kaltimkece.id Pohon-pohon sawit tumbuh subur di sepanjang jalan dari Simpang Riko sampai permukiman di pinggir Teluk Balikpapan di pesisir Penajam Paser Utara. Di sepanjang tepi jalan itu, berdiri beberapa papan putih bertuliskan, "Dilarang melakukan kegiatan pemanfaatan tanah tanpa izin Bank Tanah." Pelang-pelang tersebut dipasang setiap 300 meter.
Jalur tersebut memang tengah sibuk belakangan ini. Jalan tol Balikpapan-Ibu Kota Nusantara dan Bandara Very Very Important Person (VVIP) IKN tengah dikerjakan di situ. Kedua proyek ini terletak di Kecamatan Penajam dan Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU. Lima kelurahan berdampingan dengan pembangunan infrastruktur IKN tersebut. Kelimanya yakni Kelurahan Riko, Maridan, Pantai Lango, Jenebora, dan Gersik.
Safarudin dan Isah adalah pasangan suami-istri yang bermukim di Kelurahan Maridan, Kecamatan Sepaku. Kepada kaltimkece.id, Jumat, 22 Maret 2024, keduanya membenarkan bahwa lahan mereka seluas 2 hektare pernah dipasangi pelang tadi. Pelang dipasang tanpa sepengetahuan mereka.
"Jadi, kami cabut saja karena lahan ini milik kami," tutur Safarudin.
Pria berusia 52 tahun itu bercerita, lahan tersebut ia peroleh dari Pemkab PPU pada 2004. Waktu itu, pemkab membagi-bagikan lahan kepada sejumlah warga Penajam untuk berusaha. Keluarga Safarudin memanfaatkan lahan tersebut untuk bertani sawit. Bibitnya mereka dapatkan juga dari pemkab.
Sebagai bukti kepemilikan lahan, Safarudin dan Isah mengantongi segel. Atas dasar itu, keduanya menolak lahan mereka diambil secara cuma-cuma. Mereka bersedia melepaskan lahan tapi dengan syarat; lahan yang diambil hanya sebagian dan harus diganti rugi.
"Kalau diambil semua, mau hidup dari mana lagi kami. Ini (kebun sawit) satu-satunya usaha kami," jelas Safarudin yang merupakan anggota Kelompok Tani Benuo Taka Satu.
Rusman, 65 tahun, adalah ketua kelompok tani tersebut. Kepada kaltimkece.id, ia menyebut bahwa 29 anggota kelompoknya bernasib sama seperti Safarudin. Lahan-lahan milik mereka dipasangi sejumlah pelang pelarangan berkegiatan pada 2022 tanpa sepengetahuan pemilik.
Pemasangan pelang tersebut termasuk di kebun sawit seluas 23 hektare di Kelurahan Pantai Lango, Kecamatan Penajam, milik Nur Hayati, istri Rusman. "Semua pelang itu sudah saya cabut karena saya harus mencari nafkah," tutur Rusman.
Jika Safarudin mendapatkan lahan dari pemkab, tidak demikian Nur Hayati. Ia memperoleh puluhan hektare lahan dari ayahnya, Asim bin Sahid. Sebagai bukti, Nur Hayati memperlihatkan sebuah surat keterangan memiliki tanah. Surat bertanggal 8 Maret 1975 itu menerangkan, tanah kurang lebih 23 hektare di Pantai Lango adalah milik Asim bin Sahid. Surat berkop garuda merah itu ditandatangani Asim bin Sahid, ketua RT, kepala Kampung Pantai Lango, dan camat Balikpapan Seberang (kini Penajam).
"Zaman itu, sertifikat hak milik, ya, surat ini," kata Nur Hayati, 60 tahun. Ia dan keluarga menegaskan, menolak cara-cara yang dilakukan pemerintah dalam menguasai lahan mereka.
