kaltimkece.id Mengenakan kemeja putih, Rio Satrio naik panggung di Auditorium Sekolah Tinggi Teknik Minyak dan Gas Balikpapan. Lelaki berusia 28 tahun itu bergegas mengambil sebuah gitar akustik. Setelah menghela napas, ia memetik senar-senar gitar dan menyanyikan lagu berjudul Cerita Daun dan Bumi. Ratusan orang yang memadati gedung tersebut bersorak.
Bumi pun tersadar
Daun ‘kan selalu ada
Lalu bersama buat dunia
Lebih indah
Sepenggal lirik dari Cerita Daun dan Bumi yang dinyanyikan Rio dengan syahdu itu sukses membuat para penonton hanyut. Mereka ikut mendendangkan lagu yang meraih 4 juta pendengar di Spotify tersebut. Penampilan Rio ditutup dengan tepuk tangan yang ramai.
Malam itu, 10 Maret 2023, Rio tampil dalam konser bertajuk Music Campus Volume 3. Ia tak sendiri. Fiersa Besari dan Pusakata, musisi dan grup musik indie dari Jakarta, turut mengisi acara yang digagas untuk memeriahkan dies natalis STT Migas itu.
Rio Satrio, musisi senja dari Samarinda. FOTO: MUHAMMAD AL FATIH
Rio merupakan musisi senja asal Samarinda. Ia lahir dan besar di kota ini. Pada Selasa malam, 11 April 2023, reporter kaltimkece.id mewawancarai Rio di kafe Kokopi Siradj Salman, Samarinda. Pria bernama panjang Muhammad Janwar Rien Satrio itu mengaku, suka musik sejak kecil. Sewaktu duduk di bangku SMP, ia bersama teman-temannya membentuk sebuah band.
“Saat itu, anak band itu keren,” cerita Rio yang merupakan lulusan Jurusan Psikologi, Universitas Mulawarman.
Band tersebut hanya bertahan sampai SMA. Saat kuliah, Rio memutuskan bersolo karier. Ia pun menciptakan sejumlah lagu. Awalnya, ia membuat lagu-lagu bergenre pop dengan nuansa jaz.
Pada 2016, Rio melihat musisi indie-folk seperti Payung Teduh dan Banda Neir mendapat banyak sambutan positif dari penikmat musik. Hal ini membuatnya memutar otak. Pelan-pelan, Rio membuat lagu dengan genre serupa. Cerita Daun dan Bumi adalah salah satu lagu indie yang dibuatnya.
Single yang pertama kali dipublikasikan di akun YouTube bernama Indielokal itu rupanya diminati banyak orang. Hingga 14 April 2023, video lagu tersebut ditonton 2,8 juta kali. Kolom komentarnya banjir komentar positif. Ada yang memuji kepiawaian Rio dalam menciptakan dan menyanyikan lagu.
Rio Satrio menjelaskan, Cerita Daun dan Bumi terinspirasi dari kehidupan personalnya. Daun dan Bumi disebut berasal dari nama kakak-beradik yang merupakan sepupu Rio. Bumi, kata dia, sempat mengidap keterlambatan bicara saat kecil. Gara-gara keterbatasannya itu, Bumi pernah dijauhi teman-temannya. Bumi merasa aman ketika dekat dengan Daun. Sang kakak kerap mengajaknya bermain.
“Peristiwa itulah yang mengilhami pembuatan lagu Cerita Daun dan Bumi,” jelas Rio.
Dari lagu tersebut, karier Rio melesat ke angkasa. Mengetahui Cerita Daun dan Bumi mendapat antusias besar, Rio menjadikannya sebuah album dengan judul yang sama. Pada 2017, ia mengikuti konser keliling kota-kota besar di Pulau Jawa, di antaranya Bandung dan Jakarta. Tur bertajuk Telusur Bumi itu berjalan sukses. Hampir setiap konser Rio Satrio, tiketnya selalu ludes.
