kaltimkece.id Pembukaan pekan pada Senin, 26 Agustus 2019, menjadi hari yang sibuk bagi Awang Faroek Ishak. Mantan gubernur Kaltim yang menjadi anggota DPR RI terpilih dari Partai Nasional Demokrat ini sedang di Jakarta. Pagi-pagi sekali, Faroek harus mengikuti pembekalan dari Lemhanas sebelum dilantik sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Kaltim.
Pembekalan itu kelar pada Senin siang. Faroek pun bergegas menuju istana negara. Sejak Ahad malam, 25 Agustus 2019, ia menerima kabar bahwa Presiden Joko Widodo akan mengumumkan lokasi ibu kota. Presiden akan didampingi Gubernur Kaltim Isran Noor dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sejumlah menteri juga hadir.
Faroek, dengan kursi rodanya, tiba di istana negara. Konferensi pers sudah dimulai pukul 13.00 WIB lewat sedikit. “Bapak mengikuti pengumuman Pak Jokowi dari luar ruangan karena acara sudah dimulai. Bapak (Faroek) memang ingin mendengarkan langsung pengumuman presiden,” tutur Dayang Donna Faroek, putri kedua Awang Faroek.
Setiap perkataan Jokowi disimak dalam-dalam oleh Faroek. Begitu Jokowi menyebut Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota, lelaki berambut perak ini tak kuasa menahan air mata. Ia menangis terharu di atas kursi rodanya.
Dalam pengumuman itu, Jokowi mengatakan bahwa lokasi ibu kota di sebagian Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kartanegara. Konferensi pers pun selesai. Para petinggi negeri keluar dari ruangan. Mereka berpapasan dengan Awang Faroek. Isran Noor segera memeluk Faroek dengan erat. Begitu pula Anies Baswedan.
“Saya tak bisa menggambarkan bagaimana perasaan saya saat itu. Ini hari bersejarah bagi warga Kaltim,” tutur Awang Faroek kepada kaltimkece.id ketika diwawancarai pada Selasa, 27 Agustus 2019. Ia melanjutkan, kehadiran di istana siang itu semata tidak ingin melewatkan detik-detik bersejarah bangsa, negara, dan tentu saja Provinsi Kaltim.
Disinggung sebagian karya politiknya selama 10 tahun menjabat gubernur, yang turut menentukan Kaltim sebagai ibu kota, Faroek tak berkomentar. “Silakan masyarakat yang menilai,” ucapnya.
Peran Besar Faroek
“Biar saja mereka mencemooh rencana besar saya. Nanti waktulah yang menjawab,” demikian Awang Faroek Ishak, tatkala masih menjabat gubernur Kaltim. Sewindu silam, pada 2011, Faroek kebanjiran kritik. Pemprov waktu itu membangun dua megastruktur. Jalan tol Balikpapan-Samarinda sepanjang 99,02 kilometer dan bandara di Sungai Siring, Samarinda.
Para pencibir menyandarkan kritik mereka kepada dua hal utama. Pertama, jalan tol maupun bandara bukan kebutuhan mendesak. Masih banyak jalan arteri yang rusak di sekujur Kaltim, yang jauh lebih mendesak untuk diperbaiki. Kedua, jalan tol dan bandara yang dibangun bersamaan disebut mubazir. Untuk apa membangun bandara di Samarinda jika waktu tempuh ke lapangan terbang Balikpapan bisa dipangkas tol? Atau sebaliknya, untuk apa jalan tol jika Samarinda punya bandara?
Awang Faroek bersiteguh dengan pendiriannya. Menurutnya, terlalu sempit pandangan jika melandaskan kehadiran jalan tol dan bandara Samarinda hanya seperti itu. Dalam perencanaan jangka panjang yang ia siapkan, jalan tol dan bandara adalah dua dari sekian banyak infrastruktur yang menopang konektivitas Kaltim.
Faroek ingin Kaltim pada 2030 menjadi provinsi maju. Provinsi yang tak lagi bergantung sumber daya alam. Provinsi yang pertumbuhan ekonominya terempas ketika harga komoditas andalan melorot tajam. Kaltim harus punya industri hilir dari minyak sawit mentah dan batu bara. Jika tidak disiapkan secepatnya, Kaltim bakal menjadi provinsi mati ketika sumber daya alamnya habis.
Awang Faroek pun menggagas transformasi ekonomi. Transformasi bagi Kaltim yang masih bergantung industri ekstraktif, menjadi industri hilir. Inilah landasan dan gagasan yang terutama dalam visi Kaltim Bangkit 2030 yang dia susun. Kaltim dibagi dalam zonasi yang disebut pusat industri. Penajam Paser Utara dan Balikpapan menjadi lokasi pertama pusat industri turunan batu bara dan kelapa sawit. Pusat industri ini didukung kehadiran Terminal Peti Kemas Kariangau berskala internasional di Balikpapan. Disiapkan pula Kawasan Industri Buluminung di PPU.
Pusat industri hilir kedua didirikan di Kawasan Ekonomi Khusus Maloy Batuta Trans Kalimantan di Kutai Timur. Industri turunan minyak sawit dan batu bara dibangun meskipun tertatih-tatih. Dua pusat industri hilir inilah yang akan ditemani tiga titik kegiatan yang lain. Pertama, Berau sebagai pusat industri pariwisata, kemudian Bontang pusat industri kimia, dan Samarinda pusat perdagangan dan jasa.
