kaltimkece.id Ampar-ampar pisang, pisangku belum masak/Masak sebiji dihurung bari-bari/Mangga lepak mangga lepok, sepatah kayu bengkok/Bengkok dimakan api, apinya canculupan.
Begitulah sepenggal lirik lagu Ampar-Ampar Pisang. Lagu berbahasa Banjar itu berbicara mengenai proses pengolahan pisang menjadi kudapan. Salah satu kudapan itu bernama amparan tatak.
Amparan tatak adalah salah satu kue khas Banjar yang terdiri dari bahan dasar tepung beras, santan, gula, dan pisang. Menurut sejarawan publik Muhammad Sarip, amparan tatak telah tercatat dalam pustaka klasik. Salah satunya dalam buku Suluh Sedjarah Kalimantan karya Amir Hasan Kyai Bondan yang terbit pada 1953.
Sarip menuturkan, bahwa amparan tatak merupakan salah satu ragam kudapan khas Banjar yang dibuat dengan cara dikukus. Atau dalam bahasa Banjar disebut menyumap. Beberapa kudapan yang diolah melalui proses serupa adalah putri selat, kararaban, sari muka, sari pengantin, dan nangka susun. Sederet kudapan ini, berdasarkan prosesnya disebut dalam bahasa Banjar sebagai wadai sesumapan.
"Di Samarinda, kerap disajikan dalam perayaan hari-hari besar," ungkap Sarip.
Amparan tatak yang telah menyatu dalam kudapan sehari-hari warga Samarinda membuat Sarip tertarik menelitinya. Bersama Syifa Hajati dan Winda Pramita Harma, Sarip kemudian membuat jurnal berjudul Kajian Historis dan Kultural Amparan Tatak sebagai Kuliner Tradisional Khas Samarinda.
Jurnal yang kemudian diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah Samarinda melalui Jurnal Riset Inossa itu tak berakhir hanya menjadi tulisan akademik. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Samarinda kemudian menjadikan jurnal itu sebagai pijakan untuk menjadikan amparan tatak sebagai warisan budaya Samarinda.
Selasa, 18 Maret 2025, Muhammad Sarip bersama Syifa Hajati diundang oleh Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Samarinda Barlin Hady Kesuma. Di lantai empat kantor yang terletak di jalan Biola tersebut, mereka membicarakan tindak lanjut proses pengusulan amparan tatak sebagai warisan budaya.
"Amparan tatak akan diusulkan dalam kategori warisan budaya tak benda," ujar Barlin kepada kaltimkece.id.
Barlin mengeluhkan bahwa sejauh ini hanya sarung tenun dengan motif alam yang diakui sebagai warisan budaya Kota Tepian. Sebagai informasi, melalui Surat Keputusan 244/P/2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kini dipisah menjadi Kementerian Kebudayaan) telah meresmikan sarung tenun sebagai warisan budaya Samarinda. Saat itu, pengusulan dilakukan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Samarinda sebelum berpisah lembaga.
Selain amparan tatak, warisan budaya lain yang juga akan diusulkan adalah perahu tambangan dan bubur peca. Serupa dengan amparan tatak, kedua warisan budaya tersebut juga telah dilengkapi dengan dokumentasi berbentuk tulisan yang ditulis oleh Hamdani untuk bubur peca dan Syifa Hajati untuk perahu tambangan.
"Itu memang merupakan salah satu syarat pengajuan warisan budaya," ungkapnya.
Selain dokumentasi tulisan, Barlin menuturkan terdapat beberapa syarat lain. Mulai dari formulir penetapan yang ditandatangani oleh kepala dinas setempat. Kemudian dokumentasi gambar terbaru dengan kualitas jernih. Juga dokumentasi berbentuk video.
Pengajuan amparan tatak beserta perahu tambangan dan bubur peca sebagai warisan budaya Samarinda merupakan langkah awal. Barlin menuturkan, nantinya Disdikbud Samarinda akan menggodok tradisi lokal yang kemudian akan diteliti dan diusulkan setiap tahun.
"Semoga yang ini bisa pecah telur," kelakarnya.
Muhammad Sarip menuturkan terdapat beberapa alasan mengapa amparan tatak pantas diajukan menjadi warisan budaya Samarinda. Pertama, nilai budaya. Dalam proses produksinya, amparan tatak menggunakan bahan yang bersumber dari lokalitas pulau Kalimantan.
Kedua, nilai sosial. Meski berasal dari etnis Banjar, amparan tatak telah menjadi kudapan khas Samarinda yang dinikmati masyarakat secara luas tanpa memedulikan latar belakang kelompok dan golongan.
Ketiga, nilai spiritual. Amparan tatak kerap dihidangkan dalam acara-acara besar. Mulai dari resepsi pernikahan, hidangan berbuka puasa hingga hari raya besar agama seperti perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad.
