kaltimkece.id Pemilihan Gubernur Kaltim berpotensi diikuti calon tunggal. Koalisi gemuk Rudy Mas'ud-Seno Aji telah terbentuk. Enam partai dengan total 41 kursi--dari 55 kursi di DPRD Kaltim--bergabung di koalisi tersebut. Tersisa 13 kursi yang belum mengusung pasangan calon yaitu PDI Perjuangan (9 kursi), PPP (2 kursi), serta Partai Demokrat (2 kursi).
Apabila PDI Perjuangan bergabung ke koalisi Rudy-Seno, atau tidak mengusung pasangan calon sama sekali, Pilgub Kaltim dipastikan diikuti calon tunggal. Fenomena calon tunggal melawan kolom kosong memang bukan barang baru di Kaltim. Kotak kosong pernah 'bertarung' di dua daerah.
Pada 2020, Edi Damansyah menang dari kotak kosong di Kukar demikian halnya Rahmad Mas'ud di Balikpapan. Edi Damansyah-Rendi Solihin memperoleh nyaris 75 persen suara, Rahmad Mas'ud-Thohari Aziz memperoleh 60 persen suara.
Sementara itu, pertama kalinya kolom kosong menang dalam pilkada adalah pada Pemilihan Wali Kota Makassar 2018. Pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi Yustita Iqbal waktu itu menjadi calon tunggal setelah mengantongi dukungan 43 kursi DPRD. Akan tetapi, pasangan tersebut kalah dari kolom kosong karena hanya meraih 47 persen suara.
Lalu, bagaimana jika kolom kosong yang menang? Kepada kaltimkece.id, Ketua Komisi Pemilihan Umum Kaltim, Fahmi Idris, menjelaskan bahwa Peraturan KPU (PKPU) teranyar masih mengatur calon tunggal pada hari terakhir pendaftaran. Aturan tersebut dimuat di pasal 135 dan 136 PKPU 8/2024.
"Jika hanya satu calon hingga hari terakhir (pendaftaran), KPU dapat memperpanjang masa pendaftaran calon hingga tiga hari," sebutnya.
Selanjutnya, apabila setelah masa perpanjangan tidak ada calon lain yang mendaftar atau memenuhi syarat, pilkada dilaksanakan dengan calon tunggal. Apabila kotak kosong yang ternyata unggul dalam pemungutan suara, Fahmi menyebutkan, sejauh ini belum ada PKPU terbaru yang mengatur.
"Masih belum tahu apakah memakai aturan lama atau ada aturan baru lagi mengenai itu," ucapnya.
Aturan lama bisa dilihat dari Pilwali Makassar. Posisi kepala daerah yang kosong diisi penjabat wali kota yang dipilih Kementerian Dalam Negeri. Sementara itu, mengacu PKPU 13/2018, pilwali diulang pada 2020 saat pilkada serentak.
Dikutip dari hukumonline, pada 2019, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 14/PUU-XVII/2019 dalam judicial review UU 10/2016. Mengenai frasa 'pemilihan berikutnya' dalam pasal 54D ayat (2) dan (3) UU tersebut, putusan MK menyatakan, pasangan calon yang kalah dari kolom kosong boleh mencalonkan kembali.
Kemudian, masih menurut putusan MK, pemilihan berikutnya diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan. Pilkada yang dilaksanakan sesuai jadwal, menurut MK, diserahkan ke KPU sebagai penyelenggara pilkada.
Koordinator Klinik Pemilu Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Warkhatun Najidah, memberikan pandangannya. Ia mengatakan Pilwali Makassar tidak bisa jadi acuan lagi jika skenario kotak kosong menang di Pilgub Kaltim.
"Aturan itu, 'kan, bisa berubah-ubah," sebutnya. Najidah mengatakan, ada berbagai putusan dari MK, Mahkamah Agung, hingga Peraturan KPU yang berubah menjelang pilkada.
Di luar itu, Najidah menyoroti tujuan pilkada. Pada rezim Orde Baru, pemilihan kepala daerah berada di DPRD. Pemilihan langsung pascareformasi adalah upaya mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat.
"Bukan justru pengambil keputusan itu kembali ke tangan partai," kritiknya.
Najidah juga mempertanyakan koalisi partai yang jauh melebihi batas minimal persyaratan pilkada. Padahal, ia yakin, banyak alternatif putra-putri daerah di Kaltim yang bisa menjadi kandidat.
"Kesannya malah diawetkan di daerahnya masing-masing. Seolah-olah partai itu tidak siap," ingatnya.
Pengamat politik dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Eddy Iskandar, menambahkan, ada dua faktor munculnya calon tunggal di pilkada. Pertama, kegagalan kaderisasi partai dan yang kedua kecenderungan partai bersikap pragmatis.
"Padahal, fungsi partai politik adalah memunculkan figur alternatif untuk dipilih masyarakat," sebutnya.
Kotak kosong bukan hanya satu-satunya implikasi. Pria yang mengenyam studi doktoral di Universitas Sains Malaysia itu menyebutkan, ada kongkalikong memunculkan calon boneka dalam pilkada beberapa tahun terakhir. Fenomena itu, sambungnya, pernah berlangsung di suatu daerah di Kaltim.
"Masyarakat bisa merasakannya ketika ada satu calon yang mesin partainya tidak bergerak, sementara calon lainnya bergerak," terangnya.
Eddy meminta agar partai kembali ke kodratnya. Pendidikan politik bagi masyarakat diperlukan untuk menghasilkan kader-kader berkualitas. Dengan cara itu, pilkada tetap memberikan pilihan untuk masyarakat. Pada dasarnya, kata dia, pilkada merupakan mekanisme bagi rakyat untuk mencapai kesejahteraan. (*)