kaltimkece.id Rina Febrina, 42 tahun, tidak bisa menyembunyikan rasa gusar sewaktu mengetahui Teras Samarinda segera dibuka untuk umum. Ibu rumah tangga tersebut tidak terima karena suaminya, Rullyana Pradata, 39 tahun, yang bekerja di proyek tersebut, belum menerima upah. Rina tidak tinggal diam. Pada 2 September 2024, ia meluapkan kegusarannya di media sosial hingga ramai diperbincangkan.
Kepada kaltimkece.id, Kamis, 5 September 2024, Rina dan Rully didampingi Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kaltim menyampaikan penjelasan. Tunggakan upah yang dimaksud terdiri dari dua bulan gaji plus uang makan dengan total Rp9,8 juta.
Rully adalah petugas keamanan di lokasi pembangunan Teras Samarinda tahap I. Lelaki yang berdomisili di Kelurahan Sambutan itu bekerja sejak Agustus 2023. Dua bulan pertama bekerja, pembayaran upahnya lancar. Gajinya mulai tersendat bulan-bulan berikutnya.
"Kadang-kadang, satu bulan setengah baru dibayarkan. Itu pun dibayarkan hanya 14 hari, tidak untuk satu bulan sebelumnya," ungkap ayah tiga anak itu.
Menjelang Idulfitri pada April 2024, Rully mengatakan, upah yang sebelumnya tertunggak mulai diberikan. Namun demikian, seorang petugas keamanan diberhentikan. Petugas keamanan itu disebut kerap menanyakan gaji mereka. Selepas Lebaran, pembayaran upah pekerja lagi-lagi macet. Rully bersama beberapa rekannya terus menanyakan kepada pihak kontraktor namun tidak ada kejelasan.
Pemasukan yang tak menentu menimbulkan banyak masalah bagi Rully dan keluarganya. Contohnya adalah sepeda motor yang setiap hari ia pakai bekerja. Kendaraan tersebut dibeli secara kredit. Rully yang sudah dua bulan tidak menerima upah terpaksa tidak bisa membayar angsuran. Sepeda motor itu akhirnya dikembalikan pada Juli 2024. Tanpa kendaraan, Rully terpaksa berjalan kaki dari Kelurahan Sambutan menuju Teras Samarinda selama satu pekan untuk bekerja.
Rully mengatakan bahwa ia sebenarnya pernah tinggal di tempat tinggal karyawan yang disediakan perusahaan. Namun demikian, ia mengaku hanya dua hari tinggal di sana. Ia tidak tega meninggalkan istri dan anak-anaknya.
"Memang masih satu kota tapi saya khawatir sehingga kembali ke Sambutan," tuturnya.
Adapun total upah yang belum ia terima adalah Rp9,8 juta. Berbagai upaya telah dilakukan demi mendapatkan hak tersebut. Rully berulang kali menghubungi dan mendatangi kontraktor. Istrinya, Rina, bahkan disebut jatuh sakit karena tertekan.
"Saya sempat minta biaya berobat istri kepada kontraktor, tetap tidak diberi," sambung Rully.
Sementara itu, Biro Hukum TRC PPA Kaltim, Sudirman, mengatakan bahwa sejak Juli 2024, Rully telah melaporkan perusahaan kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Samarinda. Kontraktor disebut telah dua kali mangkir dari panggilan Disnaker. Baik pada panggilan pertama pada 22 Juli dan panggilan kedua pada 30 Juli, kontraktor tidak hadir.
Sudirman menyayangkan polemik ini. Menurutnya, keterlambatan pembayaran upah membawa dampak bagi pendidikan anak pekerja. Sudirman melanjutkan, anak kedua Rully tengah menempuh pendidikan di sebuah pondok pesantren di Jawa Barat. Anak tersebut hampir setiap hari menanyakan biaya kepada orang tuanya.
"Melalui Disnaker, saya minta kepada Pemkot Samarinda menekan kontraktor untuk membayarkan hak para pekerja," kata Sudirman.
