kaltimkece.id Sejumlah orang membakar ban di sebuah lajur di Jalan Rapak Indah, Samarinda, pada Senin, 29 Juli 2024, pukul dua siang. Arus lalu lintas pun terpaksa dialihkan ke satu lajur saja. Para pengendara berdesak-desakan melewati lajur tersebut.
Orang-orang tersebut tergabung dalam Forum Mahasiswa Rakyat. Mereka membakar ban untuk menutup jalan tersebut. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk solidaritas terhadap warga yang lahannya terkena dampak pembangunan Jalan Rapak Indah namun belum diganti rugi.
Koordinator lapangan aksi tersebut, Arianto, mengatakan, warga menggunakan Jalan Rapak Indah sejak namanya masih Jalan Rapak Mahang pada 1965. Dulu, warga memanfaatkan jalan tersebut untuk berkebun. Pada 1995, pemerintah menjadikan jalan tersebut sebagai jalan umum.
Masalah datang ketika pemerintah hendak meningkatkan jalan tersebut. Sejumlah warga yang mengaku memiliki lahan di jalan tersebut dan terkena dampak proyek belum menerima ganti rugi. Kuasa hukum pemilik tanah di Rapak Indah, Harianto Minda, mengatakan, upaya meminta ganti rugi lahan sudah berlangsung sejak 1995 hingga 2002. Saat itu, tengah dilakukan peningkatan Jalan Rapak Indah dengan panjang 3.000 meter dan lebar 20 meter.
"Tidak jelas juga, ini tanah milik pemerintah kota atau pemerintah provinsi," katanya.
Pada 2008, salah seorang warga meminta penjelasan mengenai ganti rugi kepada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kaltim. Dinas Pekerjaan Umum menindaklanjuti permintaan itu dengan mengajukan permohonan pembayaran kepada Pemkot Samarinda. Setelah itu, tak ada lagi kabar mengenai ganti rugi lahan ini.
Tak kunjung mendapatkan kepastian, warga tersebut melakukan audiensi dengan anggota DPRD Samarinda pada 2012. Dalam audiensi itu, wakil rakyat berjanji mengusahakan pembayaran ganti rugi lahan. Janji tersebut tak kunjung terwujud sampai sekarang.
"Padahal, wilayah ini sudah dua kali mengalami pemekaran pada 2015 dan 2022," sebut Harianto.
Kembali ke Senin itu, saat aksi penutupan Jalan Rapak Indah masih berlangsung, anggota Komisi I DPRD Kaltim, Jahidin, datang menemui massa. Sebenarnya, ia mengapresiasi aksi yang dilakukan oleh warga karena merupakan kebebasan berpendapat. Akan tetapi, ia menyayangkan aksi tersebut menghalangi fasilitas umum.
"Jadinya menghambat kelancaran pengguna jalan lain," ucapnya.
Mengenai tuntutan warga, Jahidin mengatakan, pihaknya segera menggelar rapat dengar pendapat. Pihak-pihak berkepentingan seperti pemkot dan pemprov, termasuk Badan Pertanahan Nasional Samarinda, akan diundang.
"Kami akan memfasilitasi hak-hak masyarakat agar bisa mendapatkan kompensasi," jelasnya.
Ia meminta warga tak perlu khawatir mengenai bukti kepemilikan lahan. Tanpa surat hak milik (SHM) maupun sertifikat hak guna bangunan (HGB), ganti rugi dipastikan dapat diproses. Bagi warga yang memiliki rumah, dapat membuktikannya dengan melampirkan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB). Sementara itu, bagi yang memakai tanah untuk berkebun, melampirkan bukti penggarapan lahan.
"Kami juga akan panggil Dinas Perkebunan untuk mengukur tanam tumbuhnya," jelasnya.
Jahidin membenarkan terdapat ketidakjelasan mengenai status kepemilikan lahan di Jalan Rapak Indah, apakah milik Pemkot Samarinda atau Pemprov Kaltim. Ia berharap, dalam rapat dengar pendapat nanti, semua masalah dapat terang benderang. Di samping itu, ia memperkirakan besaran kompensasi yang akan diterima warga terdampak tak jauh berbeda dari kompensasi yang diterima warga Ring Road.
"Nanti akan ada tim yang menentukan besaran kompensasi berdasarkan nilai jual objek pajak tahun ini," ucapnya.
Ditemui pada Selasa, 30 Juli 2024, Wali Kota Samarinda, Andi Harun, memastikan, lahan yang diklaim warga Rapak Indah merupakan milik Pemkot Samarinda. Ia meminta warga yang mempersoalkan lahan tersebut untuk menyelesaikan masalah ini di pengadilan.
"Sampai ada kewajiban yang konkret secara hukum, maka kami akan membayar," kata Wali Kota. Sebelum ada kepastian hukum, ia meminta warga tidak menghalangi pengguna jalan.
Pakar hukum agraria dari Universitas Mulawarman, Prof Muhammad Muhdar, memberikan pendapat. Ia menyebutkan, terdapat empat bukti kepemilikan lahan. Keempatnya yakni SHM, HGB, hak pengelolaan lahan (HPL), serta hak guna usaha (HGU). Hanya saja, HGB, HPL HGU bersifat terbatas. Apabila jangka waktu penggunaannya telah habis, lahan HGB, HPL HGU mesti dikembalikan kepada negara.
Warga yang memanfaatkan HGB, HPL HGU disebut hanya bisa menerima ganti rugi tanam tumbuh. Syaratnya, pemanfaat lahan dapat menunjukkan bukti penguasaan secara efektif.
"Misalnya, dibuktikan dengan punya pohon mangga yang lebih tua atau pohon kelapa berumur sekian tahun yang sudah ada sebelum pembangunan jalan," jelasnya.
Besaran ganti rugi ditentukan dari bukti kepemilikan. Warga yang memiliki surat dan sertifikat, kata Prof Muhdar, tentu mendapatkan nominal yang lebih tinggi dibanding mereka yang hanya dapat membuktikan penguasaan secara efektif.
"Kedudukan hukum yuridis tanpa surat atau sertifikat sebenarnya cukup lemah," ujarnya. (*)