kaltimkece.id Azan magrib tinggal beberapa jam lagi ketika Karti, 42 tahun, memantik api kompor di dapur rumahnya di RT 36 Kelurahan Manggar, Balikpapan Timur. Begitu api biru menyala tenang, perempuan tersebut segera menaruh alat penggorengan. Sore itu pada awal Ramadan, 24 Maret 2023, Karti memasak makanan ringan untuk berbuka puasa.
Ada yang tidak umum dari bahan bakar kompor milik Karti. Ia tidak menggunakan gas minyak cair bersubsidi alias elpiji 3 kilogram melainkan gas metana yang bersumber dari sampah. Kepada kaltimkece.id, Karti mengatakan, gas tersebut diproduksi di Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Sampah Manggar. Dari situ, gas metana dialirkan menggunakan pipa ke rumah-rumah warga sekitar termasuk rumah Karti.
“Sudah 11 tahun sejak 2012 saya menggunakan gas metana dari TPA,” kata Karti di sela-sela kesibukannya memasak tadi. Bukan hanya untuk kebutuhan rumah tangga, ia juga memanfaatkan gas dari TPA Manggar untuk keperluan usahanya yaitu memasak bakso dan beberapa jenis kudapan.
Muhammad Haryanto, kepala UPTD TPA Manggar, memperlihatkan instalasi pengolahan sampah jadi gas metana. FOTO: MUHIBAR SOBARY ARDAN-KALTIMKECE.ID
Karti mengaku bersyukur bisa menggunakan gas metana dari TPA Manggar. Alasannya, gas tersebut lebih murah ketimbang elpiji melon--sebutan elpiji 3 kg. Untuk menikmati gas dari TPA selama sebulan, ia hanya perlu membayar iuran Rp 10 ribu tanpa ada batas kuota. Sedangkan elpiji melon, harganya bisa lebih Rp 30 ribu per tabung. Mendapatkannya pun kerap susah. Tidak gampang, kata Karti, menemukan gas melon di warung-warung.
“Semenjak saya pakai gas dari TPA, saya tidak memusingkan mencari elpiji melon yang kini mulai langka. Saya juga bisa menghemat pengeluaran,” ucapnya. Walau demikian, ia tetap menyimpan elpiji melon di rumahnya. Elpiji tersebut, kata dia, hanya untuk jaga-jaga apabila pendistribusian gas dari TPA mengalami gangguan.
“Ini (elpiji 3 kg) sudah beberapa bulan di sini tapi enggak habis-habis karena jarang dipakai,” jelas Karti.
Pemanfaatan elpiji 3 kg diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 104/2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 Kilogram. Pemerintah memberikan gas tersebut khusus untuk rumah tangga miskin dan usaha mikro. Akan tetapi, peraturan tersebut belum mengatur secara detail ihwal pembatasan golongan rumah tangga yang berhak dan tidak menggunakan elpiji 3 kg.
Pada 28 Februari 2023, pemerintah mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi 99.K/MG.05/DJM/2023 tentang Penahapan Wilayah dan Waktu Pelaksanaan Pendistribusian Isi Ulang LPG Tertentu Tepat Sasaran. Melalui keputusan ini, pemerintah hendak mendata warga yang berhak membeli elpiji bersubsidi. Pendataan ini akan dilakukan secara bertahap di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi pada 1 Mei 2023. Jika pendataannya rampung, warga akan membeli gas bersubsidi melalui web atau aplikasi mulai 1 Januari 2024.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, per Agustus 2022, pemerintah menyubsidi elpiji 3 kg sebesar Rp 31.275 atau 71 persen per tabung. Tanpa subsidi, harga gas tersebut adalah Rp 44.025. Pada pekan pertama April 2023, PT Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan menambah pasokan harian elpiji 3 kg di Kaltim. Dari semula 373 metrik ton atau 124.333 tabung per hari, ditambah 6,4 persen menjadi 397 metrik ton atau 132.333 tabung per hari.
Mengembangkan Gas dari Sampah
Suyono, 59 tahun, adalah salah seorang pengembang gas metana dari sampah di TPA Manggar. Kepada kaltimkece.id, mantan ketua RT 61 Manggar itu bercerita, pada 2012, pemroduksian gas metana dari sampah tak berjalan mulus. Tidak semua rumah di sekitar TPA Manggar mendapatkan gas tersebut. Penyalurannya juga kerap tersendat.
