kaltimkece.id Sudah kesekian kalinya Aji Muhammad Fahrudin, 29 tahun, ditodong pertanyaan sejenis. Orang-orang yang baru berkenalan dengannya biasanya ingin mengetahui nama depan Aji. Mereka pun kerap bertanya, Fahrudin keturunan sultan Kutai Kertanegara Ing Martapura atau bukan.
“Dari sekolah dasar sampai kuliah, saya selalu ditanyai seperti itu,” aku Fahrudin kepada kaltimkece.id, Jumat, 20 Januari 2023. “Kalau saya jawab bahwa saya adalah keturunan sultan, pertanyaan selanjutnya selalu mengenai sejarah,” terang pengusaha kedai kopi di Tenggarong ini seraya tersenyum.
Aji Muhammad Fahrudin memang menyandang gelar kebangsawanan Kutai. Ia menerima trah tersebut dari ayahnya, Aji Ali Zain Faisal, putra ketiga Sultan Aji Muhammad Salehuddin II yang mangkat pada 2018. Dalam kalimat lain, Fahrudin adalah cucu dari sultan.
Menjadi kerabat dekat sultan, diakui Fahrudin, membawa dua sisi. Pertama, ia sering diperlakukan istimewa. Sementara hal yang tidak mengenakkan, Fahrudin beberapa kali dijauhi. Sikap demikian tidak lepas dari stigma bahwa orang-orang bergelar bangsawan Kutai sulit bergaul dengan warga biasa.
"Ada stigma yang menyebut keturunan Aji itu angkuh. Padahal, tidak sama sekali," tuturnya.
Gelar Aji disebut membawa beban moral. Para penyandang gelar wajib menunjukkan kehidupan beradab dan berbudaya di tengah masyarakat. Di samping itu, Fahrudin menambahkan, laki-laki dan perempuan keturunan Aji sekarang ini sama dengan orang biasa. Tidak ada yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari. Hanya pada saat upacara Erau, keturunan kesultanan diharapkan berpartisipasi menjalankan ritual.
"Pemilik gelar Aji juga sepantasnya menjalankan tradisi budaya turun-temurun," jelasnya.
Ragam Gelar Aji
Semua anggota keluarga Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martapura memiliki gelar kebangsawanan. Khusus Aji, ada bermacam-macam penggunaannya. Lisda Sofia dkk dari Program Studi Psikologi, Universitas Mulawarman, menulis sembilan penggunaan gelar Aji.
Gelar tertinggi yaitu Aji Sultan yang hanya digunakan oleh sultan. Di bawah Aji Sultan, ada Aji Ratu yang disandang permaisuri. Selanjutnya adalah Aji Pangeran bagi putra sultan dan Aji Putri untuk putri sultan.
Penggunaan gelar Aji berikutnya ialah Aji Raden yang setingkat di atas Aji Bambang. Diikuti dengan gelar Aji. Sementara dua yang terakhir adalah Aji Sayid dan Aji Syarifah. Kedua gelar tersebut diturunkan oleh perempuan bergelar Aji yang menikah dengan lelaki keturunan Arab (Gelar Kebangsawanan Kesultanan Kutai Kartanegara Sebagai Status Sosial, hlm 2-3, 2017).
Kepada kaltimkece.id, Awang Rifani selaku budayawan Kukar menjelaskan asal-usul nama Aji. Gelar ini pada awalnya digunakan Aji Batara Agung Dewa Sakti, raja pertama Kutai Kertanegara. Sang raja berkuasa di Jaitan Layar atau Kutai Lama pada 1300-1325.
“Aji Batara Agung kemudian menurunkan nama Aji kepada putranya yaitu Paduka Nira," jelas Awang Rifani.
Nama ini mulai digunakan kerabat keraton semasa pemerintahan Aji Maharaja Sultan, putra Paduka Nira. Aji Maharaja Sultan yang memimpin kerajaan pada awal abad ke-15 mewajibkan keluarga besarnya memakai gelar tersebut. Tujuannya adalah menunjukkan identitas Kerajaan Kutai. Semenjak itulah, nama Aji digunakan turun-temurun sampai sekarang.
Aji disebut memiliki makna berilmu dan dihormati. Awang Rifani melanjutkan, gelar itu dapat diturunkan. Adapun penggunaan Aji Bambang dan Aji Raden, jelasnya, merupakan gelar kehormatan yang diberikan pihak kesultanan kepada menteri dan pejabat di lingkup keraton.
Awang, Dayang, dan Encek
Gelar kebangsawanan yang lain adalah Awang dan Dayang. Menurut Awang Rifani, kedua nama itu diserap dari bahasa yang digunakan di Kerajaan Tuban Layar. Kerajaan tersebut pernah berdiri di Paser.
Pada abad ke-15, kakak tertua Aji Maharaja Sultan dari Kutai yang bernama Aji Maharaja Sakti mempersunting anak perempuan Raja Tuban Layar. Di kerajaan tersebut, Awang dipakai untuk memanggil abang atau kakak laki-laki tertua. Dayang, sementara itu, merupakan sebutan bagi anak perempuan kesayangan.
Beberapa waktu kemudian, Aji Maharaja Sultan yang tengah berkuasa dikaruniai dua anak perempuan. Ia tak memiliki putra mahkota untuk meneruskan takhta kerajaan. Maharaja Sultan lantas mengajukan permintaan kepada kakaknya, Maharaja Sakti, yang berkuasa di Kerajaan Tuban Layar, Paser. Ia meminta menikahkan anak laki-lakinya bernama Temenggung Baya-Baya dengan anak perempuan Maha Raja Sultan. Dengan demikian, Kerajaan Kutai memiliki penerus dinasti.
“Setelah Temenggung Baya-Baya dinikahkan dengan anak perempuan Aji Maharaja Sultan, gelar Awang dan Dayang digunakan sebagai nama panggilan di tanah Kutai," tutur Awang Rifani, budayawan yang berusia 45 tahun.
Awang Rifani menjelaskan, laki-laki yang memiliki gelar Awang akan menurunkan gelar Awang dan Dayang kepada putra-putrinya. Sementara seorang Dayang dapat menurunkan gelar yang sama kepada putrinya. Apabila anaknya adalah laki-laki, diizinkan memberi gelar Awang. Biasanya, anak tersebut disebut Awang Gantong (Gantung).
“Maksudnya, gelar yang diturunkan dari ibu kandungnya," jelas Awang Rifani.
Gelar Awang disebut memiliki beberapa tingkatan. Sepengetahuan Rifani, pertama adalah Awang sebagai panggilan kepada anak laki-laki. Kedua Awang Mas, gelar bagi tokoh atau keturunan Awang yang berjasa bagi kesultanan. Ketiga adalah gelar Nik yang merupakan strata tertinggi bagi gelar Awang. Gelar ini diberikan karena jasa yang besar bagi kesultanan.
"Seperti panglima perang Kerajaan Kutai, Awang Long, yang bergelar Nik," sebut budayawan yang bekerja sebagai dosen tersebut.
Adapun gelar Encek, biasa digunakan di lingkungan Keraton Kutai. Gelar itu merupakan panggilan bagi mereka yang bersuku Melayu. Kebanyakan mereka adalah cendekiawan yang mengabdi kepada Kesultanan Kutai.
"Dari cerita, Encek awalnya warga Kerajaan Malaka (Malaysia) yang mencari suaka di Kesultanan Kutai," jelas Rifani.
Pesan dari Kesultanan
Raden Deddy adalah kerabat Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martapura. Ia menjelaskan bahwa gelar Aji, Awang, Dayang, dan Encek memiliki kewajiban dan tanggung jawab. Para penyandang nama tersebut harus menjaga kelestarian dan adat-istiadat leluhur.
"Otomatis, (mereka) secara moril harus menjaga kebudayaan dan adat Kutai selama menyandang nama dan kasta kesultanan itu," tuturnya.
Raden Deddy melanjutkan, ada dua jenis gelar secara umum. Kategori pertama adalah gelar tutus yaitu turunan sedarah. Kategori kedua adalah gelar titis. Gelar ini diberikan kepada orang-orang tertentu di luar lingkungan kesultanan sebagai bentuk penghormatan. Semua gelar kebangsawanan terus melekat dan tidak bisa dicabut pihak kesultanan.
Sampai sekarang, belum ada catatan resmi mengenai jumlah yang menyandang nama Aji, Awang, Dayang, dan Encek. Raden Deddy memperkirakan jumlahnya ada ribuan. “Paling banyak bermukim di Tenggarong," tutupnya. (*)
Senarai Kepustakaan
Sofia, Lisda, dkk. 2017. Gelar Kebangsawanan Kesultanan Kutai Kartanegara Sebagai Status Sosial. Psikostudia: Jurnal Psikologi Vol 6 No 2. DOI:10.30872/psikostudia.v6i2.2371