sudah ada sosialisasi perencanaan pembangunan IKN. Sosialisasi pada Mei 2023 itu disebut melibatkan berbagai unsur. Polda Kaltim, Polres PPU, Kodim, Trantibum OIKN, kelurahan, desa, tokoh masyarakat, dan perwakilan masyarakat setempat dilibatkan.
"Saya keliling sosialisasi. Dari Sepaku, sampai Loa Janan di Kukar sana. Kami minta masyarakat untuk tahan diri membangun, menyesuaikan dengan tata ruang yang sudah kami (Otorita) susun," terang Thomas ketika dikonfirmasi pada Senin, 11 Maret 2024, masih dikutip dari Kaltim Today.
Dalam perkembangannya, kata Thomas, rupanya pembangunan masih terus terjadi. Pembangunan bahkan sampai mengambil ruang-ruang milik jalan sekitar proyek pembangunan IKN. Keberadaan bangunan baru ini justru membuat kawasan sekitar proyek makin kumuh.
"Kami punya datanya, lengkap. Data per bangunan, per keluarga, ada semua," sebutnya.
Berdasarkan data Otorita IKN, hasil identifikasi bangunan baru di wilayah jalan Sepaku berjumlah 294 unit. Bangunan tersebut tersebar di empat desa; Sukaraja, Bukit Raya, Bumi Harapan, dan Pemaluan. Bangunan terbagi dalam empat jenis; rumah tinggal 163 unit, ruko 24 unit, rumah makan 22 unit, dan kios 85 unit.
Oleh sebab itu, Thomas menegaskan, Otorita IKN tak pernah tiba-tiba mengeluarkan perintah pembongkaran rumah warga. Selain itu, katanya, Otorita tidak mungkin membongkar permukiman warga yang sudah berdiri jauh sebelum IKN ditetapkan. Menurutnya, narasi tersebut tidak masuk akal.
"Rumah pun akan kami pilah, sebelum dan sesudah IKN. Tidak akan sembarangan, tidak mungkin bangunan lama langsung disuruh bongkar. Menurut saya keterlaluan juga kalau itu dilakukan," tegasnya. (*)