kaltimkece.id Polemik bahan bakar minyak atau BBM oplosan memasuki babak baru. Senin, 5 Mei 2025, Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda mengumumkan hasil uji terhadap BBM. Pemkot bekerja sama dengan empat laboratorium independen untuk menguji BBM jenis pertamax. Keempatnya menemukan hasil yang sama, yakni BBM mengandung spesifikasi yang tidak sesuai standar.
Wali Kota Samarinda, Andi Harun, dalam keterangannya mengatakan bahwa pada 12 April 2025, Pemkot bersama tim kajian akademik pengujian BBM telah mengambil sampel dari tiga lokasi penyimpanan BBM. Lokasi tersebut adalah Pertamina Patra Niaga, SPBU Slamet Riyadi, dan SPBU APT. Pranoto. Hasil pemeriksaan terhadap mutu BBM berada dalam kondisi yang layak.
Namun demikian, berdasarkan keluhan masyarakat, banyak kendaraan konsumen mengalami mogok usai menggunakan pertamax. Untuk memastikan kualitas BBM tersebut, maka dilakukan penelitian akademis secara independen dengan mengambil sampel BBM dari tiga kendaraan berbeda yang terdampak. Adapun laboratorium yang terlibat dalam pengujian ini salah satunya di Politeknik Negeri Samarinda. Tiga tempat pengujian lainnya enggan disebutkan oleh Andi Harun.
Politikus Gerindra itu menyebut, dari tiga sampel yang ada, terlebih dahulu dianalisis parameter pada research octane number (RON). Hasilnya, sampel pertama memiliki RON 86,7; sampel kedua 89,6; dan sampel ketiga memiliki RON sebesar 91,6.
"Diketahui nilai RON untuk pertamax adalah 92. Namun ketiganya menunjukan nilai RON lebih rendah dari yang seharusnya beredar," ucap Andi Harun dalam konferensi pers yang berlangsung di Anjungan Karangmumus, Gedung Balaikota Samarinda.
Andi Harun melanjutkan, dari tiga sampel tersebut, dipilih sampel terbaik dengan RON tertinggi yakni 91,6. Tujuannya untuk diperdalam penelitian terhadap parameter lainnya. Dari beberapa parameter yang diteliti, terdapat empat spesifikasi yang tidak sesuai standar Pertamax.
Adapun hasil pengujian ditemukan kandungan timbal sebesar 66 parts per milion (ppm), kandungan air mencapai 742 ppm, kandungan aromatik 51,16 persen, dan benzena sebesar 8,38 persen.
Merujuk pada surat keputusan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Dirjen Migas) nomor 3674K/24/DJM/2006 tentang spesifikasi BBM jenis bensin yang dipasarkan di dalam negeri, seluruh hasil tersebut melebihi ambang batas aman untuk BBM jenis pertamax. Berdasarkan surat keputusan tersebut, kandungan timbal maksimal sebesar 0,013 ppm, aromatik maksimal 50,0 persen, dan benzena maksimal 5,0 persen. Serta BBM seharusnya tidak mengandung air.
Tidak berhenti sampai disitu, untuk memperkuat hasil temuan sebelumnya, tim peneliti melanjutkan pengujian menggunakan uji scanning electron microscopy - energy dispersive x-ray spectroscopy (SEM-EDX) dan gugus fungsi menggunakan fourier transform infrared pectroscopy (FTIR).
Sebagai informasi, uji SEM-EDX adalah kombinasi pengujian yang digunakan untuk mengamati struktur permukaan dan komposisi kimia suatu material pada skala mikroskopis. SEM memberikan gambaran permukaan sementara EDX memberikan informasi tentang komposisi unsur kimia.
Sedangkan FTIR adalah instrumen spektroskopi yang digunakan untuk menganalisis senyawa kimia menggunakan radiasi sinar inframerah. Pengujian ini mampu mengidentifikasi senyawa organik dan menganalisis gugus-gugus fungsional yang terdapat dalam senyawa kimia.
Berdasarkan hasil uji menggunakan SEM-EDX, ditemukan tiga unsur di dalam BBM jenis pertamax dari RON 91,6, yaitu timah (Sn), rhenium (Re), timbal (Pb). Ketiga unsur tersebut sangat berpotensi mempercepat reaksi oksidasi BBM menjadi hidrokarbon kompleks.
Hidrokarbon kompleks terkonfirmasi melalui uji FTIR-Analyzer. Senyawa ini akhirnya membentuk senyawa lain yang berbobot molekul besar yakni polyethilen, polistirean, polipropilina, dan poliakrilonitril. Adanya molekul ini berakibat pada rusaknya BBM pertamax yang ditandai terbentuknya gum atau getah yang menyebabkan tersumbatnya filter pada sistem injeksi bahan bakar.
"Dengan demikian, hasil penelitian pada sampel bahwa penyebab utama kendaraan bermotor yang digunakan konsumen yang terdampak, disebabkan karena kualitas BBM yang tidak memenuhi standar kelayakan kualitas atau dalam kondisi yang sudah rusak," ujar Andi Harun.
Lebih lanjut ia memaparkan, setidaknya ada beberapa faktor penyebab kerusakan pada BBM. Diantaranya, BBM tersimpan dalam waktu yang cukup lama, terpapar cahaya matahari baik langsung maupun tak langsung, terkontaminasi akibat kelembaban udara, air, dan atau kontaminan logam, sistem penyimpanan BBM memiliki ventilasi yang buruk, serta penambahan zat aditif dengan sengaja untuk memperbaiki kualitas BBM tetapi dilakukan secara tidak terukur.
Dihubungi terpisah pada Selasa, 6 Mei 2025, Area Manager Communication, Relations, dan Corporate Social Responsibility (CSR) Pertamina Regional Kalimantan, Edi Mangun, mengatakan, PT Pertamina Patra Niaga mengapresiasi hasil kajian yang dilakukan oleh tim kajian akademis uji kualitas BBM di wilayah Samarinda. Sebagai badan usaha yang bertanggung jawab dalam penyediaan dan pendistribusian BBM resmi, ia menyebut, Pertamina secara rutin dan konsisten telah melakukan pengujian kualitas BBM menggunakan metode yang sesuai dengan standar di Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas ).
Terkait temuan lainnya yang menjelaskan tentang beberapa faktor yang dapat memengaruhi kualitas BBM di beberapa mesin kendaraan, Edi mengatakan, Pertamina secara terbuka berkoordinasi dengan Pemkot Samarinda, Politeknik Negeri Samarinda, dan instansi terkait dalam rangka memastikan kejelasan informasi kepada masyarakat. Pihaknya juga berjanji untuk senantiasa berupaya menyediakan BBM yang aman, berkualitas, dan sesuai standar.
"Dalam menjalankan tugas ini, kami berkomitmen untuk terus mengedepankan transparansi, akuntabilitas, serta perlindungan konsumen dalam setiap proses pengawasan mutu produk kami," pungkasnya. (*)