Dihubungi kaltimkece.id pada Jumat, 6 September 2024, Akbar Bachtiar, manajer area Samarinda PT Samudra Anugrah Indah Permai selaku kontraktor pelaksana proyek, memberikan penjelasannya. Ia mengakui bahwa masih ada tunggakan upah pekerja di proyek Teras Samarinda yang belum dibayarkan penuh. Namun demikian, perusahaan terus berupaya menyelesaikan masalah ini.
"Meski bertahap, tetap kami usahakan untuk melunasi upah para pekerja. Semoga bulan ini (September 2024) bisa selesai semuanya," jelas Akbar.
Ia juga menjawab tudingan tentang belum dibayarnya upah atas nama Rullyana Pradata. Yang bersangkutan disebut bekerja sebagai wakar. Statusnya bukan karyawan tetap. Upah Rully, kata Akbar, dibayar sesuai absensi atau kehadiran bekerja.
"Kalau datang (bekerja), dibayar upahnya sementara jika tidak datang, tidak dibayar," katanya.
Akbar menyebutkan bahwa pembayaran upah terkendala absensi yang belum klir. Tim dari Jakarta, katanya, sudah memeriksa absensi yang bersangkutan dan hasilnya tidak sesuai dengan tagihan yang diajukan. Menurut Akbar, ada hari-hari yang bersangkutan tidak masuk kerja.
Selain itu, Akbar membantah pengakuan Rully mengenai sepeda motor yang dikembalikan karena tidak bisa membayar angsuran. Menurut Akbar, kendaraan tersebut sudah dicari pihak leasing bahkan sebelum Rully bekerja di proyek.
"Begitu informasi dari anak-anak di lapangan. (Sepeda motor) itu sudah setahun lebih tidak dibayar," terangnya.
Ia juga menyayangkan pemberitaan di media selama ini yang disebut tidak berimbang. Perusahaan disebut belum mengklarifikasi sejumlah pemberitaan karena masih ada menyelesaikan sejumlah pekerjaan.
"Jadi saya klarifikasi, berita itu tidak benar. Kalau memang mau dikonfrontir, kami siap," tegasnya.
Mengenai ketidakhadiran perusahaan memenuhi panggilan Disnaker Samarinda, Akbar mengatakan, ia masih ada urusan lain luar kota. Namun demikian, perusahaan berencana hadir di pertemuan berikutnya dalam waktu dekat ini. Akbar berjanji, pertengahan bulan ini, timnya datang ke Samarinda.
Ditemui terpisah, Wali Kota Samarinda, Andi Harun, mengatakan bahwa pemkot belum menerima laporan. Menurutnya, informasi tersebut baru sebatas di media sosial. Kendati demikian, wali kota tetap menaruh perhatian serius.
Andi Harun menjelaskan bahwa pembangunan Teras Samarinda adalah hubungan kontrak antara Pemkot Samarinda dengan kontraktor. Para pekerja berada di bawah naungan kontraktor sehingga tidak memiliki hubungan hukum dengan pemerintah kota.
"Jika betul masih ada hak pekerja yang belum terbayarkan, yang bertanggung jawab adalah kontraktor," tegas Andi Harun saat meninjau Teras Samarinda, Rabu, 4 September 2024.
Masalah ini juga berdampak ke mana-mana. Ispawati, 44 tahun, adalah penjaga kantin di Teras Samarinda. Ia mengaku mengalami kerugian hingga Rp30 juta. Menurutnya, banyak pekerja proyek yang belum menerima upah sehingga berimbas kepada usahanya. Wati berharap, persoalan ini secepatnya menemui titik terang.
"Kasihan saya ini, setiap hari mulai masak jam empat subuh, tapi seperti ini balasannya," kata Ispawati.
Dikonfirmasi keluhan tersebut, Akbar Bachtiar mewakili kontraktor pelaksana menjelaskan, perusahaan berhubungan dengan mandor. Jika ada tunggakan dari pekerja maupun tukang kepada pengelola kantin, ia menyebut urusannya di mandor masing-masing. (*)