kaltimkece.id Pemerintah Provinsi Kaltim mendapat angin segar. Pendapatan asli daerahnya dipastikan bertambah. Pasalnya, pemerintah pusat bakal menerapkan dana bagi hasil (DBH) sawit bagi daerah penghasil. Penambahan ini diingatkan harus diselaraskan dengan perbaikan tata kelola sawit.
Kepastian tersebut disampaikan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kaltim, Ismiati, dalam agenda penyampaian laporan PAD dengan Komisi II DPRD Kaltim, Selasa siang, 18 Oktober 2022. Ismi, sapaannya, menyampaikan, bagi hasil sawit untuk daerah penghasil tertuang dalam Undang-Undang 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
“Kita bakal dapat tambahan pendapatan dari sektor sawit tahun depan,” jelas Ismi, sapaannya.
Hanya saja, ia mengaku, belum mengetahui berapa besaran komposisi pembagiannya. Begitu pula mengenai indikator yang dipakai dalam menetapkan besaran DBH. Apakah indikatornya menggunakan luasan perkebunan, belum diketahui. Hal ini disebabkan kebijakan DBH sawit belum pernah diterapkan sebelumnya sehingga banyak yang mesti dikaji lagi.
“Masih dihitung berapa bagi hasil yang bakal didapat. Jadi, belum tahu nilainya karena ini yang pertama,” tuturnya. Diketahui, ada 22 daerah yang bakal mendapat kucuran DBH sawit. Bapenda Kaltim dipastikan terus berkoordinasi dengan pemerintah pusat.
Menurut data Dinas Pekebunan Kaltim pada 2020 lalu, luas areal perkebunan sawit mencapai 1.374.543 hektare. Luas tersebut terdiri dari 373.479 hektare tanaman plasma milik rakyat, 14.402 hektare dikelola BUMN, dan 986.662 hektare dikelola perusahaan swasta. Adapun produksi tandan buah segar alias TBS, pada tahun yang sama jumlahnya mencapai 17.721.970 ton. Dari jumlah tersebut menhasilkan 3,8 juta ton crude palm oil (CPO).
Dari data tersebut, sudah selayaknya Kaltim bisa mendapat angka DBH yang besar. Berdasarkan informasi yang diterima Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Nidya Listiyono, Kaltim akan mendapat Rp 2,7 triliun dari DBH sawit. Akan tetapi, ia meminta pemprov memastikan lagi besaran DBH sawit untuk Kaltim.
“Ini (Kaltim dapat DBH sawit) adalah kabar bagus. Nilainya harus segera dipastikan,” ujar politisi Partai Golongan Karya ini.
Kabar Kaltim bakal mendapat DBH sawit mendapat tanggapan dari Koordinator Kelompok Kerja 30, Buyung Marajo. Ia mengingatkan, pemerintah daerah tidak sekedar mengejar pemasukan namun juga menuntaskan masalah di sektor sawit, terutama perbaikan tata kelolanya. Mengingat, kata Buyung, banyak konflik yang muncul dari keberadaan perkebunan sawit di Kaltim. “Makanya, lebih baik perbaiki dulu itu,” ujarnya.
Kebijakan DBH sawit pun dinilai berpotensi menimbulkan masalah. Buyung khawatir, kebijakan ini akan membuat perkebunan sawit di Kaltim semakin luas. Pasalnya, pemprov bisa mengobral perizinan sawit demi mendongkrak besaran DBH-nya.Padahal, perkebunan sawit sangat boros menggunakan lahan sehingga bisa memicu konflik dengan masyarakat. Pemprov diminta tidak hanya memandang sawit sebagai sumber investasi semata. “Namun harus berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat di lingkar perkebunan sawit,” tambahnya.
Konflik-konflik tersebut seperti penyerobotan lahan dan alih fungsi hutan. Masyarakat adat, warga transmigrasi, dan warga desa yang tinggal di pelosok-pelosok Kaltim, disebut menjadi kelompok yang paling rentan terdampak konflik tersebut. Mencegah masalah itu, Buyung menegaskan, perbaikan tata kelola sawit harus didahulukan.
“Ini hanya sebagai pengingat saja. Jika dibiarkan, kita tinggal menunggu waktu ‘bom’ meledak saja,” jelas Buyung.
Pokja 30 menilai, banyak hal yang bisa diserap dari sektor sawit menjadi PAD. Salah satunya menghitung Pajak Bumi Bangunan perusahaan dan pabrik sawit. Perizinan yang dibuat juga bisa menjadi pemasukan. Begitu pula kendaraan produksi sawit yang dipakai. “Apakah semua itu dihitung? Jika benar, apakah itu dibuat transparan?” Buyung mempertanyakan.
“Sementara mitigasi dan upaya perlindungan terhadap masyarakat di sekitar perkebunan sawit tidak diurus,” pungkasnya. (*)