kaltimkece.id Bendera biru dengan simbol garuda beserta tulisan "Peringatan Darurat" dipasang di depan belasan orang yang telah berkumpul pada sebuah kedai kopi yang terletak di Jalan Banggeris itu. Beberapa bulan lalu, simbol itu menjadi pemantik bergeraknya kembali mahasiswa ke jalan menolak revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Bendera itu kembali dihadirkan dalam kegiatan Catatan Akhir Tahun Lembaga Bantuan Hukum Samarinda bertajuk "Demokrasi Semu Tahun Pemilu 2024", pada Jumat, 20 Desember 2024 lalu, di TCO Coffe, Samarinda.
"Tema ini dipilih untuk memperingatkan kita bahwa pilkada dan pemilu yang digelar tahun ini bukanlah pesta demokrasi, melainkan pesta oligarki," ucap Fathul Huda Wiyashadi, advokat LBH Samarinda saat membuka acara.
Lanjutnya, di tengah pesta demokrasi yang didengungkan banyak orang, LBH Samarinda justru banyak menerima aduan dan laporan pelanggaran hak asasi manusia. Mulai dari perampasan lahan, kekerasan seksual, hingga diskriminasi beragama dan berkeyakinan.
Fathul memaparkan, bahwa secara keseluruhan LBH Samarinda menerima 18 pengaduan kasus. Dari jumlah tersebut LBH Samarinda mengadvokasi 7 kasus dengan penerima manfaat sejumlah 66 individu dan 4.035 komunitas atau kelompok sosial.
Dia merinci kasus pertama adalah perampasan lahan di kawasan delineasi Ibu Kota Nusantara (IKN). Fathul menyebutkan, bahwa LBH Samarinda menerima aduan dari sejumlah warga di kawasan Desa Telemow, Kecamatan Sepaku, Panajam Paser Utara, oleh perusahaan berinisial PT ITCI KU yang mengklaim telah memiliki hak guna bangunan. 93 kepala keluarga dan fasilitas publik yang berada di wilayah seluas 83 hektare di Telemow pun terancam tergusur.
"Tak hanya digusur, warga juga diintimidasi dan dikriminalisasi," sebut Fathul.
Warga yang menolak lahannya digusur, oleh perusahaan dilaporkan ke kepolisian. Dari empat warga yang dilaporkan, dua di antaranya ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Oktober 2024. LBH Samarinda bersama Wahana Lingkungan Hidup Kaltim dan Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Balikpapan kemudian menemui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta mengadukan kriminalisasi tersebut.
Kasus kedua adalah pengaduan pelecehan seksual. LBH Samarinda, sebut Fathul, menerima dua laporan kasus pelecehan seksual. Satu kasus determinasi prosesnya atas permintaan pelapor. Sementara satu kasus lainnya hingga kini masih berproses di kepolisian.
Meski Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah ditetapkan, temuan di lapangan menunjukkan proses penanganan kerap diskriminatif. Dalam kasus pemerkosaan yang menimpa perempuan berinisial An yang diadvokasi LBH Samarinda, aparat penegak hukum disebut masih merujuk pada regulasi lama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana).
"Seolah-olah UU TPKS belum disahkan," ujar Fathul. Padahal, dengan disahkannya UU TPKS, kasus kekerasan seksual masuk kategori lex spesialis, yaitu tindakan pidana yang memiliki aturan khusus dalam penanganannya.
Fathul juga menyinggung mengenai penanganan kasus di aparat penegak hukum yang cenderung menyudutkan korban. Setelah hasil visum keluar, misalnya, seorang aparat penegak hukum sempat menanyakan status keperawanan korban. "Pertanyaan ini dapat memperparah trauma korban," sebutnya.
