kaltimkece.id Surat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI tentang rekomendasi pembatalan pencalonan Edi Damansyah di Pilkada Kutai Kartanegara telah beredar luas. Dalam surat tersebut, Edi Damansyah selaku calon bupati disebut melanggar Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang 1/2015, sebagaimana terakhir kali diubah oleh UU 6/2020. Bawaslu meminta kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI agar memerintahkan KPU Kukar membatalkan Edi Damansyah sebagai calon Bupati Kukar.
Secara lengkap, Pasal 71 ayat (3) UU 1/2015 yang diubah UU 10/2016 berbunyi, "Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan wali kota dan wakil wali kota, dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih."
Pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Kutai Kartanegara, Tenggarong, Surya Irfani, menilai pasal tersebut tidak relevan diterapkan di Pilkada Kukar. Ketidakrelevanan tersebut karena dalam pasal 71 ayat (3) UU 10/2016 ada frasa ‘salah satu pasangan calon.’ Lebih lengkapnya adalah calon petahana dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
"Makna dari frasa ‘salah satu pasangan calon’ itu, paslon harus lebih dari satu, dong. Sementara di Pilkada Kukar, itu ‘kan paslon tunggal. Dengan demikian, menjadi tidak jelas siapa yang diuntungkan dan dirugikan,” urainya. Padahal, unsur ‘menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon’ tersebut merupakan syarat terpenuhinya pelanggaran dari pasal itu. Dengan kata lain, sepanjang penggunaan kewenangan, program, dan kegiatan oleh petahana tidak menguntungkan atau merugikan salah satu paslon --yang berarti harus ada lebih dari satu paslon--, tidak ada yang dilanggar dari pasal tersebut.
Surya Irfani
Menurut Surya, Bawaslu RI terkesan kurang hati-hati dalam menerapkan pasal tersebut di Pilkada Kukar. Pasal 71 ayat (3) dinilai tidak relevan dipakai dalam pilkada yang diikuti calon tunggal. “Bawaslu juga terkesan tergesa-gesa karena dalam redaksinya, tidak eksplisit menulis UU 10/2016 yang telah mengubah isi seluruh pasal 71 dalam UU 1/2015,” jelasnya.
Dalam surat yang beredar, Bawaslu menyatakan bahwa terlapor calon bupati Kukar, Edi Damansyah, terbukti melanggar pasal 71 ayat (3) UU 1/2015 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UU 6/2020. Surya mengatakan, pasal 71 dan seluruh ayatnya pada UU 1/2015 telah diubah oleh UU 10/2016. Dalam perubahan selanjutnya, yaitu UU 6/2020, pasal 71 beserta seluruh ayatnya sama sekali tidak diubah. Dalam membaca dan memahami suatu UU, jika sifatnya perubahan, pasal yang tidak diubah dalam perubahan UU berikutnya tetap berlaku.
“Kalaupun surat Bawaslu memaksudkan Pasal 71 dari UU 10/2016 (perubahan kedua), seharusnya redaksi surat Bawaslu secara eksplisit menyebut Pasal 71 UU 10/2016 karena memang di UU itulah pasal 71 UU 1/2015 diubah. Inilah yang mengesankan adanya ketergesa-gesaan,” imbuhnya.
Surya menambahkan, publik juga mesti memahami bahwa dalam fenomena kolom kosong, ada sesuatu yang timpang. Di banyak kesempatan, paslon, tim sukses, maupun pendukung bisa terganggu dengan gerakan kolom kosong. Bahkan jika terjadi fitnah, paslon tidak punya ruang untuk menuntut karena kolom kosong bukanlah paslon yang bisa dituntut seperti halnya pilkada multi-paslon.
"Contoh konkret adalah di Pilkada Balikpapan (yang juga calon tunggal). Ketika kuasa hukum paslon menuntut, ternyata tidak memenuhi unsur karena kolom kosong bukan peserta pemilu. Kolom kosong bukan subjek pilkada. Tapi, di sisi lain, (kolom kosong) sering mengganggu paslon dan seakan-akan menjadi peserta pilkada," terang Surya.
Pemahaman publik bahwa kolom kosong bukan peserta pilkada sangat penting. Filosofi kolom kosong lahir lewat putusan Mahkamah Konstitusi. Pada prinsipnya, kolom kosong adalah ruang bagi siapapun yang tidak sepakat dengan calon tunggal. “Kalau tidak suka (dengan paslon tunggal), tunjukkan di kotak suara,” tutup Surya.
Di tempat terpisah, komisioner Bawaslu Kaltim, Galeh Akbar, mengatakan belum mengetahui perkembangan dari surat rekomendasi Bawaslu RI tersebut. Masalahnya, Bawaslu Kaltim tidak menerima tembusan dari Bawaslu RI. Secara kelembagaan, kedudukan surat berikut posisi kasus, belum diketahui Bawaslu Kaltim.
"Karena pelapor melaporkan kepada Bawaslu RI sehingga penanganannya harus di Bawaslu RI. Kalau ditangani Bawaslu RI, kami tidak mendapat tembusan," jelas Galeh seraya melanjutkan, “Kecuali ada limpahan.”
Baca juga:
Adapun tindak lanjut surat tersebut, kata Galeh, adalah domain KPU. Sepanjang tidak ada proses pemberhentian dari KPU RI, tahapan pilkada tetap berjalan. Bawaslu meminta agar menunggu keputusan dan langkah KPU. Galeh juga mengingatkan, walaupun ada perbedaan pandangan, kondusivitas daerah mesti tetap dijaga. Semua pihak harus menjunjung tinggi asas demokrasi yaitu saling menghargai satu sama lain. Semua warga negara memiliki hak konstitusi. Ketika ada permasalahan, ada saluran hukum yang bisa ditempuh.
"Ini tanggung jawab kita semua, khususnya masyarakat Kukar. Kalau kemudian terjadi gejolak, Kukar juga yang dirugikan," pesannya. (*)
Temui kami di Instagram!