kaltimkece.id Langit Samarinda tak begitu terik tatkala Slamet Prayoga berkeliling di kebun kopi miliknya, Jalan Perintis, Kelurahan Lok Bahu, Sungai Kunjang, Samarinda. Sabtu, 14 Desember 2024 lalu, sambil membawa gunting dahan, pria yang menamatkan pendidikan tinggi di Universitas Mulawarman, Samarinda itu, berkeliling memeriksa tanaman kopinya. Dengan cekatan ia memotong dahan kering, memilih tunas air yang dinilai potensial, juga membersihkan ancaman gulma pada tanaman kopi yang ditanamnya sejak Februari 2024 lalu. Sesekali Slamet Prayoga juga menunjukkan tanaman kopi yang mulai berbuah.
Kepada kaltimkece.id, Kakek enam orang cucu ini memperlihatkan lahan seluas tiga hektare di Lok Bahu, Sungai Kunjang. Lahan di lokasi tersebut merupakan warisan dari orang tuanya. Sejak 2002 lalu, bersama Eka Yati, istrinya, Slamet Prayoga mulai membersihkan lahan untuk ditanami buah-buahan. Berbagai jenis tanaman buah tumbuh subur di sana. Durian, rambutan, nangka, cempedak, nangkadak, manggis, kuini, petai, duku, sukun, jeruk nipis, jeruk limau. Ada juga jambu Jamaika, jambu kristal, jambu air, pisang, dan nanas merupakan tanaman buah yang banyak dijumpai di kebun itu.
Pria yang lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 64 tahun lalu itu baru benar-benar merealisasikan cita-cita sebagai petani sejak 2012. Kala itu, Slamet Prayoga mendirikan PT Sinar Mayang Lestari, yang akhirnya meluncurkan produk kopi dengan label Malabar Mountain Coffee. Lokasi perkebunannya di kawasan Pangalengan, Bandung, Jawa Barat. Produk utamanya adalah kopi varietas arabika (Coffea arabica). Kawasan ini juga termasuk dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Rahayu Tani dan Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Banjaran.
"Saya punya cita-cita untuk menjadi seorang petani kopi. Akhir 2012, kami bekerja sama dengan Perhutani Jawa Barat untuk menanam kopi," ucap Yoga saat ditemui di Liberica Coffe Lok Bahu, nama dari perkebunan kopi miliknya.
Sukses dalam membudidayakan tanaman bernama latin Coffe sp tersebut, Slamet Prayoga pun mulai melirik tempatnya tumbuh besar; Samarinda. Sebelas tahun kemudian, tepatnya pada Mei 2023, lokasi di Lok Bahu, pun mulai intensif dikelola. Dengan ketekunannya, benih kopi dari seputaran Kaltim pun dikumpulkan untuk disemai. Rata-rata berjenis liberika (Coffea liberica).
"Kaltim punya banyak potensi kopi, khususnya liberika, di mana jenis ini lebih bandel, lebih tahan dengan kondisi yang ekstrem. Mungkin itu alasan kenapa banyak saya temukan tanaman kopi di Kaltim lebih banyak varietas liberika," ungkapnya.
Konsentrasi pengembangan kopi di Samarinda, bagi Slamet Prayoga, ternyata bukan tanpa alasan. Selain ingin memanfaatkan lahan milik orang tuanya, Ia menilai daratan Kalimantan mempunyai potensi kopi yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan kopi di tingkat lokal maupun global. Namun karena geografi di Kalimantan yang didominasi dataran rendah, akan lebih potensial jika yang dikembangkan adalah varietas liberika dan robusta (Coffea canephora). Dua jenis ini juga mendominasi tanaman kopi di kebunnya, di Lok Bahu. Dari beberapa literatur, liberika sangat cocok ditanam di lahan gambut, sementara kopi varietas lain tak bisa tumbuh dengan baik.
Dikatakan Yoga, dari penelusuran dan penggalian informasi di lapangan, penanaman kopi di Benua Etam sudah dilakukan sejak 1962. Ia menemukan banyak tanaman kopi yang berumur puluhan tahun di Kampung Linggang Melapeh, Kutai Barat. Yoga memperkirakan tanaman kopi tersebut dibawa oleh orang-orang dari Pulau Jawa yang bermigrasi baik lewat program transmigrasi yang digalakkan pada era Orde Baru, ataupun model migrasi lainnya.
Pengalamannya menjelajah Kaltim juga sudah dilakukan sejak masih aktif di bangku kuliah. Keterlibatannya di Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam (IMAPA) Universitas Mulawarman, membuatnya intens berinteraksi dengan petani di pedalaman Kutai pada 1984. Empat puluh tahun yang lalu, banyak petani yang menanam kopi di pekarangan sekitar rumah.
Persebaran kopi pada dekade 1970-an di Kaltim juga terkonfirmasi saat dirinya berkunjung ke Sepaku, Penajam Paser Utara. Di lokasi itu, Yoga menemukan kopi liberika. Pengakuan warga setempat, tanaman kopi mulai dibudidayakan sejak 1977. Saat itu, kopi ini dibawa oleh transmigran asal Pacitan, Jawa Timur. Hingga kini, tanaman tersebut masih tumbuh, dan mulai dikembangkan oleh petani di Sepaku.
"Bahkan ada petani di Sepaku yang sudah menanam di lahan lebih dari sepuluh hektare. Di Lok Bahu ini juga ada benih yang diambil dari Sepaku," ungkapnya.
Selain itu, kopi liberika ini juga banyak dijumpai di permukiman transmigran di Tenggarong Seberang, dan Sebulu, Kutai Kartanegara. "Sejak 1990-an, mulai banyak dijumpai kopi liberika di Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara, Kutai Barat, Kutai Timur, Mahulu, Berau, dan Samarinda," ujarnya.
Sayangnya, keberadaan kopi di berbagai daerah di Kaltim ini, tidak dibarengi dengan pemahaman budidaya kopi yang baik. Bahkan, banyak didapati cerita, petani yang awalnya memiliki tanaman kopi, memilih menebang pohon kopi karena nilai ekonomisnya yang rendah. Selanjutnya, digantikan dengan tanaman lain yang dinilai lebih menjanjikan. "Dapat dimaklumi, karena nilai jual kopi baru membaik sekira sepuluh tahun terakhir," lanjutnya.
Yoga mengatakan, sejak 2015, terjadi peningkatan kebutuhan biji kopi, baik di lokal maupun nasional. Bahkan, produk Malabar Mountain Coffee yang dimilikinya, sempat tidak lagi melakukan ekspor. "Bagaimana mau ekspor, memenuhi kebutuhan dalam negeri saja belum cukup," tuturnya.
Ternyata, tidak hanya varietas arabika saja yang memiliki nilai jual tinggi. Robusta yang sebelumnya di pasaran hanya sepertiga harga arabika, perlahan juga meningkat dari sisi nilai jual. Menurut Yoga, kuncinya ada di proses budidaya. "Fine robusta (unggulan) sekarang juga nilainya cukup tinggi," ucapnya.
Potensi itu pula yang melandasinya untuk mencurahkan konsentrasi di lahan yang dinamai Agroforestry Liberica Lok Bahu. Diharapkan dengan lokasi yang saat ini dikelolanya, akan memudahkan untuk petani di Kaltim belajar budidaya. Khususnya jenis liberika dan robusta. Memang, baru tertanam 800 batang robusta, dan 500 batang liberika. Tapi itu dianggap sudah cukup mewakili untuk pembelajaran. "Hasilnya bagus. Tanaman kopi yang saya tanam tujuh bulan lalu, kini mulai ada yang berbuah," ucapnya lagi.
Yoga mengatakan, sepanjang tahun ini, kebun kopi miliknya telah dikunjungi oleh berbagai instansi pemerintah dan lembaga pendidikan. Beberapa di antaranya adalah Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Samarinda, serta Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Batu Rook, Dinas Kehutanan Kaltim.
Selain itu juga dikunjungi berbagai lembaga pendidikan. Di antaranya Fakultas Kehutanan Unmul, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Politeknik Pertanian Samarinda, serta mahasiswa dan dosen dari Kyoto University, Tokyo, Jepang. Juga ada dari SMK 2 Sebulu, Kutai Kartanegara. "Sejak November lalu, Politeknik Pertanian Samarinda dan SMK 2 Sebulu telah menjadikan tempat ini sebagai laboratorium alam pembelajaran tentang kopi," tuturnya.
Selain lembaga, banyak juga para petani kopi di Kaltim yang sempat berkunjung untuk menambah wawasan kopi. Beberapa di antaranya adalah anggota dari Komunitas Petani Kopi (Kanopi) Kaltim.
Ke depan, Slamet Prayoga juga telah memiliki konsep untuk pengembangan. Lokasi Agroforestry Liberica Lok Bahu didesain menjadi wahana wisata edukasi. "Pengunjung bukan hanya bisa menikmati seduhan kopi. Juga akan mendapat pengetahuan mulai dari kebun sampai menjadi secangkir kopi," pungkasnya. (*)