kaltimkece.id Terik matahari Sabtu sore, 31 Agustus 2019, tak menyurutkan animo masyarakat memadati jalan poros Desa Bukit Pariaman, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara. Berbagai alat musik dibunyikan. Menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharam 1441 Hijriah dengan meriah.
Keramaian dikenal dengan nama Gerebeg Suro dan Bersih Desa Bukit Pariaman. Ciri khasnya adalah arak-arakan tumpeng. Semua berukuran jumbo. Paling besar sampai empat meter tingginya.
Hari itu, ada 40 tumpeng diarak. Desa Bukit Pariaman menyumbang 36 tumpeng. Empat lainnya datang dari Desa Mulawarman, Bangun Rejo, Suka Maju, dan Loa Ulung.
Yang paling besar terdiri dari 40 jenis sayuran dan buah. Seperti wortel, ketimun, sawi, kacang panjang, bawang bombay, bawang putih, cabai merah, cabai hijau, petai, jengkol, pare, jagung, jeruk, buah naga, apel, dan masih banyak lainnya.
Sedangkan 39 tumpeng lainnya berisi macam-macam. Mulai jajanan pasar, minuman kemasan, tumpeng nasi putih, merah, dan kuning. Konstruksi tumpeng memakai rangka bambu itu diangkat empat hingga belasan warga. Barisan puluhan tumpeng pun membuat antrean sepanjang kurang lebih enam kilometer.
Selain barisan tumpeng, berbagai kelompok kesenian turut serta dalam acara tersebut. Mulai reog, kuda lumping, tarian adat dayak, hingga kelompok habsyi dari Desa Bukit Pariaman. Garis finis arak-arakan adalah Kantor Desa Bukit Pariaman. Ratusan warga begitu antusias menanti arak-arakan tersebut.
Gerebeg Suro di desa ini sudah memasuki tahun keempat. Penjabat (Pj) Kepala Desa Bukit Pariaman Agus Kasmadi mengatakan, tahun ini adalah tahun pertama acara ini diselenggarakan di level desa. "Sebelumnya hanya dilaksanakan di Dusun Sukasari," terangnya.
Nah, saat Agus menjabat sebagai Pj kepala desa pada Mei 2019, ia memikirkan agar acara tersebut diselenggarakan lebih besar. Apalagi, Gerebeg Suro ditetapkan masuk agenda tahunan Pemkab Kukar sejak 2018. Setelah berkoordinasi dengan tokoh masyarakat, terutama pencetus Grebeg Suro, Sugeng Riadi. Sugeng adalah orang di balik diselenggarakannya Gerebeg Suro pertama pada 2016.
"Respons beliau dan tokoh masyarakat lain pun positif," ujarnya. Diagendakan pula acara tersebut bersamaan event bersih desa pada September. Maka, rangkaian acara yang dibuka Grebeg Suro, ditutup bersih desa.
Lantaran pelaksanaannya sudah di level desa, Agus mengundang pejabat kepala desa lainnya di Kecamatan Tenggarong Seberang. "Makanya bisa ramai dan besar," tuturnya.
Atas inisiasi Agus tersebut, dia mendapat penghargaan dari Bupati Kukar Edi Damansyah. Pertama, karena menyelenggarakan acara budaya. Kedua, karena berhasil membuat acara tersebut diikuti 18 desa di Tenggarong Seberang. "Lima desa menyediakan tumpeng, sisanya ikut arak-arakan," ujarnya.
Makna Grebeg Suro
Sugeng Riadi sang pencetus, menuturkan bahwa tradisi Grebeg Suro berawal dari Pulau Jawa. Tepatnya daerah DI Jogjakarta dan sekitarnya. Nah, lantaran di Desa Bukit Pariaman mayoritas warga transmigrasi dari Jawa Tengah, Sugeng melihat acara tersebut juga mesti dilaksanakan di perantauan. "Akhirnya saya ke Jogja untuk belajar kebudayaan Grebeg Suro di sana," ujarnya.
Tujuan dan maknanya agar desa menjadi tentram. Hasil bumi warga yang bertani juga melimpah. "Bisa dikatakan ini sebagai sedekah bumi," ujarnya.
Untuk tahun ini, tumpeng dibuat sekitar empat hari. "Itu untuk yang besar, kalau yang biasa hanya dua hari," terangnya.
Puncak acara Mapak Satu Suro adalah rebutan tumpeng raksasa. Di sini ratusan warga setempat berebut tumpeng raksasa. Namun yang berbeda dari tahun sebelumnya, kali ini tak diperkenankan anak-anak ikut rebutan tumpeng. Demi alasan keamanan. Setelah rebutan tumpeng warga makan bareng tumpeng nasi lengkap dengan lauknya di tempat acara. (*)
Editor: Bobby Lolowang