kaltimkece.id Air mata Reni Lestari, 36 tahun, tak terbendung tatkala melihat anak berkebutuhan khusus usia empat tahun itu terbaring sakit. Jumat sore, 21 Maret 2025, Reni berkunjung ke Rumah Lansia dan Yatim Piatu Forum Jalinan Persaudaraan Kalimantan (FJDK) yang berlokasi di Perumahan Pondok Indah, Jalan Abdul Wahab Sjahranie, Samarinda. Ibu tiga anak tersebut dikagetkan kondisi seorang balita yang mengkhawatirkan saat pertama kali ia berkunjung ke panti.
"Awalnya saya melihatnya dalam kondisi badan yang gatal-gatal, di kepala sebelah kanan ada benjolan besar. Saat saya pegang kepalanya, ternyata anak itu sedang demam," ucap Reni saat ditemui selepas Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi IV DPRD Samarinda bersama panti FJDK dan sejumlah perangkat daerah Pemerintah Kota Samarinda, Rabu, 2 Juli 2025.
Tidak hanya itu, Reni juga melihat balita tersebut seperti tidak terawat. Mulai hidung yang terdapat banyak kotoran, rambut berkutu dalam jumlah banyak, hingga kuku yang panjang dan menghitam. Anak itu juga disebut menunjukkan gejala epilepsi, gangguan otak kronis yang ditandai dengan kejang berulang dan tidak terkendali.
"Celananya bahkan basah karena popok yang penuh belum diganti," sambungnya.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan pihak panti kepada Reni, balita itu dititipkan ke FJDK oleh sang ibu sejak 2 Januari 2024. Ibu dari anak itu disebut bekerja di luar kota dan harus berbagi waktu karena merawat nenek dari balita itu yang terkena stroke. Masih dalam keterangan pihak panti kepada Reni, ibu dari anak tersebut juga mengaku bahwa dirinya memiliki keterbatasan ekonomi.
Dua hari kemudian atau pada Ahad, 23 Maret 2025, Reni kembali mengunjungi FJDK. Kali ini ia bersama pihak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2PA) Samarinda dan Kaltim. Mereka membawa sejumlah makanan untuk dibagikan kepada para balita di panti itu. Anak tadi disebut berada di dalam kamar yang gelap bersama 12 balita lainnya.
Melihat kondisi anak yang memprihatinkan, Reni menuding panti tidak amanah dalam mengelola keuangan. Jumat, 11 April 2025, panti FJDK dilaporkan ke Polresta Samarinda. Panti diduga melakukan penipuan dan atau penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 378 dan atau 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Reni juga berinisiatif untuk mengadopsi balita tersebut. Namun demikian, langkah tersebut tidak bisa dilakukan karena ibu dari balita itu disebut masih kerap datang menjenguk sang anak. Jumat, 9 Mei, 2025, Reni berhasil bertemu dengan M, ibu dari anak tersebut. Berdasarkan kesepakatan bersama, M bersedia menyerahkan hak asuh kepada Reni.
Empat hari berselang atau pada Selasa, 13 Mei 2025, Reni membawa sang anak ke dokter anak di salah satu klinik di Samarinda. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan anak mengalami anemia. Kadar hemoglobin (HB) hanya 7,8 gram per desiliter. Sementara kadar HB normal balita usia empat tahun berkisar antara 10,9 sampai 15,0 gram per desiliter.
Melihat kondisinya yang melemah, Reni membawa anak asuhnya ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie (RSUD AWS). Balita itu juga divisum untuk mengetahui penyebab pasti benjolan di kepala sebelah kanan. Namun dalam RDP, visum ini dipersoalkan oleh Antonius Perada Nama selaku kuasa hukum Reni. Ia menilai, pihak RSUD AWS lamban mengeluarkan hasil visum karena hingga kini belum mereka terima.
Perwakilan rumah sakit berdalih bahwa hasil visum harus diserahkan secara langsung kepada Reni. Jika kuasa hukum yang ingin mengambil, harus atas kuasa Reni untuk pengambilan hasil visum tersebut atau ada surat dari kepolisian.
Selasa, 20 Mei 2025, laporan terhadap panti dialihkan dari Polresta Samarinda ke Polsek Sungai Pinang. Kali ini panti dilaporkan dalam kasus yang berbeda. Reni menuding Yayasan FJDK melakukan tindakan kekerasan terhadap anak asuhnya.
Sementara itu, pihak Yayasan Rumah Lansia dan Yatim Piatu FJDK Samarinda membantah tudingan tersebut. Bendahara FJDK, Sriska Ayu Jane, mengatakan bahwa benjolan bukan akibat penganiayaan. Anak itu disebut memiliki riwayat epilepsi.
"Ada saksi mata yang menyaksikan bahwa saat penyakitnya kambuh, anak sering membenturkan kepalanya ke lantai atau dinding panti. Jadi kami tidak menganiaya siapapun," tegas Ayu.
Ia juga membantah bahwa saat pertama kali Reni berkunjung ke panti, Reni menemukan kondisi anak yang demam dan menunjukkan gejala epilepsi. "Badannya hanya sedikit menghangat tidak sampai demam tinggi apalagi kejang-kejang," ujar Ayu.
Namun demikian, ia mengakui bahwa di sebagian tubuh terdapat krusta atau luka koreng. Dirinya juga tak menampik bahwa rambut anak memiliki kutu dalam jumlah yang cukup banyak. Kondisi ini kata Ayu, diketahui oleh M selaku ibu kandungnya.
"Termasuk popok yang belum diganti, itu benar adanya. Kami akui bahwa kami salah, untuk itu kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kegaduhan yang terjadi," ucapnya.
Ayu menjelaskan bahwa panti FJDK saat ini memiliki tujuh orang pengurus dan lima relawan. Dengan jumlah tersebut, mereka merawat 32 orang lanjut usia dan 22 anak termasuk balita.
"Bahkan balita tersebut berada di kamar yang memiliki pendingin ruangan bersama tujuh balita yang lain. Jadi tidak benar kalau mereka (balita) berada sebanyak 13 anak dalam satu kamar," terangnya.
Lebih lanjut Ayu mengaku tidak mengetahui motif dari M yang ikut menyerang dirinya. Padahal kata Ayu, saat pertama kali anaknya dibawa ke FJDK, telah ditolak oleh Ayu karena keterbatasan relawan dan biaya. Namun dikatakan Ayu bahwa M yang bermohon agar anaknya dirawat di panti tersebut. Pernyataan ini pernah disampaikan dalam RDP dan dibenarkan oleh M.
kaltimkece.id telah berupaya meminta keterangan dari M selepas RDP. Namun M tidak bersedia.
Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Novan Syahronny Pasie, turut menyampaikan keprihatinannya. Ia juga menyinggung keraguan sejumlah fasilitas kesehatan, baik negeri maupun swasta, untuk memberikan penanganan medis kepada anak tersebut. Hal ini kata Novan, disebabkan status hukum sedang berjalan.
Namun demikian, politikus Golkar itu mendorong agar pemulihan kesehatan anak bisa segera dilakukan. "Terlepas dari proses hukum yang berjalan, yang terpenting saat ini adalah penanganan kesehatan anak, baik fisik maupun mental," ucap Novan.
"Saya juga sudah sampaikan ke mereka (pihak fasilitas kesehatan) untuk tidak perlu ragu, karena pengobatan bukan berarti menghilangkan barang bukti," pungkasnya. (*)
Muhammad Al Fatih berkontribusi dalam penulisan artikel ini.