kaltimkece.id Sederet jurnal terindeks Scopus dari Universitas Mulawarman mengibarkan nama kampus di dunia internasional. Menurut lembaga internasional SCImago Institutions Rankings yang merilis peringkat perguruan tinggi di seluruh dunia, Unmul meraih posisi pertama universitas se-Indonesia dalam penelitian dan inovasi di bidang energi. Unmul juga menempati posisi ke-189 se-Asia dan peringkat ke-365 sedunia menurut pemeringkatan bergengsi ini.
“Pencapaian ini sangat membanggakan. Kami membuktikan bahwa Unmul bisa sejajar dengan kampus ternama di Indonesia bahkan Asia,” terang Rektor Unmul, Prof Masjaya, kepada kaltimkece.id, Kamis, 29 April 2021. Masjaya menambahkan, pemeringkatan ini semakin mengokohkan visi dan misi Unmul sebagai universitas berstandar internasional.
Subjek penelitian dan inovasi Unmul bukanlah energi konvensional seperti minyak-gas bumi dan batu bara. Ilmuwan Unmul justru meneliti biomassa, sumber energi terbarukan dari hutan tropis lembap Kalimantan yang melimpah. Inilah harta karun Kaltim yang niscaya menjadi sumber energi dunia pada masa depan.
Atas bantuan Fakultas Kehutanan, Unmul, kaltimkece.id menerima salinan delapan jurnal terindeks secara internasional tentang riset biomassa. Nyaris seluruh penelitian menemukan bahwa hutan tropis basah di Kaltim sangat cocok untuk pengembangan tanaman biomassa.
Lalu, sebenarnya apa biomassa itu? Singkatnya, energi biomassa berasal dari bahan organik yang dihasilkan lewat proses fotosintesis. Energi biomassa dapat ditemukan di pepohonan, ubi-ubian, semak belukar, hingga kotoran ternak. Yang membuat biomassa lebih unggul dibanding bahan bakar fosil adalah sumber energinya yang terbarukan. Biomassa telah menjadi perhatian negara-negara maju yang terus berlomba mengembangkan energi terbarukan dan ramah lingkungan.
Ditilik dari jenisnya, ada empat klasifikasi energi biomassa menurut cara mendapatkannya. Yang pertama dan paling sederhana adalah dengan membakar (thermal conversion) untuk mendapatkan energi panas maupun syngas.
Cara kedua, yang lebih rumit, dengan mengonversi sumber biomassa menjadi gas metana. Biomassa ini lazim disebut biogas. Metana diperoleh dari fermentasi anaerobik (tanpa udara) dari bakteri methan atau bakteri anaerobik. Biogas berupa metana persis seperti gas bumi yang bisa dipakai buat menyalakan kompor hingga memutar turbin pembangkit listrik.
Jenis energi biomassa yang ketiga diperoleh dari mengonversinya menjadi etanol. Senyawa alkohol ini terbuat dari gula. Penemuan terbaru menunjukkan, etanol bisa diperoleh dari selulosa serat kayu. Dalam perkembangannya, etanol dapat dijadikan campuran premium atau pertalite yang disebut gasohol.
Terakhir, jenis biomassa yang keempat adalah biodiesel. Bahan baku campuran solar ini terutama dari minyak sawit mentah atau CPO. Produk biodiesel sudah ditemukan di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar di Tanah Air.
Biomassa dari Chip Kayu
Bumi Kaltim adalah gudang biomassa yang besar. Hutan tropis lembap di provinsi ini kaya akan vegetasi yang bukan hanya menyimpan karbon dalam jumlah besar, tetapi mudah dan cepat dibudidayakan.
Dalam jurnal bertajuk Plant diversity and energy potency of community forest in East Kalimantan, Indonesia: Searching for fast growing wood species for energy production (2016), ilmuwan Fahutan Unmul meneliti kandungan energi biomassa dari 31 jenis tanaman. Seluruh vegetasi berasal dari hutan tropis di Desa Telaga, Kutai Timur.
Hasil penelitian menemukan bahwa tanaman dengan potensi energi yang besar belum tentu ideal sebagai sumber biomassa. Vegetasi dengan potensi energi yang besar umumnya memerlukan waktu tumbuh yang lama dan seringkali rakus lahan. Sebaliknya, tanaman dengan potensi energi kecil hingga sedang biasanya lebih cepat tumbuh dan tidak banyak memerlukan lahan. Umumnya, dari kelompok tanaman trubusan berumur pendek (short rotation crops).
Para peneliti memilah yang terbaik. Didapati bahwa jenis semak berkayu (shrub) cocok dikembangkan untuk biomassa. Energinya lumayan, tidak juga terlalu makan lahan. Spesies dari semak tersebut ialah sambung nyawa (Vernonia amigdalina), laban (Vitex pinnata), sirih hutan (Piper aduncum), gamal (Gliricidia sepium), kaliandra (Calliandra calothyrsus), dan beberapa lagi yang lain.
“Jenis semak ini cocok dikembangkan sebagai spesies tumbuhan energi di masa depan menggunakan sistem panen jangka pendek,” tulis Prof Rudianto Amirta dan kolega dalam jurnal tersebut.
