kaltimkece.id Suryani Thamrin mengernyitkan kening ketika membuka WhatsApp-nya. Perempuan berusia 25 tahun itu membaca pesan yang dikirim karyawannya dari Warung Tenda Iga Bakar Sunaryo ke sebuah grup percakapan. Isinya adalah foto selembar surat yang baru saja diantarkan staf Kelurahan Sungai Pinang Dalam, Samarinda. Ditandatangani May Fadly selaku lurah setempat dan dibubuhi stempel, Suryani yakin surat itu resmi.
Jumat pagi, 19 Agustus 2022, Suryani yang merupakan seorang dari antara pemilik warung iga bakar itu terkejut membaca perihal surat. Bunyinya adalah penutupan atau pemindahan Warung Iga Bakar Sunaryo. Ia baru mengetahui alasannya setelah membaca badan surat. Warung di perempatan Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Sungai Pinang, itu disebut telah mengganggu estetika kota. Berikut isi surat sebagaimana ditunjukkan Suryani kepada kaltimkece.id, Jumat, 26 Agustus 2022.
“Berdasarkan hasil monitoring dari pihak Satpol PP Samarinda, Satpol PP Kecamatan Sungai Pinang, dan Lurah Sungai Pinang Dalam, maka diminta kepada pemilik warung tenda iga bakar Sunaryo untuk dapat menutup/memindahkan usahanya di lokasi lain karena di lokasi tersebut dianggap oleh Pemerintah mengganggu estetika kota, karena posisi tempat usaha berada di persimpangan jalan besar/jalan protokol yang merupakan jalan utama Kota Samarinda.
Demikian hal ini disampaikan dan kami akan memberikan waktu paling lambat setengah bulan untuk segera dibongkar, dan atas perhatian dan kerja samanya, diucapkan terima kasih.”
Suryani tertegun. Sukar baginya membayangkan, usaha kecil yang dirintis bersama teman-temannya pada 2020 itu harus ditutup. Ia lantas menceritakan masalah ini. Sebermula dari beberapa hari sebelum 17 Agustus 2022, Suryani menerima teguran lisan dari kelurahan. Warung itu diminta untuk dirapikan. Sama sekali tidak ada permintaan untuk pindah maupun tutup.
Warung tenda iga bakar ini berdiri di depan sebuah ruko tua di perempatan Jalan Ahmad Yani-Jalan Hasan Basri. Ruko itu biasanya hanya disewa penjual parsel menjelang Idulfitri. Selebihnya dari waktu-waktu itu, ruko ini kosong. Bagian depan bangunan tersebut kemudian disewa oleh warung iga bakar tadi. Kedai ini buka siang-malam alias 24 jam.
Sebelum menerima teguran lisan dari kelurahan, warung iga bakar hanya beratapkan terpal hijau. Posisinya sekitar 2 meter di sebelah parit besar atau sekitar 5 meter dari badan Jalan Ahmad Yani. Bagian dalamnya ditutup kain spanduk putih khas kedai-kedai sari laut.
Warung itu digeser sedikit ke pelataran ruko setelah teguran tadi. Terpal hijau juga diganti dengan atap logam semi-permanen. Beberapa pot berisi kaktus ditaruh di depan ruko supaya terlihat asri. Sementara ruang beralas beton di antara parit dan warung menjadi tempat parkir sepeda motor para pembeli.
Setelah merapikan warung, pemilik usaha kembali berkomunikasi dengan staf kelurahan. “Mereka bilangnya sip. Jadi, kami pikir, sudah selesai sampai di situ,” terang Suryani. “Tahu-tahu, surat itu datang. Kami dibilang mengganggu estetika kota,” sambung gadis kelahiran Tanjung Selor, Bulungan, Kaltara, tersebut.
Suryani memaparkan, ia dan para pemilik warung telah bertemu pegawai Kelurahan Sungai Pinang Dalam maupun Kecamatan Sungai Pinang dan Satpol PP Samarinda. Akan tetapi, belum ada kejelasan selanjutnya dari Pemkot Samarinda. Suryani mengatakan, ia menolak warungnya ditutup atau dipindahkan.