Rio mengaku tak pernah menyangka bisa mencapai titik tertinggi dalam kariernya. Sebelumnya, ia hanyalah musisi yang tampil di acara-acara kecil seperti pernikahan. Ini dilakukan agar finansialnya selalu tercukupi.
Pada 2019, sebuah label musik dari Jakarta melirik Rio. Pada awal 2020, ia berangkat ke Jakarta. Sedianya, ia hendak mengikuti proses rekaman dan menjalin kerja sama untuk tur bersama label tersebut. Akan tetapi, belum seminggu di ibu kota negara, pandemi melanda Indonesia. Pemerintah membatasi kegiatan untuk mencegah penularan Covid-19. Rencana rekaman dan tur pun urung dilaksanakan. Rio dan keluarganya kembali ke Samarinda dengan membawa kekecewaan.
Pandemi tak hanya menggagalkan impian rekaman tapi juga mengempaskan karier Rio ke dasar tanah. Rio mengaku, sempat mengalami krisis finansial saat pandemi mengganas. Sejumlah alat musiknya dijual agar asap di dapur terus mengepul. Ia juga menggeluti beberapa bisnis lainnya.
Walau demikian, rasa cinta Rio terhadap seni musik tak pernah pudar. Ia terus menulis lagu. Bahkan, pengalaman pahitnya kala pandemi melanda ia jadikan lagu. Pengalaman itu, cerita dia, tentang kesulitannya membelikan sarapan untuk anaknya. Di sisi lain, ia mesti membeli bensin untuk kendaraannya.
“Saat itu, anak saya minta dibelikan nasi kuning tapi uang di dompet hanya tersisa Rp 20 ribu,” kenangnya. Ia tak menyerah. Ia membeli santapan tersebut dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan pulang yang diiringi hujan, kata-kata indah muncul di benaknya. Kata-kata itu kemudian dirangkainnya menjadi sebuah lagu berjudul Payung.
Kau tak perlu takut merasa sepi
Karena ada diriku di sisimu
Dengarlah sayang, ku akan jadi payung untukmu
Demikian sepenggal bait dari Payung. Lagu tersebut kini menjadi single terbaru Rio. Payung, ungkapnya, menceritakan tentang perjuangannya menjadi seorang ayah dan suami yang bertanggung jawab terhadap keluarga.
“Setiap saya membawakan lagu itu, saya selalu menangis,” tuturnya dengan suara bergetar.
Rio Satrio saat tampil di konser Music Campus Volume 3 di STT Migas Balikpapan. FOTO: MUHAMMAD AL FATIH
Ingin Bantu Musisi Lokal
Kini, kasus Covid-19 telah melandai. Industri kreatif pun mulai bangkit. Sejumlah musisi, termasuk Rio Satrio, telah beberapa kali kembali manggung. Borneo Indie Fest merupakan salah satu konser yang pernah diikuti Rio pada masa pandemi.
Momen kebangkitan ini dimanfaatkan Rio dengan mengusung warna baru dalam kariernya. Pria kelahiran 21 Januari 1994 itu mengajak sejumlah musisi lokal, di antaranya Finest dan Davy Jones, untuk berkolaborasi bersamanya. Ia juga membentuk manajemen musik bernama Indienesia Raya. Kehadiran manajemen ini merupakan hasil evaluasinya saat diputus kontrak pada awal pandemi.
Rio mengatakan, membentuk manajemen musik di Samarinda bukan hal yang mudah. Alat produksi dan sumber daya manusianya masih terbatas. Kendala lainnya, Kaltim belum memiliki aggregator. Aggregator adalah pihak yang mendistribusikan karya-karya musik secara digital ke platform-platform streaming seperti Spotify dan iTunes. Di Jawa, keberadaan aggregator disebut mulai berkembang. Yogyakarta, misalnya, memiliki Netrilis yang menjadi aggregator bagi musi-musisi lokal.
Di akhir interviu, Rio membeberkan rencananya merintis aggregator untuk musisi-musisi Samarinda. “Dengan begitu, musisi di Samarinda diharapkan dapat terus berkarya,” tutupnya. (*)