Ragam

Tak Ada Nasi, Talas Pun Jadi

person access_time 2 weeks ago
Tak Ada Nasi, Talas Pun Jadi

Talas disebut sebagai tanaman pangan alternatif yang berpotensi dikembangkan di Kaltim. FOTO: ISTIMEWA

Pemprov Kaltim tengah menggencarkan kampanye pangan pengganti beras. Bagaimana awal mula orang-orang Indonesia lebih suka makan nasi?

Ditulis Oleh: Muhammad Al Fatih
Jum'at, 12 Mei 2023

kaltimkece.id “Kalau enggak pakai nasi, enggak bakal kenyang.”

Celetukan itu keluar dari mulut sejumlah pelajar Indonesia saat dihadapkan beberapa potong roti paratha di sebuah tempat di Kota Al-Ain, Uni Emirat Arab. Orang-orang Timur Tengah amat menyukai roti berbahan baku gandum tersebut.

Salah seorang pelajar itu bernama Zaky Al Fahmi. Pemuda asal Desa Kedang Ipil, Kutai Kartanegara, ini punya pandangan berbeda dengan kawan-kawannya. Baginya, santapan yang mengenyangkan tidak harus pakai nasi. Ia mengatakan, orang-orang di desanya gemar menanam sagu.

“Jadi, sejak kecil, saya terbiasa memakan sagu sebagai pendamping lauk,” katanya kepada kaltimkece.id, beberapa waktu lalu.

Tidak menjadikan nasi sebagai menu utama selaras dengan salah satu program Dinas Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura atau DPTPH Kaltim. Akhir-akhir ini, instansi tersebut rutin mengampanyekan seruan berbunyi ‘kenyang tak harus nasi’. Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan, DPTPH Kaltim, Rika Nuzli Furkanti, mengatakan, pihaknya telah melakukan sosialisasi dan penyuluhan program tersebut kepada anggota-anggota PKK.

“Masyarakat mesti berubah pola pikirnya. Apalagi, nasi itu tergolong tinggi kadar gulanya,” ujar perempuan berusia kepala lima itu.

Rika Nuzli Furkanti, Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan, DPTPH Kaltim. FOTO: ISTIMEWA

Rika menyebutkan sejumlah pangan alternatif yang juga memiliki karbohidrat selain beras. Beberapa di antaranya yakni ubi kayu, ubi jalar, singkong, hingga talas. Tanaman- tanaman tersebut juga menghasilkan sejumlah produk turunan yang memiliki nilai ekonomi. Singkong, misalnya, dapat diolah menjadi tepung kav yang bisa dipakai untuk bahan baku mi.

“Artinya, singkong juga dapat menjadi pengganti gandum,” ujar Rika.

Selama ini, Indonesia disebut mendatangkan gandum dari luar negeri. Menurut data Badan Pusat Statistik atau BPS pada 2022, Indonesia mengimpor gandum sebanyak 8,43 juta ton. Tepung itu umumnya digunakan untuk bahan baku mi kuning dan mi instan.

Rika mengatakan, selain beras padi, ada tanaman lainnya yang bisa dijadikan nasi yaitu porang. Di Jepang, porang dimanfaatkan untuk pembuatan beras shirataki. “Bentuknya (porang) seperti talas. Cara mengolahnya yaitu dijemur, kemudian dikeringkan, lalu dibentuk menjadi beras,” bebernya. Ia mengatakan, porang banyak dijumpai di Kukar dan Paser.

Konsumsi beras padi di Indonesia tergolong tinggi. BPS mencatat, produksi beras pada 2022 untuk konsumsi pangan penduduk sekitar 32 juta ton. Sementara di Kaltim, produksi beras pada tahun yang sama mencapai 135 ribu ton.

Politik Beras pada Masa Orde Baru

Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat. Selain singkong, ubi dan talas, ada pula bahan sagu, ketan, dan sukun. Keragaman sumber pangan ini disebut yang tertinggi di dunia setelah Brasil. Walau demikian, mengapa ada kesan bahwa orang Indonesia lebih suka makan nasi?

Jurnal bertajuk Modernisasi dan Beras-isasi Masyarakat Asli: Analisis Perubahan Konsumsi Pangan Pokok Suku Asli Anak Rawa, Dusun Tanjung Pal, Provinsi Riau, menjawabnya secara gamblang. Sebermula dari kebijakan pangan yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto itu menjadikan beras—yang umumnya merupakan bahan pokok di Jawa—menjadi bahan pangan nasional. Kebijakan bertajuk ‘revolusi hijau’ ini mengantarkan Indonesia pada swasembada beras pada 1984.

Kebijakan ini bukan tanpa konsekuensi. Seiring waktu berjalan, keragaman pangan lokal yang lain tersingkirkan. Dulu, sagu adalah pangan utama Suku Asli Anak Rawa Dusun Tanjung Pal di Riau tapi sekarang tidak lagi.

Akibat penyeragaman bahan pangan oleh Orde Baru, konsumsi pangan pokok tersebut perlahan-lahan berganti menjadi beras. Dari sinilah, munculnya kesan orang Indonesia lebih suka makan nasi. Pada 2021, beras menjadi pangan pokok bagi banyak masyarakat Indonesia. Sedangkan sagu menjadi pangan yang hanya sesekali dikonsumsi dalam acara-acara tertentu.

Bernatal Saragihwakil dekan Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman. FOTO: ISTIMEWA

Wakil Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman, Samarinda, Bernatal Saragih, memberikan tambahan. Menurutnya, program transmigrasi yang digagas pemerintahan Orde Baru juga berperan besar dalam penyeragaman bahan pangan di Indonesia menjadi beras. Dalam program tersebut, banyak penduduk Jawa pindah ke daerah-daerah lain di Indonesia. Mereka datang ke tempat baru dengan membawa kebiasaannya yaitu menanam padi dan mengonsumsi nasi.

“Akhirnya, secara alamiah, kebiasaan mereka itu diikuti penduduk lokal,” sebutnya.

Kebiasaan itu disebut telah menjalar ke masyarakat Maluku dan Papua. Bernatal mengatakan, konsumsi beras di Maluku dan Papua naik setelah orang-orang Jawa tiba di kedua pulau tersebut. Akhirnya, masyarakat setempat juga menanam padi agar permintaan tercukupi. Sebelumnya, mereka kerap memakan sagu dan jagung.

Dilansir dari Kompas, Soeharto menjadikan transmigrasi sebagai program prioritas nasional yang dituangkan dalam program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Pelita adalah program pembangunan yang dimulai pada 1969. Untuk memuluskan program ini, sejumlah peraturan dibuat. Dua di antaranya yakni Undang-Undang 3/1972 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi dan Peraturan Pemerintah 42/1973 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi. Dalam PP tersebut dijelaskan bahwa pelaksanaan transmigrasi dibiayai oleh pemerintah.

Bernatal yang juga menjabat Ketua Kelompok Kerja Ahli Ketahanan Pangan Kaltim mengatakan, salah satu tanaman pangan alternatif yang berpotensi dikembangkan di Kaltim adalah talas. Mengingat, provinsi ini memiliki banyak rawa. Talas disebut dapat tumbuh secara alami di kawasan-kawasan berair.

Di sisi lain, Bernatal berharap agar anak muda tidak ogah menjadi petani. Pasalnya, petani juga profesi yang menarik dan menjanjikan apabila ditekuni dengan baik. “Yang penting memiliki pengetahuan tentang pasar untuk menjual produk-produk yang ditanam,” kuncinya. (*)

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar