kaltimkece.id Ahad, 25 Mei 2025 seharusnya menjadi hari sukacita bagi umat Kristen Toraja di Kelurahan Sungai Keledang, Samarinda Seberang. Jemaah mereka yang semula bernama Cabang Kebaktian Sungai Keledang, kini menjadi Jemaat El Shaddai Sungai Keledang.
"Mereka sudah menjadi lembaga yang mandiri," ucap Hendra Kusuma, pendeta yang turut hadir dalam peresmian Jemaat El Shaddai Sungai Keledang.
Namun Ahad itu, mereka dikejutkan keberadaan beberapa spanduk yang muncul di pagi buta. Spanduk bertulis, "Kami Warga Sungai Keledang Menolak Keras Berdirinya Gereja di Sungai Keledang", menebar intimidasi. Salah satu spanduk bahkan dipasang berdekatan dengan rumah Meliasni Panggalo, pendeta yang merupakan ketua Majelis Gereja Toraja Sungai Keledang.
"Ini perilaku diskriminatif," tegas Hendra, yang juga ketua Aliansi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AAKBB) Kaltim.
Padahal, beber Hendra, dua surat rekomendasi sebagai syarat pendirian rumah ibadah telah dikantongi Jemaat El Shaddai, yaitu dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Samarinda. Rekomendasi itu dikeluarkan pada 15 April 2025.
Penolakan ini bukan yang pertama. Dalam catatan Hendra, spanduk serupa pernah muncul pada Agustus dan September 2024 lalu, ketika ia bersama pihak Gereja Toraja sedang mengurus surat rekomendasi di FKUB dan Kantor Kemenag Samarinda.
"Ini sudah yang ketiga kali, kami lama-lama terbiasa sebenarnya," akunya sambil tertawa getir.
Hendra menyebutkan, selama ini warga Kristen Toraja telah menanti-nanti keberadaan bangunan fisik Gereja Toraja di Sungai Keledang. Sejak 2008, mereka hanya mampu beribadah dari rumah ke rumah milik jemaat. Pada 2020, ibadah dipusatkan di pastori, sebutan untuk rumah yang ditinggali ketua Majelis Gereja Toraja Sungai Keledang. Baru tahun ini akhirnya rekomendasi pendirian rumah ibadah diperoleh.
Secara terpisah, Ketua RT 24 Kelurahan Sungai Keledang, Samarinda Seberang, Marliani mengklaim selama ini warga Kristen Toraja beribadah tanpa gangguan. Namun, ia menilai pendirian Gereja Toraja di Sungai Keledang bermasalah terkait perizinan. "Ada syarat-syarat yang belum terpenuhi," ucapnya.
Ia menyebut pihak Gereja Toraja memanipulasi tanda tangan untuk memperoleh rekomendasi dari FKUB. Selain itu hanya ada 22 keluarga yang beragama Kristen di RT 24 Sungai Keledang. Jauh dari syarat ketentuan tanda tangan 60 warga Kristen di wilayah RT 24.
"Sehingga tidak memenuhi syarat minimal," sebutnya.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa dukungan dari warga sekitar diperoleh dengan membohongi warga. Tanda tangan yang warga bubuhkan tanpa menyebut persetujuan untuk pendirian gereja.
Setali tiga uang, Lurah Sungai Keledang, Rahmadi memberikan pernyataan serupa. Ia menganggap pihak Gereja Toraja menyalahgunakan tanda tangan yang diberikan warga di Sungai Keledang. Karena itu pula, izin persetujuan bangunan gedung (PBG) belum ada.
"Spanduk-spanduk penolakan tersebut bentuk kekecewaan warga," ujarnya mencoba mengaitkan kekecewaan warga atas tuduhan penyalahgunaan tanda tangan.
Dikonfirmasi tuduhan itu, Hendra mengakui ada perubahan saat pengumpulan tanda tangan dari warga Kelurahan Sungai Keledang. Semula warga yang sudah tanda tangan berjumlah 105, berkurang menjadi 80 tanda tangan.
