kaltimkece.id Felisa, 20 tahun, dan Rasya Dwi Syahputri, 19 tahun, dua karyawati salah satu toko obat di Samarinda harus menerima kenyataan pahit. Belum genap setahun bekerja, keduanya dipaksa mengundurkan diri. Bukan pesangon yang didapat, malah denda Rp12 juta.
Kasus bermula di awal Oktober 2023. Felisa melamar pekerjaan di sebuah apotek disusul Rasya dua bulan setelahnya. Sejak pertama bekerja, mereka ditawari gaji Rp2 juta tanpa surat perjanjian kerja (SPK). Soal hak dan kewajiban, hanya berbekal perjanjian lisan saat wawancara. Baik Felisa maupun Rasya terus meminta SPK, namun surat itu tak kunjung mereka terima.
"Perjanjian awal dari pihak apotek kami digaji Rp2 juta. Tapi memasuki awal tahun 2024, mulai ada pemotongan gaji," ucapnya saat ditemui kaltimkece.id di kantor Dinas Tenaga Kerja Samarinda, Jalan Basuki Rahmat, pada Rabu, 16 Oktober 2024.
Pemotongan ini, lanjut Felisa, terus berlangsung hingga Juli 2024 dengan besaran hingga Rp1 juta. Awalnya, gaji dipotong dengan alasan menutupi stock opname di apotek. Selanjutnya, ada saja alasan toko memotong gaji.
Situasi kerja pun, disebutnya, dibuat tidak nyaman. Rekan kerja Felisa, terutama karyawan senior, kerap memperlakukannya tidak adil. Suatu kali ia sakit dan sudah mendapat surat keterangan sakit dari dokter, tetap harus bekerja. Pun pada hari libur, ia dan Rasya tetap harus melayani pelanggan. Sialnya, setiap kali ia salah, Felisa ditegurnya di depan pelanggan. Sementara karyawan lain, tidak ada perlakuan sedemikian itu.
Puncaknya, saat toko menemukan selisih hasil penjualan, keduanya dituduh menggelapkan uang apotek untuk kepentingan pribadi. Bantahan mereka sama sekali tak digubris. Akhirnya, pada Juli 2024, keduanya diminta membuat surat pengunduran diri dengan seluruh isi surat berdasarkan arahan manajemen apotek. Intinya, pengunduran diri diajukan tanpa paksaan.
Dua pekan berselang, Felisa dan Rasya diminta hadir dalam pertemuan yang diatur kuasa hukum apotek. Dalam pertemuan, keduanya harus membayar ganti rugi masing-masing sebesar Rp12 juta tanpa dicicil untuk mengganti seluruh kerugian yang dialami apotek semenjak keduanya bekerja. Pembayaran ini kata Felisa, harus segera dilakukan terhitung sejak 15 Agustus hingga 15 September 2024.
Pada 1 Oktober lalu, Felisa dan Rasya kembali menerima pesan dari kuasa hukum apotek. Isinya adalah meminta keduanya segera membayarkan uang tersebut kepada apotek. Bila tidak, apotek akan menempuh jalur hukum. "Kami bingung, uang sebesar itu (Rp12 juta) mau dapat dari mana dalam sebulan? Kami akhirnya melaporkan apotek itu ke Disnaker," ungkap Felisa.
Biro Hukum Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kaltim yang juga kuasa hukum Felisa dan Rasya, mendampingi pelaporan itu ke Disnaker. Hasilnya, pada 9 Oktober 2024 disnaker mengundang semua pihak, namun pihak apotek tidak ada yang hadir.
Sudirman, kuasa hukum Felisa dan Rasya, menyayangkan ketidakhadiran pihak apotek. Padahal, kata Sudirman, surat tersebut ia kirim langsung ke apotek itu. "Pihak apotek juga tidak memberikan konfirmasi ketidakhadirannya," kata Sudirman yang kerap menangani kasus hubungan industrial di Samarinda.
Sudirman mengaku belum menentukan langkah yang akan diambil selanjutnya. Dirinya masih mengikuti prosedur dari Disnaker Samarinda, yakni maksimal tiga kali pemanggilan. Panggilan ketiga sendiri dijadwalkan berlangsung pada pekan depan, 23 Oktober 2024. Sudirman berharap niat baik pihak apotek menghadiri panggilan tersebut.
Sementara itu, kaltimkece.id telah berupaya menghubungi kuasa hukum apotek. Namun hingga berita ini ditayangkan, kuasa hukum belum mengangkat panggilan telepon. (*)