Tak hanya itu, sempat juga ada upaya mediasi agar pelapor dan terlapor berdamai. Padahal, Fathul menegaskan bahwa upaya-upaya seperti itu justru merugikan korban yang dipaksa untuk memaafkan pelaku yang telah merugikannya secara fisik dan psikis. "Kekerasan seksual adalah tindak pidana yang tidak dapat diselesaikan melalui jalur damai," tegasnya.
Ketiga adalah pelanggaran kebebasan beragama. Pada Oktober 2024, bekerja sama dengan Aliansi Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, LBH Samarinda mengadvokasi penolakan pendirian rumah ibadah Gereja Toraja di Samarinda Seberang.
"Pihak gereja telah berusaha mendapatkan izin pembangunan gereja berdasarkan Surat Keputusan Bersama Dua Menteri," ungkapnya.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8/2006, yang lebih dikenal sebagai SKB 2 Menteri, mewajibkan persyaratan pembangunan rumah ibadah dengan ketentuan keberadaan 90 pengguna dan 60 dukungan dari masyarakat sekitar.
Sejak Juli 2023, pihak gereja telah mengumpulkan KTP sebanyak 110 warga yang mendukung pembangunan gereja. Namun, kantor kelurahan setempat justru menolak dengan alasan penolakan dari sejumlah warga lain. Padahal, selama ini komunitas Toraja terpaksa beribadah dari rumah ke rumah karena tidak adanya gereja. Kegiatan ibadah kemudian dipusatkan di atap terbuka rumah seorang pendeta, namun tetap saja tidak memadai.
Upaya memperoleh perizinan terus dilakukan dan berkali-kali memperoleh penolakan. Pada Agustus 2024, pihak gereja mendatangi ketua RT yang menolak memberi pengantar keterangan domisili. Beberapa saat setelah itu, terpasang sebuah spanduk bertuliskan "Warga menolak pembangunan gereja". Advokasi kasus ini masih berlanjut hingga kini.
Selain dari sejumlah kasus tersebut, LBH Samarinda turut melakukan advokasi atas kasus pembunuhan yang terjadi di Muara Kate, Paser. Peristiwa yang terjadi pada 15 November 2024 itu merenggut nyawa Rusel, 60 tahun, yang berada di pos swadaya warga untuk mengawasi lalu lalang truk pengangkut batu bara di jalan umum yang melewati perkampungan warga.
"Proses advokasi pengusutan kasus ini masih tengah berjalan," ucap Fathul.
Selain itu, LBH Samarinda juga memberikan konsultasi kepada Aliansi Kotak Kosong di Pemilihan Wali Kota Samarinda. Seperti diketahui, Pilwali Samarinda berlangsung dengan calon tunggal.
Beralih ke Zainal Arifin, ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Ia menyebutkan bahwa kasus-kasus yang ditangani LBH Samarinda tak bisa dilihat sebagai konflik sosial semata, sebab selalu ada faktor abainya aparat penegak hukum.
"Contohnya di Muara Kate itu, kejadian ada di depan mata tetapi seolah-olah dibiarkan begitu saja," sesalnya.
Ia juga memperingatkan pola-pola keterlibatan organisasi masyarakat bergaya militer, atau biasa disebut paramiliter, yang mengatasnamakan identitas kesukuan atau agama tertentu dalam konflik dengan warga. Zainal menilai, pola konflik serupa menggunakan ormas paramiliter kerap terjadi di beberapa daerah.
"Negara bisa berkelit mengatakan ini konflik sosial, tetapi ada skema-skema yang mesti diperhatikan,â tandas Zainal.
Kembali ke Fathul, karena setiap isu salit berkaitan, dirinya menyebutkan bahwa kolaborasi menjadi penting. Isu pertambangan yang menjadi fokus Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) atau isu lingkungan yang kerap menjadi advokasi Walhi, juga adalah masalah hukum yang menjadi ranah dari LBH Samarinda.
"Jadi tidak berdiri sendiri dan bagaimana menyadari irisan (intersection) isu itu untuk kemudian bekerja secara kolaboratif," pungkasnya. (*)