"Tetapi itu 'kan, tetap memenuhi syarat," sebutnya. Syarat yang dimaksud Hendra merujuk pada ketentuan surat keputusan bersama 2 Menteri pada 2006, yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri 9 dan 8/2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.
Peraturan itu menyebutkan dalam hal mendirikan rumah ibadah, diperlukan paling sedikit 90 daftar nama disertai kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadah. Jumlah pengguna rumah ibadah harus dalam lingkup wilayah desa atau kelurahan yang sama.
Syarat lainnya adalah berkas permohonan izin harus dilengkapi dukungan tanda tangan sedikitnya 60 warga yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Kedua syarat ini mengharuskan warga pendukung dalam lingkup desa atau kelurahan.
Merujuk syarat dalam SKB 2 Menteri, menurut Hendra, dengan jumlah 80 tanda tangan telah melampaui yang disyaratkan peraturan. Sementara untuk syarat pengguna, ia menyebutkan bahwa jumlah pengguna Gereja Toraja di Sungai Keledang melebihi 90 orang.
"Lagi pula yang namanya rumah ibadah, siapapun bisa menjadi pengguna," ucapnya.
Gereja Toraja di Sungai Keledang, sambung Hendra, tak hanya digunakan warga yang tinggal di Kelurahan Sungai Keledang saja. Namun juga bagi warga Toraja yang berasal dari kawasan lain di Samarinda.
Jumlah pasti warga Toraja di Kota Samarinda tidak tersedia dalam data resmi yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) atau instansi pemerintah lainnya. Namun, berdasarkan data sensus BPS, suku Toraja mencakup 1,96% dari total penduduk Kaltim.
Jika menggunakan persentase tersebut sebagai perkiraan kasar dan mengaplikasikannya pada jumlah penduduk Samarinda yang mencapai sekitar 868.499 jiwa pada semester I tahun 2024, maka jumlah warga Toraja di Samarinda diperkirakan sekitar 17 ribu jiwa. Sejumlah warga Toraja di Samarinda pun tergabung dalam Ikatan Keluarga Toraja (IKAT).
Hendra pun membantah tuduhan ketua RT 24 bahwa Gereja Toraja berbohong dalam proses pengumpulan tanda tangan. Ia memastikan pengumpulan tanda tangan sudah menyebut tujuan untuk pendirian Gereja Toraja.
Terkait izin PBG, Hendra mengakui bahwa Gereja Toraja masih dalam proses perizinan dan pembangunan secara fisik Gereja Toraja pun belum dimulai. Sejauh ini, jemaat masih beribadah di pastori, rumah pendeta sambil menunggu PBG selesai.
"Dalam acara kemarin pun kami hanya mendirikan tenda di tanah yang akan dibangun gereja. Sempat ada wacana peletakan batu pertama, tetapi tidak dilakukan karena belum ada PBG," terangnya.
Ditemui di Balai Kota, Wali Kota Samarinda Andi Harun menekankan persoalan ini sensitif. Ia akan mendorong agar kedua belah pihak yang pro dan kontra duduk bersama.
"Akan kami cek dan periksa untuk mengetahui duduk permasalahannya berdasarkan fakta dan keadaan," ucap wali kota dua periode itu.
Meskipun begitu, Andi belum bisa memastikan kapan upaya mediasi dilakukan. Ia menyerahkan persoalan ini diselesaikan di tingkat kecamatan terlebih dahulu. Termasuk melibatkan FKUB dan Kantor Kementerian Agama Samarinda di tingkat kota. "Dalam pendirian rumah ibadah, Pemkot Samarinda tidak berdiri sendiri," tegasnya.
Politikus Gerindra itu juga mengimbau agar isu ini tidak menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Ia berharap agar persoalan ini diselesaikan secara baik-baik, keluargaan serta tetap proporsional.
