kaltimkece.id Wajah Rudiansyah memerah setelah mendengar kabar dari Komite SMA 10 Samarinda. Dua anaknya yang duduk di kelas 10 dan 11 disebut tidak bisa bersekolah di SMA tersebut. Penyebabnya, sistem asrama tidak diberlakukan lagi setelah sistem zonasi ditetapkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim (Disdikbud Kaltim) sejak 22 April 2024. Pria asal Penajam Paser Utara itu pun kebingungan.
"Dalam beberapa bulan, anak saya naik ke kelas 12. Kalau pindah sekolah, mesti menyesuaikan kembali lagi," sebutnya. Ia khawatir, perpindahan itu membuat pelajaran anaknya terganggu menjelang masuk perguruan tinggi.
Keresahan serupa dihadapi Eva Oktaviani. Perempuan asal Nunukan, Kalimantan Utara, tersebut menyekolahkan anaknya di SMA 10 Samarinda. Reputasi SMA 10 sebagai sekolah unggulan dianggap dapat menunjang masa depan anaknya.
"Jika SMA 10 bukan lagi sekolah unggulan, bagaimana nasib anak kami yang mempunyai IQ di atas rata-rata?"
Rudiansyah dan Eva tidak sendirian. Sabtu, 27 April 2024, bersama Komite SMA 10 dan beberapa orang tua murid dari luar daerah, mereka mengadakan konferensi pers di Gedung SMA 10 di Education Centre, Jalan PM Noor, Samarinda. Para orang tua murid memohon sistem zonasi dibatalkan supaya SMA bisa menampung murid dari luar daerah.
Ketua Komite SMA 10, Insan Kamil, menyebutkan bahwa reputasi sekolah unggulan bukan isapan jempol. Status itu didapat sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, Nomor 391/C.C6/KEP/MN/2001 tentang Penetapan Sebagai Penyelenggara Program Percepatan Belajar Bagi Sekolah Menengah Umum.
Melalui dokumen tersebut, SMA 10 yang saat itu masih bernama SMU Melati mendapatkan status sekolah dengan kelas akselerasi. Selain SMA 10, sekolah yang mendapatkan mandat tersebut adalah SMU 70 Jakarta, SMU BPK Penabur, SMU 3 Yogyakarta, SMU 8 Yogyakarta, dan SMU Sutomo 1 Medan.
Insan Ismail juga merujuk Peraturan Pemerintah 17/2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam pasal 21 ayat 2 disebutkan bahwa Gubernur menetapkan kebijakan untuk menjamin peserta didik memperoleh akses pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus, dan/atau peserta didik di daerah khusus. Kemudian, pasal 127 menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
"SMA 10 dapat dikategorikan sekolah khusus untuk mereka yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa," ungkapnya.
Insan Ismail menambahkan bahwa hal itu tercermin dari proses penerimaan SMA 10 yang melibatkan proses wawancara. Proses tersebut berbeda dari sekolah lain yang hanya mengacu nilai akhir akademik siswa.
Akan tetapi, sambungnya, terbit Surat Keputusan Kepala Disdikbud Kaltim No 400.3.12.1/0302. SK tersebut meregulasi zonasi SMA 10 sehingga tidak lagi memungkinkan menjadi sekolah khusus dengan asrama. Menurut Insan Ismail, Disdikbud Kaltim masih memperbolehkan asrama untuk siswa-siswa angkatan sebelumnya namun tidak menerima siswa-siswa baru. Mereka disebut tidak mampu membayar operasional asrama.
"Padahal, biaya operasional kami cukup tinggi. Belum lagi 33 pegawai yang terdiri dari cleaning service dan perawat," jelasnya.
Dihubungi melalui sambungan telepon, Kepala Disdikbud Kaltim Muhammad Kurniawan yang sedang menjalani ibadah umrah menyampaikan penjelasan. Ia mengatakan bahwa prinsip sekolah akselerasi sudah tidak berlaku dengan adanya sistem zonasi. Bukan hanya itu, kelas akselerasi telah dibatalkan sejak Kurikulum 2013.
Komite SMA 10 disebut perlu memahami PP 17/2010. Aturan tersebut diperuntukkan bagi sekolah luar biasa (SLB) untuk anak berkebutuhan khusus. Kaltim memiliki 34 SLB yang terdiri dari 11 SLB negeri dan 23 SLB swasta. Sementara itu, lanjut Kurniawan, mengenai klausul potensi kecerdasan dan bakat istimewa, diperuntukkan bagi sekolah dengan peminatan khusus. Contohnya Sekolah Khusus Olahragawan Internasional (SKOI) Kaltim) di Palaran dan Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) di Sempaja Selatan.
"Sementara SMA 10, aturan zonasi berlaku seperti sekolah lain," tegasnya.