Seluruh pusat kegiatan ekonomi ini mesti dikoneksikan jika ingin berjalan dengan baik. Caranya, menurut Faroek, dengan kelengkapan infrastruktur bernama konektivitas. Dari selatan, Jembatan Pulau Balang yang menghubungkan PPU dan Balikpapan terhubung Terminal Peti Kemas Kariangau. Jalan tol menghubungkan pelabuhan ini dengan Bandara Sepinggan.
Jalan tol juga yang menyambungkan dengan Jembatan Mahkota II yang terkoneksi Terminal Peti Kemas Palaran dan Bandara APT Pranoto di Samarinda. Jalur bebas hambatan sebagai nadi perekonomian Kaltim dilanjutkan ke pusat industri kimia di Bontang. Berakhir di kawasan industri Maloy.
Dengan perencanaan seperti itu, makanya, segala yang Faroek rencanakan terasa sangat tinggi dan mengangkasa. Seperti mengawang-awang sehingga menuai cibiran. Bukan hanya jalan tol Balikpapan hingga Kutai Timur, Faroek merencanakan pelabuhan internasional yang harus menggantikan peran Batam untuk mengekspor produk kelapa sawit. Ada pula pembangunan rel kereta api yang banyak menuai kritikan.
Yang tidak banyak orang perhatikan dalam-dalam, Faroek sebenarnya sekepala dengan Joko Widodo. Jauh sebelum Jokowi menjadi presiden, Faroek menyadari bahwa ketertinggalan Kaltim selama ini disebabkan infrastruktur Kaltim yang minim. Investor enggan membuka industri hilir di Kaltim karena ketiadaan jalan yang layak, pelabuhan ekspor, termasuk pasokan listrik yang cukup. Mereka lebih memilih Pulau Jawa. Kaltim akhirnya tetap menjadi sapi perah. Dalam hal ini, Faroek sepemikiran dengan Jokowi. Infrastruktur adalah kunci.
Pemindahan Ibu Kota
Dua tahun sebelum Jokowi menjabat sebagai presiden, Awang Faroek telah mengajukan nama Kaltim. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Faroek mengusulkan Teluk Balikpapan sebagai ibu kota negara. Alasannya masuk akal. Teluk Balikpapan tepat di tengah-tengah Indonesia. Bersemuka dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia II di Selat Makassar. Penduduk Kaltim yang majemuk juga cocok untuk menerima pendatang.
Begitu Jokowi menjadi presiden, Faroek bersama sejumlah tokoh memasukkan usulan ibu kota negara sebagai satu dari tujuh mimpi Kaltim. Mimpi itu dikumpulkan dalam kapsul waktu bersama 33 provinsi dan ditanam di Papua.
Tibalah 26 Agustus 2019 yang menjadi hari bersejarah bagi Kaltim. Presiden Jokowi mengumumkan Kaltim sebagai lokasi ibu kota negara yang baru. Dari sejumlah poin yang mendasari keputusan itu, dua di antaranya sesuai dengan perkiraan Faroek. Lokasi ibu kota tepat di hulu Teluk Balikpapan. Demografi Kaltim yang majemuk juga masuk pertimbangan.
Ditambah lagi satu faktor utama yang membuat Kaltim yang dipilih, bukannya Kalteng. Infrastruktur. Lokasi ibu kota yang dipilih Jokowi diapit dua bandara besar. Satu di antaranya dibangun pemprov pada pemerintahan Faroek. Lokasi ibu kota juga dekat jalan tol. Struktur yang ketika dibangun banyak dicibir.
“Saya tidak ingin berandai-andai. Tetapi jika dulu saya tak bersikeras membangun jalan tol, mungkin Kaltim tidak menjadi ibu kota negara,” terang Faroek, Selasa, 27 Agustus 2019.
Sang "kai" yang kini berusia 71 tahun ini mengaku lega, gembira, dan bangga. Ia merasa buah kerjanya selama 10 tahun terbayar lunas. Dengan menjadi ibu kota negara, Kaltim bersama provinsi lain di Kalimantan akan lebih kencang mengejar pembangunan.
“Sebenarnya saya tidak ingin membangga-banggakan ini. Biarlah masyarakat yang menilai,” lanjut Faroek ketika ditanya mengenai cibiran yang diterimanya dulu. Dia hanya berpesan agar warga Kaltim tetap giat belajar dan bekerja. Sumber daya manusia Kaltim harus unggul agar warga lokal tidak ketinggalan ketika ibu kota dipindah. Faroek juga meminta masyarakat menambahkan usulan saat undang-undang pemindahan ibu kota dibahas di DPR.
“Semua yang saya prediksi ternyata tepat. Semua ini terbukti justru bukan pada masa kekuasaan saya,” kata Awang Faroek. Akhir kata, Faroek menambahkan, satu tugas besarnya bagi Kaltim telah paripurna. “Bahkan jika hari ini Allah memanggil, saya sudah siap dan tenang meninggalkan Kaltim yang saya cintai,” ucap Faroek dengan suara begetar. (*)