Dalam jurnal yang lain berjudul Searching for potential wood biomass for green energy feedstock: A study in tropical swamp-peat forest of Kutai Kartanegara (2019), peneliti mencari tanaman yang paling cocok atau dominan tumbuh di lahan gambut yang punya potensi sebagai bahan baku energi yang tinggi. Para ilmuwan Unmul memeriksa 23 pohon dan empat semak. Hasilnya, vegetasi yang dominan adalah kahoi (Shorea balangeran) yang memiliki potensi energi 2,96 MWh per ton. Kandungan energi ini tergolong sedang (middle class). Sedangkan potensi energi tertinggi diperoleh dari tanaman Tristania obovata dengan potensi produksi energi sebesar 4,60 MWh per ton biomassa kering.
Tetumbuhan di atas dianggap cocok dibuat chip atau kepingan kayu. Chip bisa dipakai buat bahan bakar pembangkit listrik. Menurut laporan Prof Rudianto selaku peneliti utama biomassa sekaligus dekan Fahutan Unmul, biomassa dari chip cocok untuk pembangkit listrik berskala kecil hingga besar. Terlebih lagi di Kaltim yang memiliki lahan yang luas untuk ditanami pelbagai jenis tanaman energi. Kabupaten Mahakam Ulu, Kutai Barat, Berau, dan Kutai Timur, adalah daerah yang punya potensi besar.
Di daerah-daerah tersebut, masih banyak desa yang belum tersambung aliran listrik permanen. Desa-desa tersebut memerlukan pembangkit skala kecil. Dengan pembangkit bertenaga kayu (spanner wood cogeneration plants) seharga Rp 3 miliar, daya 45 KWe dihasilkan. Daya segitu cukup buat 100 rumah dengan setiap rumah kebagian 450 watt. Sementara itu, lahan yang diperlukan untuk menghasilkan chip kayu selama setahun sekitar 30 hektare sampai 40 hektare. Dengan kalimat lain, 1 hektar “kebun energi” cukup buat empat rumah.
“Biaya produksi chip per KWh hanya Rp 920 atau lebih rendah dari harga jual PLN,” terang Prof Rudianto. Jika kebun energi dikelola masyarakat atau BUMDes, ada pendapatan yang bisa diperoleh. Belum lagi dari pengelolaan listrik dan jaringan, Rudianto menghitung, pendapatan dari satu mesin 45 KWe (untuk 100 rumah) mencapai Rp 368 juta setahun. Dari pembangkit ini, bukan hanya persoalan wilayah terpencil yang belum dialiri listrik yang selesai, desa memperoleh pendapatan asli. Inilah yang dimaksud inovasi dan dampak sosial, dua dari tiga elemen yang dinilai SCImago dalam menentukan peringkat universitas.
Etanol yang Menjanjikan
Harta karun berikutnya dari potensi biomassa di Kaltim adalah etanol. Pada 2016, para peneliti Unmul menerbitkan jurnal berjudul Suitability and availability analysis of tropical forest wood species for ethanol production: a case study in East Kalimantan. Mereka meneliti 15 spesies biomassa kayu dari hutan tropis Kaltim dan Indonesia. Tujuan riset ialah menemukan potensi sebagai bahan baku yang sesuai untuk produksi biofuel (etanol).
Peneliti mendapati bahwa rendemen (perbandingan nilai kering dengan basah) gula sakarifikasi tertinggi terdapat di pohon mahang (Macaranga gigantea). Rendemen gulanya sebesar 42,22 persen dengan rendemen etanol teoritis kurang lebih 273 liter per ton. Pohon mahang juga cepat tumbuh dengan produktivitas 26 ton biomassa kering per hektare hanya dalam tiga tahun. Vegetasi ini berpotensi sebagai bahan baku produksi etanol.
“Kemampuan tumbuh cepat, komposisi kimia yang menarik untuk menghasilkan gula yang disakarifikasi tinggi, dan menghasilkan etanol,” tulis para peneliti Fahutan Unmul dalam jurnal tersebut.
Jika dihitung secara kasar, 1 hektare pohon mahang menghasilkan 26 ton biomassa kering atau sekitar 7.098 liter etanol. Mengutip jurnal Fakultas Teknik Universitas Gorontalo, etanol dapat dicampur pertalite dengan kadar di bawah 50 persen (Analisis Penggunaan Bahan Bakar Etanol-Pertalite Pada Motor Honda Scoopy 110 cc, 2018). Jika harga etanol diasumsikan sama dengan pertalite yaitu Rp 7.650 per liter, maka hasil dari 1 hektare pohon mahang setara Rp 54 juta dalam tiga tahun.
Prof Rudianto Amirta mengatakan, energi biomassa adalah masa depan. Sejumlah negara maju bahkan telah menggeser sumber energi mereka dari bahan bakar fosil ke terbarukan. Gegap gempita mobil listrik yang diusung Tesla adalah contoh nyata. Dalam waktu tak lama lagi, mobil berbahan bakar fosil pelan-pelan berganti kendaraan berbaterai.
Yang perlu diperhatikan, sumber energi untuk mengisi baterai tersebut tetap berasal dari pembangkit listrik. Sama ceritanya jika pembangkit listrik masih digerakkan gas bumi atau batu bara. Emisi karbon tetap tinggi dan cadangannya segera habis.
“Di situlah masa depan biomassa,” tutup Pof Rudianto. (*)