Melihat masalah tersebut, Suyono mencari solusinya di sejumlah buku. Setelah mengetahui cara mengatasinya, pada 2014, lelaki itu meminta bantuan kepada Pertamina Hulu Mahakam untuk membantu mengolah sampah di TPA Manggar jadi barang bermanfaat. Persisnya, Suyono meminta pipa yang dapat melancarkan pendistribusian gas.
Perusahaan eksplorasi dan eksploitasi migas tersebut segera mengambulkan permintaan Suyono dengan mendatangkan pipa vertikal dan horizontal ke TPA Manggar. Setelah pipa tersebut terpasang, penyaluran gas metana dari sampah menjadi lancar. Pendistribusiannya pun semakin luas. Kerja sama ini kemudian menghasilkan sebuah program inovasi gas metana bertajuk Waste to Energy for Community atau Wasteco.
“Dulu, cuma 41 rumah yang mendapatkan gas dari TPA. Sekarang, pada 2023, ada 305 rumah yang menikmatinya,” cerita Suyono yang pensiun sebagai ketua RT pada 2020. Ia menambahkan, sebanyak 300 pipa penyaluran gas dari TPA Manggar sudah terpasang ke rumah-rumah warga. Radiusnya mencapai 7 kilometer dari TPA tersebut.
Bagi pria yang hanya tamatan SMA itu, keberadaan pengolah sampah jadi gas metana di TPA Manggar sangat berarti. Dari usaha tersebut, aroma busuk yang dikeluarkan sampah jadi berkurang. Aktivitas warga pun jadi tidak terganggu. “Pengolahan gas metana ini menggunakan 30 persen sampah,” sebutnya.
Mengenai iuran Rp 10 ribu, Suyono menjelaskan, uang itu digunakan untuk sejumlah keperluan. Satu di antaranya membayar jasa pengolah sampah jadi gas metana. Masing-masing pengolah mendapat Rp 600 ribu per bulan. Uang iuran juga digunakan untuk merawat dan mengembangkan pabrik pengolahannya seperti mengganti atau menambah pipa.
“Saya berharap, seluruh warga Balikpapan bisa menikmati gas metana dari sampah ini,” ujarnya.
Pada kesempatan berbeda, Kepala UPTD TPA Manggar, Muhammad Haryanto, memberikan penjelasan. Ia mengatakan, gas metana dari sampah yang kini dimanfaatkan ratusan warga Balikpapan merupakan bonus yang dipersembahkan timnya. Dulu, pengelola TPA Manggar bekerja keras memilah-milih sampah yang masih bisa dimanfaatkan. Dari usaha itulah, pengelola menemukan gas metana.
“Selain menguntungkan masyarakat, penggunaan sampah menjadi gas juga bisa mengurangi efek gas rumah kaca atau pemanasan global,” jelas Haryanto.
Kondisi TPA Sampah Manggar di Balikpapan Timur. Setiap hari, TPA ini diperkirakan menampung 400 ton sampah. FOTO: MUHIBAR SOBARY ARDAN-KALTIMKECE.ID
Ia menyebutkan, rata-rata sampah yang masuk TPA Manggar mencapai 400 ton per hari atau 12 ribu ton per bulan. Sampah-sampah tersebut terdiri dari sampah organik dan nonorganik. Tumpukan sampah itu, kata Haryanto, secara alamiah akan menghasilkan gas metana. Gas itulah yang kemudian dikembangkan menjadi barang bermanfaat.
Berdasarkan survei Japan International Cooperation Agency yang dicatat Dinas Lingkungan Hidup Balikpapan, pada 2014, Kota Minyak menghasilkan sampah sebanyak 485 ton per hari. Seiring laju pertumbuhan ekonomi dan penduduk, jumlah tersebut diperkirakan meningkat menjadi 700 ton per hari dalam 10 tahun ke depan.
Bila usaha mengolah sampah menjadi gas metana bisa terus dikembangkan, Haryanto menyatakan optimistis, TPA Manggar yang memiliki luas 49 hektare akan menjadi tempat pengelolaan sampah yang berkelanjutan. “Bukan hal yang mustahil menjadikan TPA yang bersih dan tidak berbau. Tetapi, ini bukan proses yang simsalabim. Butuh waktu yang lama untuk mewujudkannya,” tutupnya. (Bersambung)
Laporan berikutnya dari serial ini:
Sampah Penghasil Berkah (2): TPA Jadi Wisata