kaltimkece.id Selepas menunaikan salat Jumat, Muhidin M Dahlan bersama seorang kawannya pergi ke Warung Kopi Koh Abun di Jalan Pelabuhan, Samarinda Kota. Setibanya, Muhidin memesan secangkir kopi susu yang menjadi minuman andalan di kedai tersebut. Sembari menunggu pesanan datang, pria berusia 45 tahun itu menyesap sebatang keretek.
Jumat siang, 16 Juni 2023, di sela-sela menikmati kopi susu, Muhidin menyambut kedatangan belasan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman. Kehadiran para mahasiswa ini bukan tak ada asap. Mereka diundang Muhidin untuk ngopi bareng. Kepada kaltimkece.id, Muhidin mengatakan, kegiatan tersebut diadakan sebagai caranya menebus ‘kesalahan’ pada hari sebelumnya.
Pada Kamis, 15 Juni 2023, Muhidin membatalkan agenda menyantap kopi bersama sejumlah pegiat literasi di Samarinda. Hal ini terpaksa ia lakukan karena acara kaderisasi organisasi mahasiswa tingkat nasional yang diisinya memakan waktu cukup panjang. Acara tersebut menjadi tujuan utama Muhidin datang ke Kota Tepian pada Kamis itu. Sebelumnya, ia dari Yogyakarta.
Pembatalan agenda itulah yang disebut Muhidin sebagai kesalahan. Ia pun membuat tema nyeleneh untuk menggambarkan kegiatan di Warung Kopi Koh Abun. “Tulis saja di flyer ‘Edisi Penebusan’,” ucap penulis yang kerap disapa Gus Muh itu.
Selain penulis, Muhidin juga seorang sastrawan. Telah banyak buku fiksi dibuatnya. Salah satu novel karyanya berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!. Walau telah menulis banyak buku namun sikap dan penampilan Muhidin pada siang itu tak tampak seperti sastrawan. Sikap dan penampilannya tak jauh berbeda dengan para pria di Warung Kopi Koh Abun.
Ketika matahari telah condong ke barat pada pukul 5 sore, hujan mengguyur warung tersebut. Muhidin segera memasang kacamata dan menulis beberapa catatan. Saat menulis, seseorang di sampingnya menyebut nama Djumrie Obeng (alm).
“Djumrie Obeng? Aku punya arsipnya itu,” sahut Muhidin.
Djumrie Obeng merupakan sastrawan asal Kaltim. Ia disebut sebagai satu-satunya sastrawan Kaltim yang rutin mengisi artikel di Harian Bintang Timur, sebuah media koran yang diprakasai Pramoedya Ananta Toer (alm), maestro prosa Indonesia. Akan tetapi, nama Djumrie Obeng tak sebesar Korrie Layun Rampan (alm), penulis kelahiran Samarinda. Arsip karya milik Djumrie Obeng pun nyaris tak terlacak di internet, begitu pula di perpustakaan provinsi dan Perpustakaan Kota Samarinda.
“Aku sering melihat namanya di Harian Bintang Timur ketika mengakses arsip di perpustakaan nasional,” ucap Muhidin. Ia lantas memperlihatkan sebuah arsip mengenai Djumrie Obeng. Boleh jadi, itu adalah satu-satunya arsip Djumrie Obeng yang tersisa.
Muhidin M Dahlan (kiri), seorang penulis dan sastrawan. Salah satunya karyanya adalah novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!. FOTO: ANDIKA PRATAMA-KALTIMKECE.ID
Muhidin pernah melihat aktivitas Pram–sapaan Pramoedya Ananta Toer–dari dekat. Ia mengaku terkesima saat melihat rutinitas Pram mengarsipkan koran yang mengulas tentang desa-desa di Indonesia.
“Kalau arsipnya itu ditumpuk, tebalnya bisa mencapai 17 meter,” ucap Muhidin dengan wajah terkagum. Dari Pram, ia belajar banyak hal. Salah satunya tentang sejarah Indonesia. “Kronik Indonesia itu isinya catatan sejarah Indonesia selama 100 tahun. Pram punya itu semua,” sambungnya.
Upaya Pram mengarsipkan berita tentang desa-desa menjadi salah satu alasan Muhidin mendirikan sebuah ruang pengarsipan digital pada 2013. Belakangan, ruangan tersebut dikenal dengan sebutan Warung Arsip. Muhidin mengatakan, mengarsipkan dokumen amat penting. Cepat atau lambat, arsip tersebut akan berguna bagi masyarakat.
“Saat Pramoedya Ananta Toer dipenjara di Pulau Buru, ingatannya selalu tentang arsip-arsip kolonial,” kenang pria kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, 12 Mei 1978, itu. Dalam membangun Warung Arsip, Muhidin bekerja bersama sejumlah orang dalam sebuah tim. Khusus mengarsipkan koran, ia lakukan sendiri.
Mengarsipkan dokumen, Muhidin berujar, tak melulu harus hal-hal yang penting saja. Menjaga nomor telepon kerabat dan kolega serinci dan serapi mungkin, sebutnya, juga termasuk pengarsipan. “Tak perlu mengeluhkan kerja-kerja pengarsipan. Mulailah dengan apa yang bisa dikerjakan, arsipkan apa yang bisa diarsipkan,” serunya.
Muhidin M Dahlan saat bersua muka dengan sejumlah pemuda Samarinda. FOTO: ANDIKA PRATAMA-KALTIMKECE.ID
Novelnya Diadaptasi Jadi Film
Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! merupakan buku fiksi pertama yang dibuat Muhidin pada 2003. Saat menulis buku tersebut, Muhidin sedang bekerja di penerbit Lentera Dipantara yang juga digagas Pramoedya Ananta Toer. Ia mengaku, sebagian besar karyanya terinspirasi dari cara Pram bekerja. “Saya belajar dengan Pram tanpa pagar,” ucapnya.
Novel tersebut sempat menjadi kontroversi. Muhidin ingat sewaktu ia digiring ke sebuah auditorium kampus untuk disidang oleh lebih 100 orang yang menggugat novel tersebut. Ia bebas setelah memberikan penjelasan. “Tak sampai 20 menit aku di auditorium itu,” kenangnya.
Masalah belum berakhir. Setelah disidang, Muhidin mengaku mendapat ancaman dan teror atas kelahiran bukunya yang paling laris itu. Walau demikian, ia tak ambil pusing. Ia malah memanfaatkan hal-hal buruk itu sebagai bahan pembuatan buku selanjutnya yakni Kabar Buruk dari Langit, Adam & Hawa. “Teror paling mengerikan ada semua di buku-bukuku itu,” katanya.
Novel kontroversial itu disebut tengah diadaptasi menjadi sebuah film yang disutradarai Hanung Bramantyo. Muhidin mengaku tak ingin terlibat dalam pemroduksian film tersebut. Ia bahkan enggan membaca draft naskahnya. Hal ini dilakukan karena ia tak mau tertimpa masalah lagi. Kontroversi yang timbul dari novel-novelnya menjadi penyebab Muhidin pensiun dari penulisan fiksi. Di alam bawah sadarnya, tokoh-tokoh di cerita rekaan yang dibuatnya bisa hidup dan bergerak.
“Takutnya, tokoh itu nanti hidup tak terkontrol,” tutupnya. (*)