kaltimkece.id Di sebuah bundaran yang beralaskan batu di Taman Cerdas, Jalan S Parman, Samarinda, Suhairi Ahmad membentangkan sebuah tikar. Ia lantas menyusun sejumlah buku dengan rapi di alas tersebut. Tak berselang lama, beberapa pemuda dan pemudi berdatangan dan meminjam buku. Mereka termasuk Suhai–panggilan Suhairi–segera larut dalam cerita buku tersebut.
Sore itu, Ahad, 28 Mei 2023, Suhai mengadakan gerakan membaca bertajuk Baca di Samarinda. Kepada kaltimkece.id, lelaki berkulit cokelat itu mengatakan, hari itu adalah hari perdana Baca di Samarinda digelar. Buku-buku yang ia bawa merupakan koleksi pribadinya. Ia membuat kegiatan ini dengan harapan bisa membangkitkan kesadaran literasi bagi warga Kota Tepian. Sebelum ke kota ini, Suhai tinggal di Yogyakarta.
“Selama di Jogja, kegiatanku enggak jauh dari buku, literasi, dan diskusi buku,” katanya. Ia menyebutkan, iklim literasi di Yogyakarta sangat membantu penulis dan pembaca untuk bertemu di satu ruang forum. “Ketemu sesama penulis, tuh, kayak ketemu teman. Ada yang kenal novelis, cerpenis, penyair, editor, bahkan sampai kenal penerbitnya. Aku merasa banyak dapat ilmu di Yogyakarta,” imbuhnya.
Suhai tiba di Samarinda pada November 2022. Sejak saat itu, ia kerap menghadiri forum-forum literasi yang dibentuk sejumlah kelompok literasi di Samarinda. Dari kegiatan ini, ia banyak mendapat teman yang juga gemar membaca. Menurutnya, yang kurang dari kegiatan literasi di Samarinda adalah belum adanya klub pembaca buku.
“Selama di Samarinda, sepengetahuanku, belum ada klub buku yang mengajak orang-orang atau pembaca buku untuk berkumpul dan membahas buku satu per satu,” bebernya.
Kekurangan itulah yang memantiknya membentuk Baca di Samarinda. Suhai menjelaskan, kegiatan yang memanfaatkan ruang publik ini sudah banyak di kota-kota besar di Pulau Jawa. Bahkan, kata dia, di taman-taman di Jakarta disediakan kotak buku bernama Bookhive. Kotak ini bertujuan menjaring para pembaca untuk datang ke ruang publik.
“Teman-teman pembaca buku di Twitter, sering banget men-share aktivitas baca. Mereka juga sering berkumpul di taman dan membaca bareng. Jadi, ini yang ingin aku terapkan di Samarinda,” jelasnya.
Kegiatan yang dibuatnya tersebut disiapkan dengan mengajak teman-teman dekat terlebih dahulu. Menyiasati jejaring yang terbatas karena terlampau lama meninggalkan Samarinda, Suhai memanfaatkan komunitas-komunitas baca yang ia ikuti di internet untuk melakukan pemetaan pembaca di Samarinda yang bisa dijangkau lewat media sosial terlebih dahulu.
Akmal Firdaus, salah seorang pembaca yang menyempatkan hadir di kegiatan tersebut memberikan tanggapannya pula. Baginya, kehadiran Baca Di Samarinda memberikan angin segar untuk iklim literasi di Samarinda, sebab ia sebagai seorang pembaca akhirnya bisa bertukar bacaan dan rekomendasi dengan pembaca-pembaca lain.
“Aku memang udah lama pengen banget baca bareng dengan orang lain, soalnya selama ini kalau baca buku selalu di kedai kopi dan lebih sering sendiri,” tambahnya.
Sebagai sebuah ruang baca publik, Suhai menjelaskan bahwa Baca Di Samarinda tidak membatasi segmentasi bacaan para audiensnya. Siapa pun bisa tergabung, baik pembaca sastra, pembaca sejarah, atau bahkan buku-buku populer semacam komik.
“Pokoknya bacaan dari yang dianggap ringan, sampai yang dianggap serius itu bisa gabung di Baca Di Samarinda.”
Minimnya kegiatan literasi di Samarinda memantik Suhairi Ahmad membuka ruang membaca di taman. FOTO: ANDIKA PRATAMA-KALTIMKECE.ID
Bagi Suhai yang sudah jauh terlibat dalam kegiatan literasi, membaca mestinya memberikan ruang merdeka dan setara bagi siapa pun. Sebab semua buku sama belaka, tak ada bacaan yang lebih superior atau lebih inferior di hadapan pembaca yang tekun. Itu sebab ia memilih bentuk kegiatan baca bareng yang cukup lembut ketimbang bentuk yang lain dengan menghadirkan buku-buku lintas genre dan disiplin.
