kaltimkece.id Kabut masih menyelimuti Gelanggang Olahraga (GOR) Kadrie Oening, Sempaja Selatan, Samarinda, saat ratusan umat Muslim berbondong-bondong memasuki pelataran parkir GOR. Jumat, 6 Juni 2025, Muslim di Samarinda merayakan Iduladha 1446 Hijriah. Halaman parkir GOR Kadrie Oening turut menjadi lokasi salat Id. Dewan Pimpinan Cabang Muhammadiyah Samarinda Utara menjadi penyelenggara ibadah setahun sekali tersebut.
Wati, perempuan berusia kepala empat itu menjadi salah satu dari ratusan jemaah larut dalam menunaikan puncak ibadah haji. Namun, ia datang bukan hanya untuk salat Id. Momen itu dimanfaatkannya untuk mencari tambahan biaya hidup: menjual alas salat berupa karpet plastik ukuran 50 x 100 sentimeter.
"Selain momen lebaran, biasanya saya berjualan di acara selawatan," ucapnya. Selawat atau acara mengaji bersama dengan menghadirkan ahli agama kerap diselenggarakan di Kaltim dihadiri hingga ribuan orang.
Alas plastik tersebut, tuturnya, ia peroleh dari pabrik di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pabrik itu mencetak bungkus kemasan berbahan plastik namun kelebihan cetak dan tidak terpakai. Wati memastikan, bahwa alas plastik yang ia jual bukan berasal dari bungkus kemasan bekas.
"Kalau kotor 'kan bisa najis, tidak sah dipakai salat," ujarnya.
Perempuan yang tinggal di Jalan Abul Hasan tersebut menuturkan, ia membeli satu alas plastik dengan harga Rp5 ribu, kemudian dijual dengan harga Rp10 ribu. Awal-awal berjualan sekitar lima tahun lalu, alas plastik terjual hingga 500 lembar.
Namun, beberapa tahun terakhir saingannya bertambah. Dari sebelumnya yang hanya satu atau dua penjual, kini terdapat belasan penjual alas plastik yang sama. Termasuk di GOR Kadrie Oening pada pagi itu, Wati bukan satu-satunya penjual yang menjajakan alas plastik kepada jemaah.
"Kalau sekarang, paling hanya bisa menjual 50 sampai 100 lembar," keluhnya.
Meskipun begitu, menjual alas plastik bukan satu-satunya cara Wati mencari nafkah. Ia juga kerap menjual cemilan serta minuman instan. Segala cara ia tempuh agar dapat bertahan hidup dan menghidupi keluarga kecilnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, ratusan jemaah telah berkumpul di halaman parkir GOR Kadrie Oening. Nyaris semuanya membawa alas plastik yang dibeli di pintu masuk. Meskipun sebagian telah membawa sajadah dari rumah, alas plastik itu tetap dipakai melapisi sajadah mereka.
Ada sesuatu yang hilang dan lumrah ditemukan pada momen salat Id, yakni tumpukan lembaran koran. Untuk memastikan, kaltimkece.id mengelilingi GOR Kadrie Oening selepas sholat Id dan benar saja, tidak ada bekas koran yang dipakai sebagai alas. Tidak satu lembar pun.
Padahal, setahun lalu, masih banyak imbauan pemerintah agar warga tidak memakai alas salat seperti kertas koran atau plastik karena yang akan menjadi gunungan sampah
Akademikus Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman, Samarinda, Silviana Purwanti menilai, berkurangnya alas koran saat momen lebaran tak bisa hanya dilihat sambil lalu. Fenomena itu indikasi perubahan cara masyarakat dalam memperoleh informasi.
"Koran cetak mulai ditinggalkan, sekarang orang memperoleh informasi dari berita daring dan media sosial," ucapnya.
Pernyataan doktor lulusan Universitas Airlangga, Surabaya, yang akrab disapa Silvi itu berkelindan dengan hasil lembaga survei Jakpat per Oktober 2024. Dilansir dari Goodstats, media sosial meraih posisi teratas sebagai sumber informasi masyarakat Indonesia. Tak tanggung-tanggu, nilainya 89 persen. Disusul situs berita daring sebanyak 52 persen. Sementara, koran hanya meraih 12 persen sebagai sumber informasi masyarakat. Lebih satu persen dari radio dengan angka sebelas persen.
Perubahan itu, sebut Silvi, tak bisa hanya dilihat sebagai perubahan bentuk informasi cetak ke paperless, namun secara fundamental mengubah cara masyarakat dalam menyikapi informasi maupun berinteraksi satu sama lain. "Semua orang bahkan bisa menjadi 'media'," sebut Silvi.
Berbeda dengan media konvensional seperti koran dan televisi, media sosial, ucap Silvi, memberikan kesempatan bagi semua orang bukan hanya untuk menjadi konsumen tapi bahkan produsen informasi di saat yang sama.
"Tantangannya, akhirnya tidak semua informasi yang beredar itu dipastikan kebenarannya," sorot Silvi.
Silvi turut menyinggung perkembangan kecerdasan buatan atau artificial intellegence (AI) yang semakin canggih. Menggunakan kata kunci tertentu, AI bahkan dapat merekayasa video dengan tampilan yang mendekati keadaan di dunia nyata atau biasa disebut sebagai deepfake video.
"Sebenarnya bicara dunia siber ini seperti dua sisi mata uang, pasti ada sisi positif dan negatifnya," tandasnya.
Kaltimkece.id turut mewawancarai Maulani Al Amin, mantan wartawan media cetak yang kini menjadi pemimpin redaksi salah satu media penyiaran di Kaltim masih mengingat masa-masa kejayaan koran. Masa-masa itu, sepulang dari liputan ia masih harus lanjut mengetik memakai komputer kantor hingga larut malam.
"Kalau sekarang bisa di kafe memakai laptop milik pribadi. Berita bisa dikirim dari mana saja," sebut alumnus Ilmu Komunikasi Unmul angkatan 2010 itu.
Tak hanya harus 'bersiaga' di kantor hingga larut malam. Proses mengetik pun dipantau penuh oleh pemimpin redaksi. Tugas wartawan tak selesai ketika berita selesai ditulis, melainkan menunggu hingga berita selesai dicetak di koran. "Dulu kalau ternyata ada kesalahan dalam pengetikan, hukumannya memasak mie instan untuk satu kantor," kenangnya sambil tertawa kecil.
Namun kini era telah berubah. Dari media cetak ke media daring, dari media daring ke media sosial hingga penggunaan AI. Menyadari hal itu, pria yang akrab disapa Maul itu pun berseloroh, "Jika ada satu hal yang pasti di dunia ini, itu adalah perubahan." (*)