Sementara itu, Rusman mengkritik, pemasangan pelang pelarangan berkegiatan sama saja pencurian lahan. Rusman mengaku, ikut dalam pertemuan di kantor Badan Bank Tanah di Kelurahan Pantai Lango pada 23 Januari 2024. Dalam pertemuan tersebut, Badan Bank Tanah menyatakan akan mengganti rugi lahan yang terdampak proyek IKN, termasuk milik Nur Hayati. Rusman sangsi dengan pernyataan tersebut karena tidak disuratkan.
"Siapa yang percaya omongan kalau tidak ada hitam di atas putih," ucapnya.
Nasib serupa juga dialami Andante Mustari, warga Balikpapan. Keluarganya memiliki lahan 1 hektare di Kelurahan Riko, Penajam. Lahan tersebut dibeli belasan tahun silam dengan harga Rp 40 juta. Akad jual-beli tanah dilangsungkan pada 2010 disaksikan kepala adat setempat dan direkam videonya.
Lahan 1 hektare itu juga dipasangi pelang pelarangan beraktivitas padahal telah bersegel. Andante pernah mengklarifikasi pemasangan pelang tersebut kepada Badan Bank Tanah pada 2022. Kepadanya, Badan Bank Tanah mengklaim bahwa lahan yang dipasangi pelang adalah milik PT Triteknik Kalimantan Abadi alias TKA. Bank Tanah disebut mengambil alih lahan 4.346,05 hektare milik perusahaan sawit tersebut karena tidak dikelola sejak 2019.
Merasa ada yang janggal dari informasi tersebut, Andante melakukan observasi secara mandiri. Ia memetakan lokasi pemasangan pelang. Peta tersebut kemudian dicocokkan dengan peta area PT TKA yang diperoleh Andante. Hasilnya, sebagian pelang berdiri di luar lahan milik PT TKA.
"Saya pernah mempelajari ilmu topografi. Jadi, saya tahu cara membuat peta," katanya.
Lagi pula, sambungnya, sebagian lahan PT TKA ini bersengketa. Perusahaan mendapatkan izin hak guna usaha (HGU) seluas 4.346,05 hektare pada 1997. Akan tetapi, PT TKA hanya mengelola sekitar 1.200 hektare di antaranya. Sisanya tidak dikelola karena sejumlah warga juga mengklaim lahan tersebut.
Lahan Bekas HGU
Saling klaim ini menimbulkan masalah ketika Pemkab PPU hendak melebarkan jalan di lahan tersebut pada 2014. Menurut Andante, warga menolak pelebaran jalan karena lahan mereka yang terkena dampak pembangunan belum diganti rugi. Sementara itu, pemkab enggan membayar karena lahan tersebut berstatus HGU yang berarti milik negara. Pemkab menyarankan lahan warga dikeluarkan dari HGU agar bisa disertifikatkan.
Angin segar berembus ketika izin HGU PT TKA habis pada 2019. Waktu itu, terbit Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional 4/PTT-HGU/KEM-ATR/BPN/IV/2010. Surat tersebut memiliki beberapa keputusan. Salah satunya, PT TKA telah menelantarkan 3.069,82 hektare lahan di Penajam.
PT TKA dibolehkan memperpanjang izin HGU namun hanya 1.276,23 hektare. Usulan perpanjangan izin dilakukan dalam satu bulan sejak surat keputusan ini terbit pada 25 April 2019.
"Nyatanya, perusahaan tidak memperpanjang izin," kata Andante.
Terbitnya surat keputusan menteri sempat menimbulkan harapan warga untuk mendapatkan legalitas di lahan mereka. Alih-alih mendapatkan sertifikat, sambungnya, surat tersebut justru dijadikan dasar oleh Badan Bank Tanah untuk menguasai lahan bekas PT TKA.
"Dari sinilah, gejolak antara warga dan Bank Tanah muncul," tuturnya.