“Begini, kita ini bernegara sehingga pasti ada aturan di dalamnya. Tidak masalah jika kami harus ikut perda (peraturan daerah) dan segala macamnya. Tapi, pastikan benar peraturan itu ada. Kami mau mengikuti asal jelas. Kami harus bertahan. Kalaupun mau dibongkar, silakan mereka yang bongkar. Kami tetap bertahan selama ini belum dikaji ulang,” tegasnya.
Suryani melanjutkan, pemerintah harusnya terbiasa berpikir solutif. Jangan sedikit-sedikit mengambil solusi ditutup, ditumpas, atau dinaikkan. Ia meminta Wali Kota Samarinda mendudukkan semua perangkatnya. Di situlah perda dijelaskan serta kebijakan pemkot kepada UMKM.
“Termasuk opini estetika kota. Kami menyebutnya opini, bukan peraturan. Jadi, untuk jangka panjangnya, kebijakan UMKM sudah tersosialisasi. Jangan sampai, modal yang seiprit sudah habis, tenda sudah berdiri, pemerintah malah bongkar seenaknya sementara kebijakan belum disosialisasikan,” pinta Suryani.
Permasalahan ini meruncing pada Kamis, 25 Agustus 2022. Sebuah akun twitter berpengikut hampir 1 juta, @txtdrberseragam, mengunggah dua foto. Pertama, foto surat dari kelurahan tadi. Kedua, tangkapan layar berisi aduan yang diterima akun tersebut. Isi unggahan yang telah dihapus itu menyerempet nama anak wali kota. Disebut-sebut, anak wali kota hendak membuka warung iga bakar tak jauh dari warung tenda tersebut.
Penjelasan Wali Kota
Ditemui kaltimkece.id pada Sabtu, 27 Agustus 2022, Wali Kota Andi Harun membantah isu tersebut. Ia memastikan, tidak ada kepentingan pribadi sehubungan permintaan menutup atau memindahkan Warung Tenda Iga Bakar Sunaryo.
"Pertama, sangat saya sayangkan yang beredar di media sosial itu. Menghubung-hubungkan bahwa anak saya juga mau membuka usaha iga bakar. Saya pastikan, tidak ada itu,” tegas Andi Harun.
Poin kedua, Wali Kota menekankan bahwa warung tersebut berdiri di pelataran ruko tepat di sebelah parit. Jalur itu sangat mencolok dan persis di perempatan jalan utama. Lagi pula, pelataran ruko seharusnya tidak dipergunakan untuk kegiatan warung tenda sehingga harus ditertibkan.
Ia membenarkan ada warung tenda di trotoar dan emperan toko yang masih diperbolehkan. Kedai-kedai semacam itu hanya diizinkan berjualan pada malam hari. Selepas berdagang, tenda-tenda dibongkar dan lokasinya dibersihkan seperti semula.
“Saya juga mendapat laporan bahwa kuat dugaan beberapa kali sampah dibuang ke parit. Tetapi lebih dari itu, mari kita ambil hikmahnya,” tutur Andi Harun.
Ketiga, sambung Wali Kota, Warung Iga Bakar Sunaryo disebut tidak pernah menyetor pajak. Hal itu sudah ia cek ke Badan Pendapatan Daerah Samarinda. Menurutnya, ada pajak restoran, warung makan, dan lain-lain ketika suatu usaha memungut uang dari masyarakat.
“Warung itu, ‘kan, ramai katanya. Tapi kewajibannya sebagai pengusaha, tidak pernah bayar pajak. Bahkan warung yang tidak seramai itu lebih taat bayar pajak,” kata politikus Partai Gerindra tersebut. “Kami tidak melarang mereka berjualan. Tapi, jangan berjualan di tempat yang mencolok di sekitar trotoar apalagi itu berada di jalur protokol,” sambungnya.
Mengenai kemungkinan adanya pelanggaran perda, Andi Harun tak membantah. Ia menjelaskan, perda tidak selalu dibaca secara letterlijk (terpaku kepada teks saja). Lebih dari itu, ia mengatakan, telah berkali-kali menegaskan kepada seluruh masyarakat bahwa pemerintah hanya menertibkan PKL, warung, atau kegiatan usaha tidak berizin.