Tak tanggung-tanggung, puluhan buku yang dibawa merentang dari buku-buku sastra seperti kumpulan puisi M Aan Mansyur dan Joko Pinurbo, novel Korrie Layun Rampan dan Ahmad Tohari. Ada pula buku-buku sejarah yang membahas tragedi ’65 dan ‘98, sampai buku pengembangan diri yang lebih mudah dijangkau oleh khalayak umum seperti Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat.
“Kalau bentuknya baca bareng, paling bisa diterima banyak orang. Teman-teman yang tergabung di Baca Di Samarinda ini jangan takut di-bookshaming, sebab kami ingin menampung segala jenis pembaca. Kami sangat terbuka terhadap siapa pun,” tambahnya.
Sebagai ruang baca publik yang cair, Suhai juga menjelaskan bahwa Baca Di Samarinda sangat terbuka dengan ide-ide apa pun yang bisa dikerjakan bersama untuk membentuk iklim literasi yang sehat. Itu sebab Suhai menjelaskan bahwa Baca Di Samarinda memiliki kemungkinan untuk berpindah-pindah tempat dengan penyesuaian dari tiap anggota.
“Bisa aja berpindah-pindah, sangat fleksibel, yang penting kondusif dan nyaman untuk membaca di sore hari.”
Menanggapi iklim literasi di Samarinda, Suhai merujuk pada hasil penelitian Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019 yang menyebutkan bahwa indeks aktivitas literasi membaca Kalimantan Timur berada di posisi ke-4 dari 34 Provinsi di Indonesia.
Menurutnya, iklim literasi di Samarinda bukan belum ada, tapi untuk dikatakan mapan juga tak bisa. Ia beranggapan masalah ini bisa saja terjadi karena ketidakadaan lembaga yang mau mewadahi pembaca dan penulis untuk mendiskusikan karya-karya secara lebih komprehensif. Mengatakan bahwa pembaca buku di Samarinda nihil, tampak mengkhianati animo yang timbul saat Baca di Samarinda dibentuk dan disambut positif khalayak di media sosial seperti Instagram dan Twitter. Meski begitu, Suhai mengatakan situasi berbanding terbalik dengan penerbit dan penulis asal Samarinda yang kurang diekspos, bahkan oleh lembaga-lembaga lokal yang mestinya berfokus pada ranah yang dimaksud, sehingga terjadi semacam ketimpangan antara pembaca dan penulisnya. Pembacanya ada, penulisnya terkenal di kota sendiri pun tidak.
Di kesempatan yang sama, Maulana Yudhistira, salah seorang pembaca lain yang ikut bergabung juga merasa apa yang digagas oleh Suhai adalah awal yang positif. Ia senang dapat berkenalan dengan teman baru di iklim literasi Samarinda.
“Hal-hal begini, kan, harusnya tumbuh dan berkembang di kota yang digadang-gadang sebagai pusat peradaban,” ujarnya. “Obrolannya juga menarik, menurutku. Obrolan tentang literasi kota Samairnda, dan kisah-kisah di dalamnya masih bisa dibahas lebih lanjut.”
Gerakan membaca buku yang digagas Suhairi Ahmad mendapat antusias besar dari masyarakat. FOTO: ANDIKA PRATAMA-KALTIMKECE.ID
Menurut Suhai, permasalahan yang terjadi di penerbitan buku Samarinda adalah buku tak dijadikan lokus utama. Buku-buku diterbitkan, lalu selesai. Diskusi-diskusi yang menggemakan gagasan atau nyawa buku tersebut belum tumbuh dengan sempurna. Tantangannya jauh lebih sulit, sebab Samarinda sebagai kota dagang, artinya memiliki upah yang tinggi untuk membeli buku dan membincangkannya lebih lanjut.
Suhai sendiri tak muluk-muluk ketika ditanya apa luaran yang diharapkan dari kegiatan yang digagasnya. Menurutnya kegiatan ini bisa membantu jejaring untuk membicarakan buku secara lebih serius, dan membantu teman-teman pembaca buku untuk bisa bersama-sama belanja secara kolektif di pulau Jawa.
“Harapanku ke depan, kita lebih banyak mendorong inisiatif di dunia literasi. Bisa dalam banyak model, biar lebih luas jangkauannya. Supaya jargon kota ‘Samarinda Kota Peradaban’ enggak sekadar jargon aja, bisa dibuktikan,” ujarnya. “Sebagai kota peradaban, enggak adanya perbincangan buku bisa jadi persoalan. Mestinya literasinya kuat, banyak penerbitan. Gitu,” tutupnya.
Kegiatan Baca di Samarinda direncanakan hadir setiap sebulan sekali. Jadwal ini dipilih untuk menjaga antusiasme dan agar anggotanya tidak merasakan bosan. Suhai menyerukan, siapa saja yang hendak bergabung dalam aktivitas ini, dapat berkoordinasi melalui akun Instagram @bacadisamarinda. (*)