kaltimkece.id Puluhan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Samarinda memenuhi Amfiteater Teras Samarinda. Senin, 30 Juni 2025, mereka mengadakan diskusi bertajuk "Arah Baru Pembangunan Pendidikan Kaltim."
Hadir dalam diskusi, Rusmadi Wongso, ketua Tim Transisi Rudy-Seno. Bersama Rusmadi, Sarkowi Zahri dari Komisi IV DPRD Kaltim turut hadir. Ada pula Dasmiah dari Biro Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Provinsi Kaltim. Armin dari Dinas Pendidikan Kaltim sedianya ikut dalam diskusi tersebut namun berhalangan.
Sebagai penyeimbang sekaligus mempertajam bahasan, BEM FISIP Unmul yang bekerja sama dengan Kelompok Kerja 30 (Pokja 30) menghadirkan Koordinator Pokja 30 Buyung Marajo, sosiolog Sri Murlianti, serta budayawan Roedy Haryo Widjono.
Buyung Marajo memulai diskusi tersebut. Ia mengapresiasi kehadiran Rusmadi dan Sarkowi selaku perwakilan Pemprov dan DPRD Kaltim. Ia menilai, sudah seharusnya isu publik dibicarakan di ruang publik. Urusan politik dan kebijakan disebut bukan sesuatu yang eksklusif.
Buyung menuturkan telah menganalisis regulasi program Gratispol di bidang pendidikan. Menurutnya, terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian. Pertama, batas usia yang tercantum dalam Peraturan Gubernur 24/2025 tentang Bantuan Biaya Pendidikan bagi Mahasiswa pada Perguruan Tinggi.
Dalam beleid itu, batasan usia yang berlaku bagi mahasiswa sarjana, pascasarjana, serta doktoral yaitu 25 tahun untuk S-1, 35 tahun untuk S-2, serta 40 tahun untuk S-3. Buyung menilai, batasan usia ini bertentangan dengan undang-undang. Padahal, sebutnya, dalam Pasal 5 ayat (2) UU 20/2023 tentang Sistem Pendidikan Nasional, "Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat."
"Batas usia ini justru melanggar hak konstitusional warga negara atas pendidikan," tekannya.
Buyung juga menyoroti Pasal 4 ayat (1) huruf c, Pergub 24/2025 mengenai sasaran penerima program bantuan biaya pendidikan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa salah satu penerima adalah, "Mahasiswa yang mendapatkan afirmasi dan rekomendasi dari Pemerintah Provinsi".
Ia mempertanyakan dasar pemberian rekomendasi yang tidak dijelaskan secara spesifik ketentuannya dalam regulasi tersebut. Hal ini dianggap menjadi celah meloloskan mahasiswa titipan sebagai penerima program Gratispol ke luar daerah dan luar negeri yang kuotanya terbatas.
Ia menilai, seharusnya ada ukuran pemberian rekomendasi dari Pemprov Kaltim. Beberapa hal yang bisa menjadi indikator adalah kemampuan ekonomi serta kemampuan akademik.
"Jangan sampai rekomendasi justru diberikan kepada anak atau istri pejabat. Mereka ini sudah mampu (tapi) belum tentu pintar," kelakarnya.
Terakhir, Buyung menyoroti pembentukan Tim Pengelolaan Program Gratispol atau TP2G. Pembentukan tim tersebut disoroti karena dasar pemberian honorarium hingga keterlibatan publik. Menurut Pasal 7 Pergub 24/2025, TP2G diberikan honorarium "sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan." Tidak ada jumlah spesifik maupun penjabaran mengenai ketentuan perundang-undangan yang dimaksud.
Kemudian, mengenai tim evaluasi, disebutkan dalam Pasal 15 bahwa komposisinya terdiri dari asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra, perwakilan salah satu organisasi perangkat daerah, perwakilan biro, inspektorat daerah, perguruan tinggi, dewan pendidikan, serta tenaga ahli.
"Di mana keterwakilan publik dalam tim evaluasi? Padahal, masyarakat seharusnya dilibatkan dalam pengawasan dan evaluasi Gratispol," bebernya.
Sosiolog Sri Murlianti menambahkan, kata "gratis" terkesan menjebak masyarakat. Padahal, yang ditanggung oleh program Gratispol hanyalah uang kuliah tunggal (UKT). Biaya lain seperti uang gedung tidak ditanggung.
"Orang tua yang membaca kata 'gratis', 'kan, pahamnya mereka tidak perlu menanggung apa-apa lagi untuk biaya pendidikan," sorotnya.
Budayawan Roedy Haryo Widjono menambahkan sebuah anekdot. Ia menyebutkan, secara umum terdapat beberapa ciri manusia. Ada yang irit bicara banyak bekerja, ada pula sedikit bekerja banyak bicara. "Kalau pemerintah kita ini beda, antara yang dibicarakan dengan yang dikerjakan," sindirnya.
Sebagai orang dekat Rudy-Seno saat masa transisi, Rusmadi menanggapi kritikan-kritikan tersebut. Ia menyebutkan, bahwa Gratispol adalah kebijakan baru sehingga wajar terdapat kekurangan. "Tetapi ini, 'kan, baru tahun pertama. Yang perlu diapresiasi adalah niat baik Pemprov Kaltim melalui program ini," ucapnya.
Sementara itu, Sarkowi dari Komisi IV DPRD Kaltim menambahkan, pada dasarnya program pendidikan Gratispol terbatas oleh kewenangan. Perguruan tinggi merupakan kewenangan pusat.
"Tetapi untuk mengakomodasi mahasiswa Kaltim, dicari celah agar biaya pendidikan gratis tetap terwujud," sebutnya.
Anggota Badan Anggaran DPRD Kaltim itu menyebutkan, kondisi fiskal juga menjadi pertimbangan. Oleh karena itu, batas atas yang diberlakukan dalam Gratispol pendidikan dinilai sebuah kewajaran. "Yang penting sudah dicapai titik temu agar tidak melanggar kewenangan serta memenuhi kapasitas fiskal," tekannya.
Meskipun begitu, Sarkowi melemparkan kritikan terhadap simpang siurnya informasi mengenai program Gratispol. Ia menilai, Pemprov Kaltim seharusnya proaktif dalam memberikan kejelasan informasi kepada masyarakat.
"Kalau perlu, Pemprov Kaltim buat siaran langsung di Tiktok untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat," sarannya sambil tertawa kecil.
Di pengujung diskusi, Arief Fadillah bersama Muhammad Jamil Nur dari BEM FISIP Unmul menyebutkan bahwa kegiatan diskusi bukan akhir dari pengawasan BEM FISIP Unmul terhadap program Gratispol. Bekerja sama dengan Pokja 30, BEM FISIP Unmul akan membuka posko pengaduan Gratispol.
"Ini bentuk partisipasi publik dalam mengawal dan mengawasi pelaksanaan program ini," tegas mereka. (*)