“Pelan-pelan kami tertibkan. Memang tidak bisa semuanya karena pembenahan ini secara bertahap. Saya ingin menyarankan kepada yang bersangkutan (pemilik warung iga) untuk tidak menempati tempat yang tidak sesuai peruntukannya. Apalagi sudah ramai dan sudah banyak untung. Bisa sewa ruko atau sewa space," saran Andi Harun.
Ia menegaskan bahwa pemerintah berupaya agar ruang-ruang parkir dan trotoar tidak dijadikan tempat usaha. Tidak perlu beranggapan bahwa ketika pemerintah menertibkan, selalu seolah-olah pemerintah berbuat sesuatu yang salah. Andi Harun ingin semua pihak mendukung upaya menjadikan Samarinda sebagai kota yang nyaman.
"Saya berharap, pemilik (warung iga bakar) bisa menahan diri. Tidak perlu terlalu berlebihan bereaksi. Mari cari sisi terbaiknya. Cari tempat yang lebih layak yang mendukung tata kota yang kita hendak buat bersama," tutup Andi Harun.
Usaha Anak Muda
Warung Tenda Iga Bakar Sunaryo dimiliki enam anak muda Samarinda. Mereka mendirikan usaha kecil ini pada 2020, tepat ketika pandemi Covid-19 mencengkeram kota. Modalnya Rp 25 juta. Pelataran ruko mereka sewa dengan harga Rp 3 juta per bulan.
Keenam anak muda itu berasal dari Komunitas Ruang Bisnis. Suryani Thamrin adalah seorang dari antara pendiri warung. Perempuan berkerudung ini bekerja di Arch Desain sebagai kreatif digital marketing. Ia lulusan Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Sastra Inggris, Universitas Mulawarman.
Warung ini menawarkan menu utama iga bakar dan iga penyet. Harganya Rp 35 ribu untuk porsi sedang sementara porsi besar Rp 60 ribu. Suryani menjelaskan, iga bakar dipilih karena mereka ingin masyarakat menengah ke bawah bisa menikmati hidangan layaknya kelas menengah ke atas.
“Kalau iga bakar di restoran, harganya bisa Rp 60 ribu sampai Rp 80 ribu. Di sini lebih murah," jelas Suryani.
Tiga bulan pertama warung dibuka, pembelinya amat sepi. Para pemilik bekerja keras memperkenalkan usaha tersebut. Promosi rutin di media digital, mengundang para pencinta kuliner (foodies), influencer, vlogger, dan blogger, mereka lakukan. Hasilnya mulai nampak. Seiring pandemi yang surut, warung ini ikut menggeliat.
Warung ini buka 24 jam setiap hari. Punya 29 karyawan yang dibagi tiga shift. Pengunjung paling banyak datang pada waktu santap siang dan santap malam. “Kami buka 24 jam karena jika harus bongkar pasang (tenda) setiap hari, lebih memakan waktu dan tenaga. Kami juga tidak punya tempat untuk menyimpan peralatannya,” kata Suryani.
Ia juga menanggapi usulan agar usahanya menyewa ruko saja. Suryani mengatakan, warung tenda itu adalah usaha kecil. Segmen pasarnya adalah masyarakat bawah. Harga sewa ruko sudah barang tentu mahal. Setahun bisa Rp 300 juta lebih dan tidak bisa dibayar per bulan.
“Kami bangun usaha ini dari kecil dan tidak terpikir bahwa warung tenda diwajibkan memiliki izin usaha dan segala macam yang diwajibkan. Kalaupun ada pembinaan ke arah situ, tentu kami ikuti,” sambungnya.
Suryani juga mengaku sudah datang ke Balai Kota untuk menanyakan ihwal pajak. Usaha warung tenda miliknya disebut dikenai pajak restoran. Besarannya adalah 10 persen dari penjualan. “Pajak segitu, terlalu besar untuk warung-warung seperti kami,” tutupnya. (*)