kaltimkece.id Sengkarut pembayaran kompensasi 324 buruh PT Sumalindo Lestari Jaya Global Tbk masih bergulir. Para buruh mengaku belum menerima kompensasi setiap kontrak kerja berakhir yang dijanjikan perusahaan sejak 2020. Emiten industri kayu lapis berkode SULI ini disebut hanya bisa berjanji namun tak kunjung ditepati.
Rabu, 23 Oktober 2024, puluhan perwakilan buruh SULI mendatangi DPRD Samarinda dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP). Rapat turut dihadiri perwakilan SULI, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Samarinda, dan BPJS Ketenagakerjaan. Para buruh meminta DPRD turut mengawasi kewajiban bayar perusahaan.
Perwakilan buruh SULI, Yoyok Sudarmanto, mengatakan bahwa perusahaan selama ini selalu ingkar janji. Ia menyebut, pada Maret 2024, perusahaan berjanji membicarakan skema pembayaran kompensasi pada Juli hingga Agustus. Hingga Agustus hampir berakhir, pembahasan tersebut tak kunjung ada.
Pada 27 Agustus 2024, kata Yoyok, perusahaan mengajukan skema pembayaran akan dibahas pada September hingga Oktober 2024. Lagi-lagi, sampai akhir Oktober masih belum ada titik temu. Pada 10 Oktober 2024, dirinya menyurati Komisi IV DPRD Samarinda untuk meminta RDP.
Yoyok mengungkapkan tidak hanya kompensasi yang belum dibayarkan, upah sebagian buruh masih ada yang tertunggak. Kasus ini ia laporkan kepada Disnaker Samarinda. Setelah berulang kali pertemuan, akhirnya perusahaan membayarkan gaji tersebut.
"Tapi kompensasi Rp3 miliar kepada 324 pekerja belum dibayarkan," ucapnya.
Yoyok juga menuding, SULI tidak transparan soal keuangan. Ia menyebut, melalui anak perusahaannya, PT Orimba Alam Kreasi (OAK), SULI menerima dana sebesar USD5 juta, atau setara Rp78 miliar dengan kurs dollar Rp15.600. Namun demikian, Yoyok mengaku pihaknya tidak diberitahu tambahan keuangan tersebut.
General Manager SULI, Eko Arif Suratmono, mengaku bahwa sejak Covid-19 melanda dunia awal 2020, dampaknya sangat memengaruhi industri kayu. Salah satunya adalah permintaan kayu lapis dari Amerika Serikat, Jepang, dan Cina menurun.
Ungkap dia, SULI mengalami kerugian yang cukup besar. Sejak Agustus 2020, banyak pesanan kayu lapis yang dibatalkan. Kendati demikian, perusahaannya tetap memproduksi kayu lapis hingga bertahan di akhir 2023.
"Dengan berat hati, awal 2024 seluruh operasional (SULI) di Samarinda kami tutup," ucap Eko dalam RDP.
Eko melanjutkan, setelah operasional perusahaan berhenti, pihaknya terus mengupayakan mencari investor. Hingga akhirnya melalui PT OAK menandatangani kredit dari The Asia Climate-smart Landscapes Fund (ACLF Investments), pada 6 September 2024. ACLF Invesments adalah perusahaan keuangan dari Hongkong yang memberikan kredit dengan fokus pada dampak iklim, lingkungan, dan sosial.
Meski sudah tanda tangan kredit, uang sebesar USD5 juta belum ia terima. Sedangkan untuk mencairkan pinjaman tersebut, PT OAK diminta memenuhi sejumlah persyaratan, utamanya dalam pelestarian lingkungan. PT OAK diminta melakukan pengurangan emisi, pengelolaan penggunaan lahan yang lebih baik, peningkatan penghidupan, serta keragaman gender.
"Uang itu (USD5 juta) hanya untuk operasional perusahaan agar bisa produksi lagi," ujarnya. Eko berharap dana tersebut bisa ia terima awal November ini. Jika cair, di awal tahun 2025, pihaknya akan membuat skema pembayaran kompensasi para buruh yang belum terbayarkan.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Muhammad Novan Syahronny Pasie, mengatakan bahwa lembaganya terus mengawal proses tersebut. Ia menyebut, bila awal 2025 belum juga menemukan titik temu, DPRD Samarinda akan turut mencarikan solusinya.
"Terpenting, aspirasi para buruh dapat diselesaikan sesegera mungkin," pungkasnya. (*)