kaltimkece.id Ribuan orang menyertai kepergian Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura Aji Muhammad Salehuddin II. Pada Senin yang terik, 6 Agustus 2018, jenazah Sultan dibawa dengan sebuah tandu besar menuju pemakaman di kompleks Museum Mulawarman, Tenggarong. Ratusan orang dari personel militer, kepolisian, dan Satuan Polisi Pamong Praja, gotong-royong memikulnya.
Keranda itu dinamakan Damar Semurup. Ia hanya dibuat dan dipakai untuk mengantar jenazah sultan dan ibu suri. Ukuran keranda itu 4 meter x 4 meter dan berlantai ulin, sama seperti tongkat pemikul di keempat sisinya. Atap Damar Semurup terdiri atas tujuh tingkat yang berbentuk segi empat. Susunan tangkup itu merupakan rangkaian kayu yang berbalut kain putih.
Menurut tradisi lisan, tujuh tingkat atap melambangkan lapisan langit yang pernah dilewati Rasulullah. Sementara penjelasan pihak kesultanan, angka tujuh adalah bilangan ganjil yang memang memiliki keistimewaan menurut Islam. “Hampir semua unsur bangunan kedaton berjumlah ganjil,” terang Aji Pangeran Haryo Kusumo Poeger, kepala Bidang Pelestari Adat dan Budaya Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, kepada kaltimkece.id.
Keistimewaan angka ganjil itu, sambungnya, seperti tertuang dalam beberapa hadis. Satu di antaranya, Abu Hurairah berkata, ”Rasulullah SAW bersabda, ‘Dan Allah SWT memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barang siapa menghitungnya (menghapal dan menafakurinya) akan masuk surga. Dia itu witir (ganjil) dan menyukai yang ganjil.” (Hadis Riwayat Bukhari-Muslim).
Bilangan ganjil juga dipakai untuk masa berduka setelah kepergian sultan yaitu 41 hari. Setelah hari ke-41 Sultan wafat, barulah dibentuk dewan adat untuk membahas pelantikan sultan yang baru. Penobatan sultan ke-21 Kutai, yaitu Aji Pangeran Adipati Prabu Anum Surya Adiningrat selaku putra mahkota, diperkirakan jatuh pada 28 September 2018. Tanggal itu bertepatan dengan hari ulang tahun Kota Tenggarong.
Sebagai putra mahkota, Pangeran Prabu Anum wajib naik Damar Semurup untuk mengantar ayahnya ke peristirahatan terakhir. Pangeran akan ditemani pejabat negara, seperti pada pemakaman Senin lalu, yakni Penjabat Bupati Kutai Kartanegara Edi Damansyah.
Menurut urutan prosesi pemakaman, Damar Semurup digunakan setelah jenazah Sultan dilepas dari Kedaton Kutai Kartanegara. Setelah itu, jenazah disalatkan di Masjid Jami Amir Hasanuddin dan diantar ke pemakaman. Sepanjang jalan dari masjid menuju pemakaman di kompleks Museum Mulawarman itulah, kain putih selebar 60 sentimeter dibentangkan sebagai jalur Damar Semurup.
Baca juga: Pangeran Prabu, Sultan yang Trauma Masuk Istana
Damar Semurup diperkirakan mulai digunakan sebagai keranda pengantar jenazah para raja sejak awal kerajaan Kutai berdiri. Namun, Poeger mengaku, tidak mengetahui persis raja atau sultan keberapa yang mulai memakai Damar Semurup. “Yang jelas, sudah ada sejak zaman nenek moyang," terangnya. Poeger hanya ingat, terakhir kali Damar Semurup dibuat dan digunakan adalah pada 1981. Saat itu, Sultan Aji Muhammad Parikesit, ayahanda Sultan Salehuddin II, yang mangkat.
Tradisi Pemakaman Para Raja
Keranda besar yang dibuat untuk arak-arakan dalam prosesi pemakaman raja merupakan kebiasaan yang sudah jamak. Pada masa Majapahit, arak-arakan besar selalu mengiringi para raja yang hendak dimakamkan di candi seturut pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha. Selepas kedatangan Islam, raja-raja tidak lagi dimakamkan di candi melainkan sesuai ajaran Islam (Sejarah Sekolah Menengah Atas, 2006, hlm 64)
Meskipun sudah bercorak Islam, mengantar jenazah raja menggunakan keranda atau kendaraan khusus masih berlangsung. Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Kesultanan Yogya yang mangkat pada 1988 di Washington DC, Amerika Serikat, adalah contohnya. Jenazah Sri Sultan dibawa menggunakan Kereta Rata Pralaya dari keraton menuju pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri (Takhta untuk Rakyat, Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX, 2011, hlm 338). Pedati yang dibeli pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII pada 1938 itu ditarik delapan ekor kuda.
Di luar negeri, pemakaman Raja Thailand Bhumibol Adulyadej pada Oktober 2017 juga nyaris serupa. Pada saat dimakamkan, iring-iringan jenazah mencapai 650 meter panjangnya. Mereka berjalan dari Istana Kerajaan menuju Sanam Luang, lokasi pembakaran jenazah khusus keluarga kerajaan, seperti ditulis dalam artikel BBC berjudul Thai King Death: What will King Bhumibol Adulyadej's Last Rites be Like? (2017). Jenazah raja Thailand dibawa di dalam keranda berbentuk istana kecil yang berbalut emas dengan berat mencapai 14 ton. Perlu 200 tentara kerajaan untuk mengangkut keranda itu. (*)