"Yang penting jangan sampai mengganggu persatuan kita. Teman-teman juga harap mengerti bahwa isu agama itu isu sangat sensitif," tandasnya.
Kaltimkece.id menemui kepala Kantor Kemenag Samarinda dan Sekretariat FKUB Samarinda yang terletak di Jalan Harmonika, Samarinda. Namun, baik kepala Kantor Kemenag maupun FKUB Samarinda sedang tidak berada di tempat.
Kendati demikian, kaltimkece.id memperoleh dokumen surat rekomendasi dari Kantor Kemenag Samarinda. Surat itu ditandatangani langsung oleh Kepala Kantor Kemenag Kota Samarinda, Aji Mulyadi.
Surat bernomor B-1094/Kk.16.01.1/BA.01.1/04/2025 dikeluarkan pada 10 April 2025. Dalam surat rekomendasi ini, Kantor Kemenag Samarinda memberikan izin pendirian rumah ibadah kepada Gereja Toraja Jemaat Bukit Harapan Loa Janan, Cabang Kebaktian Sungai Keledang. Rekomendasi itu turut menyebutkan nama Meliasni Panggalo sebagai pemohon.
Halili Hasan, direktur eksekutif Setara Institute menilai bahwa sulitnya pendirian rumah ibadah bagi minoritas bukan barang baru. Ia menyebut perkara ini adalah masalah sistemik yang berasal dari regulasi.
"Justru SKB 2 Menteri itu masalahnya," sebut dia.
Secara substansi, Halili menilai SKB 2 Menteri memberikan celah besar bagi pemeluk agama mayoritas untuk menolak keberadaan pemeluk agama minoritas. Terutama terkait persyaratan 90 pengguna rumah ibadah serta dukungan tanda tangan 60 warga setempat.
"Itu 'kan, ekspresi dari upaya membatasi minoritas," ucapnya.
Ia menganggap ketentuan jumlah minimal tersebut telah melanggar norma hukum di atasnya, yaitu Pasal 28 Ayat 2, Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
"Disitu ada kata 'tiap-tiap' dan 'masing-masing', artinya jika pemeluk agama itu hanya satu atau dua orang pun dalam satu wilayah, negara wajib melindungi hak warga negara dalam mendirikan rumah ibadah," tegasnya.
Meskipun begitu, Halili menilai bahwa pemerintah daerah dapat berinisiatif dengan mengeluarkan peraturan di tingkat daerah yang memfasilitasi pendirian rumah ibadah. Salah satu contoh adalah di Kupang. Melalui Peraturan Wali Kota Kupang 79/2020 tentang Pedoman Fasilitasi Pembangunan Rumah Ibadat di Kupang, Pemkot Kupang membantu dalam menyediakan lokasi pendirian rumah ibadah.
Selain itu, proses pendirian rumah ibadah juga dibantu dengan adanya tim fasilitasi lintas institusi. Terdiri dari lurah dan camat setempat, kepala badan kesatuan bangsa dan politik, serta kepala dinas pekerjaan umum dan penataan ruang.
Tim fasilitasi tersebut diwajibkan untuk membantu proses pendirian rumah ibadah secara teknis pembangunan gedung serta administrasi pemerintahan. Tak hanya itu, tim fasilitasi juga diwajibkan untuk membangun komunikasi dan dialog untuk pendirian rumah ibadah.
"Kupang itu mayoritas Katolik, mereka justru memberi ruang agar Muslim yang minoritas di sana dapat mendirikan rumah ibadah," sorotnya.
Situasi itu seharusnya menjadi percontohan sehingga di daerah lain pemeluk agama minoritas tidak tersingkir. Tanpa keseriusan pemerintah daerah, tak heran fenomena gereja yang menggunakan ruko, ruang hotel serta mal kerap terjadi.
"Kenapa itu terjadi? Karena sejak awal mendirikan rumah ibadah dipersulit," tandasnya. (*)