kaltimkece.id Hari masih pagi tapi semangat antusias sudah berapi-api. Reaksi itulah yang terpancar dari puluhan murid setingkat SMA yang duduk rapi di Ballroom Mulawarman, Hotel Elty Singasana, Tenggarong, Kukar. Para pelajar tersebut menantikan talk show dan launching novel terbaru karya Syafruddin Pernyata.
Acara dimulai pukul 10.00 Wita. Dibuka lantunan puisi. Puisi pertama dilantunkan Sukardi Wahyudi. Mengisahkan kegelisahan terhadap alam, anak sungai, dan penghuni hutan belantara. Puisi berjudul Mantra Belantara itu diiringi alat musik Kutai. Juga tarian yang mengisyaratkan burung enggang. Seekor burung yang menjadi tokoh utama dalam puisi tersebut.
Satu per satu judul puisi dibacakan. Seperti Tempat ini 53 Tahun Kemudian oleh Syafruddin Pernyata menjadi lantunan penutup. Dibacakan penuh penghayatan. Menuai tepuk tangan meriah audience.
Angkat Kearifan Lokal
Talk show dan launching dua buku tersebut berjudul Ratih Tanpa Smartphone dan Digdaya. Digagas Gerakan Literasi Kutai (GLK). Selain dihadiri siswa beberapa sekolah di Kukar, hadir guru-guru yang tergabung di Guru Mata Pelajaran (GMP) Bahasa Indonesia Kaltim. Ada pula Komunitas Kota Bahari Samarinda dan Komunitas Menulis Kota Bangun.
Kegiatan tersebut bertujuan memberi apresiasi kepada penulis lokal. Yang karyanya sering mengangkat set Kukar. "Harapannya, akan ada banyak penulis lokal yang mengangkat kearifan budaya setempat ke depannya. Terkhusus penulis dari Kukar. Agar ada Pak Pernyata yang selanjutnya dan selanjutnya," jelas Isnaini Vidiyati, ketua panitia talk show tersebut.
Dalam acara tersebut, penulis yang juga akrab disebut Es Pernyata itu, banyak memberikan motivasi. Dengan bahasanya yang santai, dia menjawab berbagai pertanyaan. Penulis kelahiran Loa Tebu, Tenggarong, 61 tahun lalu tersebut memang gemar mengangkat kearifan lokal. Termasuk destinasi wisata setempat. Dibalut selingan bahasa Kutai dalam tulisannya. "Menulis kearifan lokal merupakan tanggung jawab moral. Tanggung jawab kita untuk memperkenalkan tanah leluhur," ungkapnya.
Menurut Pernyata, jangan sampai malah masyarakat Kaltim hanya tahu keindahan Bangka Belitung karena membaca karya Andrea Hirata. Itulah sebabnya, penulis yang juga berkiprah sebagai birokrat tersebut mengangkat lokasi Danau Semayang, di Kota Bangun, dalam berbagai novelnya.
Novel Ratih Tanpa Smartphone dan Digdaya mulanya cerita bersambung. Rutin ditulisnya di laman Facebook. Sama seperti beberapa novel lainnya, dua novel terbarunya itu mengandung pesan-pesan moral. Harapannya bisa memberikan semangat kepada para pembaca.
Dua novel tersebut berkisah tentang tokoh yang tidak terpenjara oleh keterisolasian dan keterbatasan. Bahwa setiap orang yang memiliki semangat, bisa meraih sukses. Hal ini diceritakan Ratih, tokoh dalam novel Ratih Tanpa Smartphone. Juga Samsul Bahri dalam Digdaya.
"Yang mirip dari semua novel saya adalah pesan moralnya. Untuk setting tempat dan konflik pasti berbeda. Sebelumnya saya ambil setting di Bongan, Kutai Barat. Nah yang ini di Pela, Kota Bangun," tutupnya. (*)
Editor: Bobby Lolowang