kaltimkece.id Api membubung tinggi di Halaman Gedung DPRD Kaltim. Sore itu, 21 Maret 2024 mahasiswa Universitas Mulawarman bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan segenap organisasi mahasiswa melakukan demonstrasi menuntut keadilan bagi masyarakat adat di Kalimantan Timur.
Berdasarkan rilis yang dikeluarkan oleh Aliansi Mahasiswa Kalimantan Timur Menggugat, terdapat beberapa peristiwa yang mendasari aksi ini. Misalnya, beberapa waktu lalu Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita Ibu Kota Nusantara melalui surat No. 019/ST I-TrantibDPP/OIKN/III/2024 meminta warga Kampung Pemaluan di Penajam Paser Utara untuk membongkar rumah mereka yang dianggap tak sesuai dengan Tata Ruang IKN.
Pasca menjadi perbincangan publik dan mendapat pertentangan, kebijakan itu akhirnya dibatalkan. Namun, itu bukan satu-satunya. Ancaman serius juga dihadapi oleh masyarakat adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang di Kedang Ipil. Kelompok ini mengalami ancaman serius dari industri pertambangan. Mulai dari tercemarnya sumber air bersih hingga rusaknya rumah warga.
Peristiwa-peristiwa tersebut, menurut Ketua BEM Universitas Mulawarman Naufal Banu Tirta Satria, semakin menegaskan pentingnya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat. âSejauh ini, baru lima masyarakat adat (di Kaltim) yang diakui oleh pemerintah,â sebutnya,
Lima masyarakat adat itu adalah Masyarakat Hukum Adat Kayan Umaq Lekan Desa Miau Baru, Masyarakat Hukum Adat Wehea di Wahau, Masyarakat Hukum Adat Basap Tebangan Lembak di Kecamatan Bengalon, Masyarakat Hukum Adat Long Bentuk di Kecamatan Busang, serta Masyarakat Hukum Adat Basap di Karangan Dalam. Padahal, ucap Naufal terdapat 185 komunitas masyarakat hukum adat di Kaltim.
Sejauh ini, Naufal menyebutkan baru mahasiswa dari Universitas Mulawarman yang turut bergabung dalam massa aksi. Namun, ia berharap agar ke depannya mahasiswa dari universitas lain dan segenap masyarakat agar dapat turut bergabung.
âJangan sampai kita hanya membicarakan isu nasional yang viral, tapi merupakan isu regional daerah di sekitar kita,â tegasnya.
Ditemui pasca aksi, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kaltim Saiduani Nyuk menyoroti betapa rumitnya proses pengakuan masyarakat adat. Keluarnya Surat Keputusan (SK) untuk pengakuan terhadap masyarakat adat kerap memerlukan kemauan politik dari pemerintah daerah itu sendiri.
Padahal, konflik lahan yang terjadi terhadap masyarakat adat bukan hanya merugikan mereka dari sisi tempat tinggal. Kebanyakan masyarakat adat di Kaltim memanfaatkan hutan adat untuk mendapatkan bahan obat-obatan, serta prosesi ritual. Ketika tidak ada pengakuan secara hukum, mereka tidak mempunyai pegangan tatkala hutan mereka diambil untuk kepentingan industri ataupun pemerintahan.
âOleh karena itu, kami mendorong adanya pengesahan terhadap RUU Masyarakat Adat,â ucap pria yang akrab disapa Duan tersebut. Ia menilai, pengesahan RUU Masyarakat Adat dapat menjadi payung regulasi yang melindungi segenap masyarakat adat.
Sejak lebih dari sepuluh tahun terakhir disuarakan, RUU Masyarakat Adat tak kunjung disahkan. Dengan masuknya RUU Masyarakat Adat di Prolegnas, Duan berharap agar regulasi tersebut agar segera diketok palu.
Ancaman terhadap masyarakat adat, nilai Duan semakin nyata dengan keberadaan IKN. Kawasan Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara yang menjadi lokasi IKN memiliki beragam masyarakat adat di dalamnya. Apa yang terjadi terhadap masyarakat di Kampung Pemaluan sudah menjadi bukti nyata.(*)