Ia menambahkan, kebijakan ini pada dasarnya berkaca kepada daya tampung asrama yang tidak memadai. Dari 1.176 siswa SMA 10, hanya 275 siswa yang berasrama. Terbatasnya asrama bagi siswa di luar daerah membuat sebagian siswa mesti tinggal di luar lingkungan sekolah dengan konsep homestay.
"Padahal, dalam peraturan Kemendikbudristek, tidak mengenal istilah homestay," terang Kurniawan.
Peraturan itu tertuang dalam SK Sekjen Kemendikbudristek Nomor 47/M/2023. Peserta didik di sekolah asrama, kata beleid itu, tinggal di asrama yang lokasinya di lingkungan sekolah, bukan di luar sekolah.
Kurniawan menyebutkan bahwa Pemprov Kaltim bersedia menyubsidi kendala biaya operasional yang dialami Komite SMA 10 selaku pengelola asrama. Untuk sekarang, dari biaya Rp 2,7 juta per kamar, Pemprov Kaltim telah menyubsidi Rp 1,5 juta yang dipakai untuk membiayai listrik asrama.
"Akan tetapi, kami minta tata kelolanya diperbaiki dan dihitung kembali biaya yang sebenarnya dibutuhkan," ucap bekas kepala Inspektorat Daerah Kaltim tersebut.
Selain skema subsidi, Kepala Diskdikbud menganggap rasionalisiasi kebutuhan juga diperlukan untuk menekan pengeluaran. Berdasarkan pemantauan kaltimkece.id, satu ruang asrama di SMA 10 menampung empat siswa dengan fasilitas AC dan kamar mandi dalam.
Kurniawan menyebutkan, orang tua yang anaknya di luar zonasi tak perlu khawatir. Pada dasarnya, berdasarkan Permendikbudristek 44/2019, jalur zonasi merupakan 50 persen dari total jumlah siswa. Bagi siswa yang memiliki prestasi di atas rata-rata, tersedia jalur prestasi yang menampung 30 persen dari total jumlah siswa.
Sebenarnya, sambung Kurniawan, ada jalan tengah yang memperbolehkan siswa yang memakai jalur prestasi tersebut untuk berasrama. Namun, jumlahnya menyesuaikan kuota 30 persen sesuai kapasitas asrama yaitu tiga rombongan belajar dari total 10 rombongan belajar. Ia melarang penerimaan seluruh rombongan belajar untuk menghindari peristiwa siswa ditempatkan di homestay di luar sekolah.
"Saya tidak mau kecolongan lagi. Nanti saya yang diprotes masyarakat," tegasnya.
Polemik ini menjadi perhatian anggota DPRD Kaltim. Sepekan kemudian, Rapat Dengar Pendapat (RDP) diadakan pada Sabtu, 4 Mei 2024 di Lantai 1 Gedung E DPRD Kaltim. RDP yang diadakan Komisi IV menghadirkan perwakilan Disdikbud Kaltim dan SMA 10.
Selepas pertemuan, Kepala SMA 10 Fathur Rachim tidak berkomentar banyak. Ia menyebutkan bahwa pengelolaan asrama merupakan kewenangan komite sekolah. Sebagai kepala sekolah, dia hanya menampung dan menyampaikan aspirasi komite dan orang tua siswa.
Fathur mengakui, kapasitas asrama SMA 10 terbatas. Dalam sebuah kasus, seorang murid perempuan bahkan mesti menempati kamar di asrama laki-laki. Selain itu, beberapa ruangan juga dimodifikasi untuk memenuhi kapasitas. Oleh karena itu, ia meminta tambahan gedung asrama kepada Disdikbud Kaltim.
"Tapi belum kunjung dibangun hingga saat ini," ucapnya.
Kepala Bidang Pembinaan SMA, Disdikbud Kaltim, Muhammad Jasniansyah, menyebutkan bahwa perencanaan dan lelang pembangunan asrama baru telah dilakukan pada akhir 2023. Namun, alokasi anggaran tahun ini belum mencukupi. Pembangunan asrama tambahan rencananya pada tahun depan dengan memakai dana APBD 2025.
Anggota DPRD Kaltim, Rusman Yaâqub, menyebutkan bahwa persoalan ini timbul setelah perpindahan SMA 10 dari Samarinda Seberang karena konflik dengan Yayasan Melati. Ia menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Disdikbud Kaltim. Akan tetapi, ia menegaskan, status SMA 10 harus jelas antara sistem zonasi atau sekolah berasrama. SK Sekjen Kemendikbudristek Nomor 47/M/2023 mengatur bahwa seluruh siswa sekolah berasrama harus tinggal di asrama.
"Jadi jangan setengah-setengah," pintanya.
Poltikus PPP itu menyebutkan, sistem zonasi sejak awal diberlakukan untuk menyamaratakan kualitas pendidikan. Tidak boleh ada lagi sekolah yang berstatus sekolah unggulan.
"Pendidikan yang merata buat semua itu amanat konstitusi kita," tutupnya. (*)