kaltimkece.id Setiap daerah memiliki makanan tradisional. Di Pulau Maratua, Berau, ada tehe-tehe, kuliner khas Suku Bajau. Wadah makanan berbahan dasar beras ketan putih yang diberi santan ini cukup unik. Saat dimasak, tehe-tehe dibungkus cangkang bulu babi. Membuat kelezatannya bertambah.
Sabtu, 6 November 2021, kaltimkece.id menemui seorang pembuat tehe-tehe di Teluk Alulu, Pulau Maratua. Adalah Samsinar, 40 tahun, yang masih mempertahankan masakan nenek moyangnya itu. Perempuan Suku Bajau ini tak sungkan membagikan cerita mengenai cara membuat tehe-tehe.
_____________________________________________________PARIWARA
Membuat tehe-tehe, kata Samsinar, seperti membuat ketupat. Tapi, bahan utamanya adalah beras ketan putih, santan kelapa, dan sedikit garam. Jika biasanya ketupat dibungkus janur, tehe-tehe menggunakan cangkang bulu babi sebagai pembungkusnya.
Sebelum dijadikan wadah makanan, cangkang bulu babi lebih dulu dibersihkan. Pasir yang ada di dalam cangkang, dan duri di bagian luarnya, harus dibuang. Kemudian, beras ketan yang telah dicampur santan kelapa dan sedikit garam, dimasukan sedikit demi sedikit ke cangkang bulu babi. “Baru setelah itu, dimasak selama 30 menit,” jelas Samsinar.
Repoter kaltimkece.id mencicipi tehe-tehe. Teksturnya kenyal. Ketika disantap, terasa lembut di lidah. Rasanya pun gurih. Kelezatan tehe-tehe bertambah karena ada lemak alami yang berasal dari cangkang bulu babi.
Samsinar mengaku, menjual tehe-tehe hanya ketika ada yang memesan dalam jumlah banyak. Biasanya, ia menerima pesanan dari pemandu wisatawan mancanegara. Warga Jerman disebut pernah memesan tehe-tehe buatan Samsinar. Jumlah rata-rata rombongan kecil adalah 10-15 orang. Sedangkan rombongan besar sekitar 50 orang.
“Misalnya, ada yang memesan Rp 150 ribu, maka dapatnya sekitar 50 cangkang,” sebutnya.
_____________________________________________________INFOGRAFIK
Samsinar menjelaskan, bulu babi biasanya didapat di pinggiran laut. Bulu babi akan lebih banyak dijumpai ketika memasuki masa angin selatan dan bulan safar. Pada bulan safar, warga Suku Bajau sering melakukan mandi safar di laut sebagai tradisi tolak bala.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Kaltim, Sri Wahyuni, mengatakan, kuliner menjadi salah satu daya tarik di tempat wisata. Oleh karena itu, Dinas Pariwisata Kaltim dipastikan terus memberikan pendampingan kepada para pembuat kuliner. Hal ini dilakukan agar makanan dari Kaltim bisa terus berkembang dan menghasilkan ekonomi yang tinggi.
“Di tempat wisata, wisatawan juga akan mencari sesuatu yang menonjol di daerah tersebut. Kuliner, tentu salah satu yang dicari,” kata Sri Wahyuni. (*)
Editor: Surya Aditya