kaltimkece.id Polemik dugaan bahan bakar minyak (BBM) oplosan kembali bergulir. Kamis, 24 April 2025, konsumen yang kendaraan brebet dan mogok usai mengisi BBM membawa masalah tersebut ke jalur hukum. Hal ini sebagai tindak lanjut kebuntuan mediasi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Samarinda terhadap aduan delapan konsumen pengguna BBM Pertamina,
Selasa, 15 April 2025, BPSK Samarinda menghadirkan delapan korban BBM oplosan dan perwakilan PT Pertamina Patra Niaga di Kantor Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (DPPKUKM) Kaltim. Karena BPSK hanya bisa menangani kasus per kasus dan bukan gugatan kelompok, lembaga ini tidak bisa melanjutkan aduan tersebut.
BPSK akhirnya menyarankan para korban BBM menempuh jalur hukum melalui pengajuan gugatan ke pengadilan. Opsi lain pun disarankan kepada Pertamina agar berkomunikasi kepada para pelapor atas kompensasi yang ditawarkan.
Berdasarkan dokumen yang diterima kaltimkece.id dari BPSK Samarinda, dua hari setelah pertemuan di Kantor DPPKUKM Kaltim, pada 17 April 2025, Pertamina disebut telah menghubungi kedelapan korban yang melapor ke BPSK. Namun, tidak semua pelapor bisa dihubungi. Dari delapan pelapor, Pertamina mengklaim tiga pelapor sudah dihubungi dan diberikan ganti rugi oleh Pertamina. Sedangkan lima pelapor lainnya, Pertamina mengusahakan akan menyelesaikan permasalaham secepatnya.
Menanggapi hal tersebut, Dyah Lestari, salah satu dari delapan korban yang melaporkan Pertamina ke BPSK, merasa geram. Perempuan yang berprofesi sebagai advokat itu mengaku, selama ini Pertamina tidak pernah menghubungi dirinya setelah rapat bersama BPSK, pada 15 April lalu. Karena itulah, Dyah bersama kuasa hukumnya melaporkan Pertamina ke Pengadilan Negeri Samarinda.
"Gugatan ini dilakukan karena Pertamina tidak menjalankan kewajibannya, yaitu menghubungi dan membayar kompensasi kepada saya," ucap Dyah usai menyerahkan berkas gugatan di Pengadilan Negeri Samarinda.
"Berbeda loh ya, tidak bisa dihubungi dan tidak pernah dihubungi. Dan saya tidak pernah dihubungi oleh mereka (Pertamina)," sambungnya .
Terdapat tiga tuntutan yang diajukan Dyah, yaitu, ganti rugi atas kerusakan kendaraannya kepada Pertamina selaku produsen BBM. Kedua, dengan kondisi ketidakjelasan kualitas BBM milik Pertamina, Dyah meminta Pertamina bertanggung jawab dengan menarik semua produk-produknya yang bermasalah. Terakhir, Pertamina harus minta maaf kepada masyarakat atas segala kerugian yang ditimbulkan akibat produk mereka.
Dihubungi terpisah, Area Manager Communication, Relations, dan Corporate Social Responsibility (CSR) Pertamina Regional Kalimantan, Edi Mangun, mengatakan belum adanya kompensasi Pertamina terhadap Dyah Lestari, disebabkan pihak Dyah telah menarik laporan saat pertemuan di BPSK. Dyah juga tidak dapat dihubungi lebih lanjut oleh Pertamina.
"Kami menghormati keputusan atas pelaporan Pertamina ke pengadilan. Namun perlu ditegaskan bahwa Pertamina berkomitmen untuk menyelesaikan setiap laporan dengan itikad baik," ucap Edi. Pendekatan dan tindak lanjut penyelesaian, sambungnya, hanya dapat dilakukan apabila para pihak kooperatif.
Lebih lanjut Edi mengatakan, Pertamina tetap membuka ruang komunikasi dan siap menindaklanjuti apabila pihak pelapor bersedia untuk melanjutkan proses secara terbuka dan kooperatif. Dirinya juga mengimbau Dyah Lestari melapor ke stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) tempat ia mengisi BBM untuk mengisi form blanko keluhan konsumen agar segera ditindaklanjuti. (*)