Perkiraan pemanfaatan dan jumlah warga yang mengklaim lahan bekas HGU PT TKA dapat dilihat dalam dokumen Reforma Agraria, HPL Badan Bank Tanah di Penajam Paser Utara. Dari luas bekas HGU tersebut, Badan Bank Tanah mendapat hak pengelolaan 4.162 hektare. Sebanyak 347 hektare di antaranya dialokasikan untuk Bandara VVIP IKN, 150 hektare untuk Seksi 5B tol Balikpapan-IKN, 1.715 hektare untuk reforma agraria perkebunan, dan 168 hektare untuk reforma agraria non-perkebunan.
Masyarakat yang mengklaim lahan di area Bandara VVIP dan tol Seksi 5B dibagi dua golongan. Keduanya yakni penguasaan fisik masyarakat (punya alas legalitas) dan tidak ada penguasaan fisik masyarakat (tidak punya alas legalitas). Di area Bandara VVIP, terdapat 105 warga yang tidak memiliki legalitas atas lahan dengan luas 40,57 hektare. Sementara itu, 54 warga yang memiliki legalitas atas lahan 94,60 hektare.
Untuk area tol Seksi 5B, sebanyak 26 orang memiliki legalitas atas lahan 16,39 hektare dan 33 orang tidak memiliki legalitas atas lahan 25,95 hektare. Apabila ditotal, sebanyak 218 orang yang mengklaim lahan di area Bandara VVIP dan tol Seksi 5B. Safarudin, Rusman, Nur Hayati, dan Andante selaku warga yang diwawancara media ini, adalah empat orang dari antara ratusan warga tersebut.
Kembali ke Andante selaku warga yang mengaku memiliki hak di sebagian lahan tersebut, jumlah orang yang mengklaim tadi disebut masih bisa bertambah. Belum semua pemilik lahan di bekas HGU PT TKA yang dihitung.
"Dalam sebuah sosialisasi saja, undangannya mencapai 650 orang," sebutnya.
Selisih pendapat antara warga dan Bank Tanah sempat menimbulkan pergolakan. Pada Jumat sore, 23 Februari 2024, sejumlah petani mendatangi lokasi pembangunan Bandara VVIP IKN Nusantara. Mereka meminta pembangunan tersebut dihentikan karena berdiri di atas lahan mereka.
Aksi serupa digelar kembali pada Sabtu pagi, 24 Februari 2024. Beberapa jam kemudian atau pada Sabtu malam, sembilan petani yang mengikuti demonstrasi di Bandara VVIP IKN ditangkap Kepolisian Daerah Kaltim. Mereka dituduh melakukan pengancaman karena membawa senjata tajam saat aksi dan menghambat jalannya pembangunan.
Pada Jumat, 1 Maret 2024, kesembilan petani itu dibebaskan dengan syarat. Mereka diharuskan wajib lapor. Pembebasan dilakukan setelah Penjabat Bupati PPU, Makmur Marbun, bersurat ke Polda Kaltim. Bupati meminta proses hukum para petani itu ditangguhkan.
Di tengah perjuangan warga mempertahankan lahan, beredar surat imbauan berlogo Bank Tanah. Surat bertanggal 18 Maret 2024 itu melaporkan, terdapat bangunan atau pondok di lahan hak pengelolaan (HPL) Bank Tanah di Penajam. Pendirian bangunan tersebut disebut tanpa seizin Bank Tanah sebagai pemegang sertifikat hak atas tanah.
Surat itu juga menjelaskan bahwa pembangunan di lahan HPL Bank Tanah tanpa izin bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 51/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Pasal 2 dalam peraturan tersebut berbunyi, "Dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya."
Ketentuan pidananya diatur dalam pasal 6 ayat 1 huruf a dan b yang menyatakan, "Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal-pasal 3, 4 dan 5, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan."
Warga yang lahannya terdampak proyek Bandara VVIP dan tol IKN kini didampingi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim. Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Fathur Roziqin Fen, menyampaikan kritik. Ia menyebut, pemasangan pelang larangan berkegiatan hingga di luar batas bekas HGU adalah bentuk arogansi pemerintah.
"Padahal, jelas-jelas ada lahan warga juga di HGU itu," ucap Fathur.
