kaltimkece.id Setelah 22 tahun, sejak pertama kali direncanakan, pembangunan Bandara Aji Pangeran Tumenggung Pranoto akhirnya tuntas. Lapangan terbang di Sungai Siring itu mulai dioperasikan pada Kamis, 24 Mei 2018. Ia adalah bandara ke-13 yang berdiri di sekujur wilayah Kaltim. Dari bilangan itulah, Kaltim menduduki posisi kelima sebagai provinsi dengan bandara terbanyak di Indonesia.
Provinsi dengan lapangan terbang paling melimpah se-Nusantara ialah Papua. Sebanyak 82 bandara berdiri di provinsi paling timur Indonesia itu, seturut data Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan. Tetangganya, Papua Barat, berada di posisi kedua dengan 23 bandara. Selanjutnya adalah Nusa Tenggara Timur (16 bandara), Maluku (14 bandara), kemudian Kaltim (13 bandara). Selain peringkat kelima nasional, Kaltim menjadi provinsi dengan bandara terbanyak di Pulau Kalimantan.
Dari 13 bandara di Kaltim, tiga di antaranya dilengkapi landasan pacu dengan panjang lebih dari 2.000 meter. Ketiganya membentang di Bandara Internasional Sultan AM Sulaiman Sepinggan di Balikpapan, Bandara APT Pranoto di Samarinda, serta Bandara Kalimarau di Berau.
Baca juga: Gubernur APT Pranoto, Akhir Pilu Sang Pendukung Kemerdekaan
Sepuluh bandara yang lain, dengan runway lebih pendek, tersebar di kabupaten dan kota. Satu lapangan terbang berdiri di Bontang, kemudian Bandara Datah Dawai di Mahakam Hulu, lapangan terbang di Kota Bangun, dan bandara Long Apari di Mahakam Hulu milik TNI. Selanjutnya adalah Bandara Maratua di Berau, Bandara Melalan di Kutai Barat, lapangan terbang di Muara Wahau, lapangan terbang di Paser, Bandara Tanjung Bara di Sangatta, dan Bandara Temindung di Samarinda. Nama yang terakhir akan dihapuskan.
Ironi Bandara Terbanyak
Lima provinsi dengan bandara terbanyak di Indonesia mengandung sejumlah kesamaan. Kelimanya berdiri di kawasan timur Indonesia. Wilayah mereka sangat luas dibandingkan provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Sekebalikan dengan Pulau Jawa, penduduk kelima provinsi ini berjumlah sedikit serta tinggal berjauhan.
Sebagai gambaran, total bandara di kelima provinsi sebanyak 148 buah atau setengah dari seluruh bandara di Indonesia (298 buah). Padahal, besaran penduduk di lima provinsi itu hanya 14 juta atau 5,4 persen dari populasi total (Penduduk Indonesia, Hasil Survei Antar Sensus, 2015).
Selain kawasan, luas wilayah, dan demografi, kelima provinsi memiliki kemiripan dalam hal infrastruktur. Keadaan jalan darat di Kalimantan, Maluku, dan Papua, adalah yang paling tertinggal di Indonesia. Kesenjangan infrastruktur di Indonesia digambarkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Analisis Kesenjangan Wilayah (2012).
Analisis tersebut menggunakan bahasa teknis “kerapatan jalan.” Istilah itu menggambarkan jangkauan jalan lewat rasio antara panjang jalan dengan luas wilayah. Nilai kerapatan jalan diperoleh dari pembagian panjang jalan (kilometer) dengan luas wilayah (kilometer persegi). Semakin kecil nilai kerapatan jalan, semakin kecil jalan menjangkau suatu wilayah. Demikian pula sebaliknya.
Menurut Bappenas, kerapatan jalan di kawasan barat Indonesia sebesar 0,46. Kesenjangan segera tergambar karena kerapatan jalan di kawasan timur hanya 0,15. Jika data itu diperas lagi, jangkauan jalan di antara pulau-pulau di Indonesia makin menunjukkan kepincangan. Jawa dan Bali adalah pulau yang memiliki kerapatan jalan tertinggi yaitu 0,89. Itu berarti, setiap 1 kilometer persegi (100 hektare) wilayah Jawa-Bali tersedia jalan sepanjang 890 meter.
Kerapatan jalan di Pulau Sulawesi adalah yang tertinggi kedua yaitu 0,43 persen. Sulawesi mengalami anomali yaitu pulau dari kawasan timur dengan jangkauan jalan yang cukup tinggi. Tidak mengherankan apabila tidak ada satu pun provinsi dari pulau ini yang masuk daftar pemilik bandara terbanyak di Indonesia.
Ironi datang bagi Kalimantan, Maluku, dan Papua, pulau-pulau penyumbang provinsi dengan bandara terbanyak. Kerapatan jalan di Kalimantan hanya 0,1, yang berarti, di setiap 1 kilometer persegi wilayah, hanya tersedia jalan sepanjang 100 meter. Adapun kerapatan jalan di Maluku adalah 0,16. Papua menjadi pulau yang paling tertinggal dengan kerapatan jalan hanya 0,06. Hanya 60 meter jalan yang tersedia di setiap 1 kilometer persegi Bumi Cenderawasih.
Dari nilai kerapatan jalan itu, diperoleh hubungan erat antara rendahnya jangkauan jalan dengan jumlah bandara. Semakin sedikit jalan menjangkau suatu wilayah, semakin banyak bandara berdiri. Kelima provinsi dengan bandara terbanyak di Indonesia adalah wilayah dengan jangkauan jalan darat yang buruk.
Tanpa akses darat yang memadai, pembangunan bandara dipilih untuk membuka isolasi daerah. Membangun lapangan terbang kecil tentu lebih mudah ketimbang membangun jalan. Namun, sebagai konsekuensi, penumpang yang dapat diangkut pesawat tentu terbatas. Biaya penerbangan juga jauh lebih tinggi ketimbang jalur darat. Tanpa jalur darat, biaya transportasi udara itulah yang harus ditanggung masyarakat di provinsi dengan bandara terbanyak. (*)