kaltimkece.id Bento, sebut saja oknum dosen ini demikian. Sejak 2021, ia tak lagi aktif mengajar di Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda. Penyebabnya, ia diduga melakukan pelecehan seksual terhadap tiga mahasiswa. Para mahasiswa itu tak lain merupakan anak didik Bento dalam bimbingan tugas akhir.
Setelah beberapa tahun tak terdengar kabar, nama Bento kembali menyeruak tahun ini. Wajahnya terpampang di sebuah spanduk seminar di salah satu fakultas. Dalam spanduk tersebut, tertulis, Bento menjadi pembicara dalam diskusi yang dilaksanakan pada Senin, 19 Agustus 2024. Belakangan, posisi Bento dalam acara tersebut diganti oleh dosen lain.
Keberadaan spanduk tersebut membuat sejumlah mahasiswa Fakultas Kehutanan murka. Kamis, 22 Agustus 2024, pukul 10 siang, puluhan rimbawan berunjuk rasa di Gedung Rektorat Universitas Mulawarman. Mereka meminta penjelasan atas munculnya foto Bento di lingkungan kampus.
"Kenapa dia masih berkeliaran?" ucap Jamhari, anggota Lem Sylva (sebutan Badan Eksekutif Mahasiswa Fahutan) yang menjadi koordinator lapangan aksi tersebut.
Wakil Dekan Fahutan Unmul, Erwin, yang hadir dalam aksi tersebut mengaku kaget atas kemunculan aktivitas oknum dosen tersebut di lingkup Unmul. Ia menyatakan tak bisa memberikan penjelasan karena hal tersebut bukan menjadi kewenangannya.
"Bukan ranah saya untuk menjawab," katanya.
Walau demikian, Erwin menegaskan bahwa oknum dosen tersebut telah dinonaktifkan dari seluruh kegiatan akademik di Fahutan. Dekanat Fahutan pun telah menuangkan keputusan tersebut ke surat. Keputusan ini diambil untuk menghormati proses hukum yang sedang dihadapi Bento.
"Keputusan tersebut telah melalui proses rapat senat juga," paparnya.
Perwakilan Rektorat Unmul, Prof Tamrin Rahman, mengatakan, proses hukum yang dihadapi oknum tersebut sedang berjalan di kejaksaan. Unmul dipastikan menghormati proses hukum tersebut. Sementara itu, perwakilan rektorat yang lain, Eddy Iskandar, mengatakan bahwa rektorat dapat memahami sikap yang diambil mahasiswa atas kejadian ini. Hanya saja, menurutnya, tuntutan seharusnya tidak hanya ditujukan kepada Rektorat Unmul.
"Seharusnya bisa dilakukan juga aksi di kejaksaan," ujarnya.
Walau tidak puas dengan jawaban tersebut, para mahasiswa menutup aksi pada pukul 1 siang. Sebelum aksi benar-benar disudahi, Jamhari selaku koordinator aksi membacakan pernyataan sikap yang berisikan tiga poin. Pertama, mahasiswa Fahutan Unmul mengecam segala bentuk pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di Unmul.
Kedua, meminta kejelasan kelanjutan hukum oknum dosen yang diduga menjadi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual di Unmul. Ketiga, menuntut ketegasan birokrasi Unmul dalam mengawal dan mengawasi kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus.
"Intinya, kami meminta agar oknum tersebut tidak lagi beraktivitas di lingkungan Universitas Mulawarman," tegasnya.
Ia memastikan, mahasiswa Fahutan akan kooperatif dalam mengawal kasus yang sedang berjalan di kejaksaan. Ia berharap agar oknum dosen itu juga dapat menghormati proses hukum yang sedang dihadapinya. (*)