Pemerintah, ujar dia, seharusnya membereskan dulu masalah lahan tersebut. Legalitas lahan yang menjadi hak warga mesti diberikan kepada pemiliknya. Baru, setelah itu, pembangunan dapat dilaksanakan.
"Ini, kok, terbalik," imbuhnya.
Penjelasan Bank Tanah
Bank Tanah mempunyai tugas mengumpulkan lahan yang menganggur. Lembaga setingkat kementerian ini tiba di PPU pada 2022. Pramudya AP adalah staf Badan Bank Tanah di PPU. Ia merupakan purnawirawan TNI berpangkat brigadir jenderal.
Ditemui di kantornya di Pantai Lango, Pramudya mengklarifikasi semua tuduhan warga. Ia membantah jika Bank Tanah disebut memasang pelang tanpa pemberitahuan. Ia menyebut, sosialisasi pemasangan pelang dilakukan sejak dua tahun sebelum pemasangan. Koordinasi pemasangan pelang dilakukan melalui aparat tingkat paling bawah dari ketua RT, lurah, bupati, hingga gubernur.
Pramudya membenarkan, Bank Tanah mengambil alih lahan bekas HGU PT Triteknik Kalimantan Abadi. Alasannya, lahan tersebut ditelantarkan berdasarkan Surat Keputusan 4/PTT-HGU/KEM-ATR/BPN/IV/2010. Atas dasar itu, ia menampik ihwal pemasangan pelang di luar area bekas HGU PT Triteknik Kalimantan Abadi. Menurutnya, pemasangan pelang sudah sesuai zona bekas HGU tersebut.
"Sertifikat hak pengelolaan (lahan bekas HGU PT TKA)-nya telah diberikan kepada kami," katanya.
Mengenai surat imbauan pelarangan mendirikan bangunan, Pramudya membenarkan surat tersebut dikeluarkan Bank Tanah. Ia menyebut, surat itu dibuat karena pihaknya menemukan pondok-pondok yang baru dibangun di lahan bekas HGU TKA. Penerbitan surat bertujuan mengamankan aset negara. Tanpa tindakan, kata Pramudya, lahan rawan disalahgunakan oleh oknum mafia tanah.
Penerbitan surat imbauan tersebut juga bagian dari upaya persuasif Bank Tanah. Apabila imbauan tidak diindahkan, Bank Tanah akan mengambil langkah berikutnya yakni memberikan surat peringatan pertama, kedua, hingga menempuh jalur hukum baik melalui pidana maupun perdata.
Pramudya menjelaskan, dari sekitar 4.000 hektare lahan bekas HGU TKA, sebagian akan digunakan untuk proyek Bandara VVIP IKN dan tol Balikpapan-IKN. Sisanya dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk reforma agraria. Artinya, pemilik sah atas lahan di bekas HGU tersebut akan mendapatkan sertifikat. Pendataan pemilik sah dilakukan oleh tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).
"Mereka akan mendapatkan legalitas yang jelas. Nanti akan ada surat-suratnya," jelasnya.
Bagi lahan masyarakat yang terkena dampak proyek IKN, pemerintah akan mengganti-rugi tanam tumbuh. Bahkan, terang Pramudya, ganti rugi telah berjalan dari sebelum Ramadan 2024. Besaran ganti ruginya bervariasi dari ratusan juta hingga Rp 2 miliar. Pramudya mengaku tak tahu berapa besaran yang akan diterima warga lainnya. Hal tersebut diurus GTRA dan pemerintah pusat.
Ditanya mengenai warga yang tak mau melepaskan lahannya untuk proyek IKN, Pramudya menjawab diplomatis. "Itu sudah keputusan pemerintah, ya, bukan keputusan kami," sebutnya.
Dalam rapat dengar pendapat di DPR RI, Jakarta, Senin, 18 Maret 2024, Kepala Otorita IKN Nusantara, Bambang Susantono, memastikan, pembangunan IKN dilakukan dengan cara-cara yang humanis. Proyek ini disebut turut mengusung konsep ramah masyarakat setempat. (*)