kaltimkece.id Mengisap tembakau jelas merugikan anak-anak dan remaja. Namun, jumlah perokok muda Indonesia terus meningkat tahun ke tahun. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional, 7,8 juta anak dan remaja usia 10-18 tahun aktif merokok pada 2018. Bila tidak ada upaya menghentikan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memprediksi perokok anak melejit pada 2030.
Minggu, 13 Juni 2021 studi Ikatan Ahli Kesehatan Indonesia (IAKI) menemukan bahwa menonton iklan rokok ternyata memengaruhi tingkat perokok anak. Meneliti 5.234 orang responden di 16 kabupaten/kota Indonesia, 85 persen anak dan remaja terdorong merokok karena menonton pariwara tembakau yang terpampang di televisi (TV).
Alhasil, dibandingkan anak dan remaja usia di bawah 18 tahun yang tidak menonton iklan di TV, peluang mereka yang menonton dua kali lebih besar menjadi perokok. IAKI mencatat layar kaca memang memiliki kekuatan besar memengaruhi anak dan remaja. Frekuensi paparan iklan rokok di TV sangat tinggi (Ikatan Ahli Kesehatan Indonesia, Paparan Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok di Indonesia, 2018).
"Iklan rokok tidak hanya muncul satu kali melainkan dapat muncul lima kali atau lebih dalam satu tayangan acara," tulis IAKI dalam penelitian tersebut.
Kondisi iklan rokok yang minim aturan dan regulasi pun disorot Aliansi Akademisi Komunikasi untuk Pengendalian Tembakau (AAPKT) yang terdiri dari 15 universitas di Indonesia. Akademikus Universitas Padjajaran sekaligus Ketua AAPKT, Dr Eni Maryani, mengatakan bahwa advokasi kebijakan pengendalian tembakau perlu dilakukan. Hal ini penting karena Indonesia merupakan pasar rokok tertinggi ketiga dunia setelah Tiongkok dan India.
"Berdasarkan laporan WHO, Indonesia satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak memiliki kebijakan pelarangan iklan rokok di berbagai media," ungkapnya dalam rilis yang diterima media ini.
Kepada kaltimkece.id, akademikus Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Mulawarman, Kadek Distriana Dwivayani, mengungkapkan alasan mendasar kenapa akademikus komunikasi ramai-ramai buka suara. Pasalnya, empat dari tujuh faktor utama pemicu perokok muda adalah perkara komunikasi.
Pertama, melihat kemasan rokok, sponsor rokok, dan promosi rokok. Kedua, melihat iklan rokok di televisi. Ketiga, melihat iklan rokok di media luar ruang. “Dan terakhir, melihat unggahan rokok di media sosial," ungkapnya.
Kadek mendorong pemerintah mempertimbangkan berbagai kebijakan atau aturan untuk menurunkan angka perokok muda. Mulai kebijakan pengendalian tembakau, sosialisasi kepada keluarga, hingga edukasi untuk remaja. "Dan jangan lupa, terutama tentang peraturan iklan rokok di ruang publik," pungkasnya. (*)
Editor: Bobby Lolowang