Menelusuri Jejak Amparan Tatak
Meski telah menjadi kudapan sehari-hari, Sarip menyebutkan bahwa amparan tatak di Samarinda dipopulerkan oleh Hajjah Hatim. Sejak 1970-an, Hatim menjajakan amparan tatak dengan berjalan kaki di Samarinda.
Saking populernya, nyaris seluruh penjual amparan tatak serta wadai sesumpan menggunakan nama Hajjah Hatim. Padahal, Sarip menyebutkan bahwa Hajjah Hatim bukanlah pembuat amparan tatak.
"Yang membuat amparan tatak adalah besannya yang bernama Hajjah Zainab," sebut Sarip. Peran Hajjah Hatim lebih sebagai distributor kue yang dibuat oleh besannya tersebut. Setiap pagi, Hatim membawa amparan tatak menaiki perahu tambangan dari Samarinda Seberang ke Samarinda Kota.
Hajjah Zainab memiliki anak bernama Maskota Muradiah. Kaltimkece.id kemudian menemui Maskota yang melanjutkan penjualan amparan tatak di Samarinda Seberang.
Didampingi Khairunnisa yang merupakan anak kesembilannya, Maskota menyebutkan bahwa telah membantu ibunya membuat amparan tatak sejak usianya masih belasan. Dirinya pun mengaku tak ada resep khusus yang diturunkan oleh ibunya melainkan lewat praktik.
"Awalnya bantu-bantu ibu saja," ucapnya.
Berbicara dengan logat Banjar yang khas, Maskota menyebutkan bahwa dirinya masih melanjutkan cara ibunya membuat amparan tatak. Dari mulai cara membuat hingga bahan pembuatannya.
Amparan tatak pun, sebutnya, berasal dari proses pembuatan kue talam. Adonan yang menjadi salah satu bahan baku utama akan dihamparkan, Kemudian pisang ditatak atau dipotong kecil menggunakan pisau plastik dan dimasukkan ke dalam adonan santan berikut tepung beras yang sedang dikukus.
"Proses tatak ini kalau di penjual lain kadang tidak rapi. (Saat dimasukkan ke adonan) prosesnya perlu empat kali berulang agar pisang masuk ke dalam kue dan tidak mengambang keluar," ungkap Khairunnisa menambahkan.
Pemilihan jenis pisang pun tak sembarangan. Pisang yang dipakai adalah pisang talas. Jika menggunakan jenis pisang lain, membuat kuenya menjadi berair dan warna pisang menjadi biru atau kehitam-hitaman. Rasanya pun juga akan berbeda.
"Setiap dua atau tiga hari sekali, kami membeli pisang talas di Pasar Ijabah, Samarinda," ucap Khairunnisa.
Selain pisang talas, Maskota juga menggunakan kapur sirih cangkang kerang tudai yang dipesan dari secara khusus. Kapur sirih yang berasal dari cangkang kerang tudai yang telah dihaluskan itu membuat rasa dan aroma amparan tatak menjadi lebih khas dan gurih.
Porsi santan dalam amparan tatak pun tak pelit. Jumlahnya bisa tiga atau empat kali lipat dari porsi tepungnya. Rasa pun menjadi lebih kaya dibandingkan buatan pedagang lain yang lebih banyak tepungnya.
Dalam proses pembuatan, Maskota mengerjakan langsung dengan dibantu oleh Khairunnisa dan kedelapan saudaranya. Khairunnisa mengungkapkan, ibunya menggunakan takaran yang diwariskan oleh ibunya, yang merupakan nenek Khairunnisa.
"Takaran tepung dan santan memakai kaleng susu bekas, tidak ada angka persis," ujar Khairunnisa.
Perempuan yang akrab disapa Icha itu menyebutkan, bahwa ia telah berupaya untuk menakarnya dalam satuan gram. Namun, ternyata hasilnya berbeda dengan takaran yang dipakai ibu.
"Memang mesti bantu ibu langsung untuk mengetahui takaran yang tepat," ucapnya.
Penyajiannya yang identik dengan perayaan hari besar membuat amparan tatak sangat populer di bulan Ramadan. Pada hari-hari biasa, Maskota hanya menjual amparan tatak pada hari Senin dan Kamis serta berdasarkan pesanan. Di bulan Ramadan, tiap hari amparan tatak laku keras.
"Bersama dengan jenis kue lain, bisa habis 60 loyang. Satu loyang dipotong enam belas potong," ungkap Icha. Satu potong dijual dengan harga Rp30 ribu hingga Rp35 ribu.
Terkait pengusulan amparan tatak sebagai warisan budaya, Icha dan Maskota mengaku senang. Mereka berharap agar setelah amparan tatak diresmikan sebagai warisan budaya, anak muda di Samarinda lebih mengenal kuliner khasnya.
"Jangan malah lebih mengenal kuliner dari luar negeri," tandasnya. (*)