kaltimkece.id Matahari mulai merayap naik. Jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi ketika seorang pria berusia 39 tahun, sebut saja Rama, berangkat ke kantor untuk bekerja. Belum jauh berjalan, Rama melihat seorang anak mengintip dari jendela rumah tetangganya. Ia pun mendatangi rumah tersebut untuk menyudahi rasa penasarannya.
Jumat, 26 April 2024, Rama kaget begitu mengetahui anak tersebut ternyata ditinggal sendirian. Rumah anak tersebut di Kecamatan Sungai Pinang juga dalam keadaan terkunci. Dari luar, Rama melihat bekas luka-luka di tubuh anak tersebut.
"Tolong, aku lapar," kata anak tersebut seperti ditirukan Rama saat memberikan keterangan kepada petugas Kepolisian Resor Kota Samarinda.
Rama segera menghubungi pemilik rumah sewa tersebut. Seorang pria berusia 59 tahun datang membawa kunci duplikat. Selepas pintu rumah dibuka, anak tersebut segera dibawa ke rumah sakit karena kondisinya sudah lemah. Rama lalu menghubungi Julivia Nur Prisintyas, pegawai honorer Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Samarinda. Laporan dari Rama segera diteruskan kepada kepolisian.
Petugas bergerak cepat. Kepala Polresta Samarinda, Komisaris Besar Polisi Ary Fadli mengatakan, polisi segera memeriksa saksi-saksi di lokasi kejadian. Hanya dalam beberapa jam, orang tuanya ditemukan. Kedua orang tua anak tersebut rupanya sedang menginap di sebuah guest house di Jalan Siradj Salman, Samarinda.
"Dari penyelidikan dan penyidikan, kami menetapkan mereka (orang tua) sebagai tersangka," ucap Kombes Pol Ary Fadli.
Dari hasil pemeriksaan, kedua orang tua tersebut terbukti kerap menganiaya anak. Penganiayaan itu dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama dan berlangsung sejak 2020. Pada April ini saja, sambung Kapolres, keduanya terbukti lima kali menganiaya anak mereka.
Sebagai informasi, ibu kandung yang menjadi tersangka dalam kasus ini berusia 23 tahun. Anak tersebut merupakan hasil pernikahannya yang terdahulu. Pendidikan terakhir sang ibu adalah lulusan SMP di Jawa Barat.
Sementara itu, suaminya yang juga menjadi tersangka merupakan ayah tiri anak tersebut. Mereka sudah menikah selama empat tahun. Keduanya disebut berkenalan melalui media sosial. Ayah tiri anak itu adalah pekerja konstruksi yang berusia 42 tahun. Lelaki itu lulusan S-1 dari sebuah perguruan tinggi di Samarinda.
Keduanya kini dijerat Pasal 8 ayat 2 UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman lima tahun penjara ditambah denda Rp 100 juta. Tambahan pidana sebanyak sepertiga dari ketentuan tersebut juga mengancam mereka karena berstatus orang tua.
Terpisah, Ketua UPTD PPA Samarinda, Violeta, mengatakan bahwa kasus ini dalam penanganan lembaganya. Sang anak saat ini masih dirawat di rumah sakit. Luka-lukanya diperiksa melalui visum et repertum dan rontgen.
"Terlihat bahwa anak tersebut telah dianiaya orang tuanya sejak lama," jelas Etha, sapaan Violeta.
Ia menambahkan bahwa sang anak tidak mungkin lagi tinggal bersama orang tuanya. UPTD PPA Samarinda telah berkoordinasi dengan Dinas Sosial Samarinda. Beberapa pihak telah menghubungi untuk mengadopsi anak tersebut. Akan tetapi, UPTD PPA tengah berupaya mencari keluarga besar dari pihak ibunya yang mampu merawatnya.
"Untuk mengadopsi, ada prosedur yang harus dilewati," ucapnya.
Etha juga mempertimbangkan status sang anak. Meskipun telah berusia delapan tahun, anak tersebut belum sekolah. Jika memang tidak ada yang mampu merawat, ia menyatakan, anak tersebut akan berada dalam perawatan negara dalam hal ini Dinas Sosial Samarinda dan UPTD PPA Samarinda.
Kondisi Anak Mulai Membaik
Ayunda Ramadhani, psikolog UPTD PPA yang menjadi pendamping anak tersebut selama beberapa hari terakhir, mengatakan bahwa kondisi anak terbilang cukup baik. Anak tersebut merupakan pribadi yang ceria dan kerap mengajak pasien lain mengobrol.
Meski tidak menunjukkan tanda-tanda trauma secara khusus, Ayunda mewaspadai dampak kekerasan yang diterimanya bertahun-tahun. Ia mencurigai, anak tersebut berusaha terlihat baik sebagai mekanisme pertahanan diri. Sikap itu bisa jadi telah ia bangun untuk menghadapi perlakuan orang tuanya.
"Dalam proses asesmen pun, ia sempat mengungkapkan bahwa dirinya pantas dianiaya oleh orang tuanya karena nakal," sebutnya
Pengajar di Universitas Mulawarman tersebut berupaya agar anak tersebut dapat meluapkan emosinya dengan bebas sebagai bagian dari pemulihan. Salah satunya, ketika disuntik, Ayunda mempersilakan anak tersebut menangis sambil memeluk dirinya. Selama ini, Ayunda menilai anak tersebut kerap dimarahi orang tuanya apabila menangis sehingga ia terbiasa meredam emosinya.
"Syukurnya, kini ia mulai merasa aman dan nyaman. Kadang justru mulai bersikap rewel, berbeda dengan sikap penurut yang ia perlihatkan kepada orang-orang secara umum. Hal itu justru bagus," ucapnya.
Ayunda menambahkan bahwa meski belum bersekolah, anak itu mempunyai potensi kecerdasan yang cukup baik. Sebelum tidur, Ayunda kerap membawakan buku cerita. Meski belum mampu membaca, anak itu mempunyai ingatan yang kuat terhadap tiap cerita yang Ayunda dongengkan.
"Tidak ada juga tanda-tanda ia mengalami kelambatan dalam kemampuan bicara," sebutnya.
Ayunda berharap agar masyarakat segera melapor apabila mengetahui kekerasan di sekitar mereka, khususnya kepada perempuan dan anak. Ia menyayangkan, kasus ini baru dilaporkan padahal sudah terjadi bertahun-tahun. Selain itu, sambungnya, pasangan yang mau menikah harus mempersiapkan diri bukan hanya finansial namun secara mental. Jika diperlukan, pasangan suami istri bisa berkonsultasi kepada psikolog.
"Jangan sampai anak menjadi korban pelampiasan emosi orang tua yang tidak stabil. Jangan jadi orang tua jika memang belum siap," ingatnya. (*)
CATATAN REDAKSI: Artikel ini mengikuti Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) sebagaimana diatur Dewan Pers serta Undang-Undang 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.