kaltimkece.id Suasana ruang rapat di Hotel Platinum, Balikpapan, riuh pada Kamis siang, 6 Oktober 2022. Di ruangan tersebut, sejumlah anggota Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim bertubi-tubi mengeluarkan argumen, pandangan, hingga masukan mengenai rancangan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah alias RTRW Kaltim. Mereka menganggap, rancangan tersebut dibuat tidak partisipatif dan tergesa-gesa.
Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim beranggotakan sejumlah organisasi nonpemerintah. Di antaranya, Wahana Lingkungan Hidup Kaltim, Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Kelompok Kerja 30, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau Aman Kaltim. Hari itu, mereka mengikut focus grup discussion atau FGD yang diadakan panitia khusus revisi RTRW Kaltim.
Kepada kaltimkece.id, Ketua Aman Kaltim, Saiduan Nyuk, membeberkan alasan mengapa pembuatan rancangan revisi RTRW Kaltim mengabaikan keterlibatan publik. Contoh kecilnya, kata dia, adalah undangan FGD tersebut. Aman Kaltim mendapatkan undangannya pada Ahad, 2 Oktober 2022, atau empat hari sebelum diskusi dilaksanakan.
“Itu berarti, kami dipaksa mempelajari dan memahami 501 halaman draf revisi RTRW Kaltim dalam waktu empat hari,” kata Duan, sapaan Saiduan Nyuk.
Padahal, lanjut dia, dokumen tersebut berkaitan dengan penataan ruang hidup dan wilayah kelola masyarakat Kaltim. Untuk memahami dokumen tersebut Aman perlu berkomunikasi dengan 72 komunitas masyarakat adat di tujuh kabupaten di Kaltim. Oleh sebab itu, Duan menganggap, tim perumus rancangan revisi RTRW Kaltim tidak melakukan pelibatan publik secara aktif, baik dari perumusan hingga pembahasan.
Sementara itu, Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo, mengatakan, perumusan revisi RTRW Kaltim cacat prosedural dan tidak substansial. Alasannya, penyusunannya masih menggunakan konsiderans UU Cipta Kerja. Hal itu dianggap melawan Putusan MK no 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja perlu perbaikan.
“Mandatnya adalah tidak boleh membuat regulasi turunan dari UU Cipta Kerja sampai adanya perbaikan. Jadi, tidak bisa jadi rujukan dalam RTRW,” jelas Buyung.
Adapun Jatam dan Walhi Kaltim memberikan pandangan dari sisi dampak lingkungan. Sebagai dokumen yang mengatur pola ruang di Bumi Etam, draf revisi RTRW dinilai tidak memakai pendekatan keadilan ruang. Hal ini dapat dilihat dari pembagian pola ruang yang tidak proporsional antara fungsi lindung dan fungsi budi daya. “Rancangan RTRW hanya mengalokasikan 2 juta hektare untuk fungsi lindung sedangkan fungsi budi daya 12 juta hektare,” urai Dinamisator Jatam Kaltim, Mareta Sari.
Kondisinya diperparah dari lampiran peta kawasan pertambangan mineral dan batu bara. Hampir seluruh wilayah Kaltim, sebut Mareta, dialokasikan untuk pertambangan. Ditelusuri lebih jauh, ditemukan penyusutan kawasan lindung yang signifikan dibandingkan dengan yang termuat dalam Peraturan Daerah tentang RTRW.
“Alih-alih menghitung kemampuan ruang Kaltim secara proporsional, draf ini (rancangan revisi RTRW) justru berencana menguras habis kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan Kaltim,” jelasnya.
Direktur Walhi Kaltim, Yohana Tiko, bahkan menaruh prasangka buruk jika revisi RTRW Kaltim diluluskan. Tanpa ada pembenahan, ia khawatir, RTRW tersebut bakal menjadi senjata pemusnah wilayah kelola rakyat dan ruang hidup masyarakat Kaltim. Padahal, seharusnya, fungsi RTRW adalah memberikan jaminan perlindungan lingkungan agar keseimbangan ekosistem terjaga.
“Pembagian pola ruang yang dominan untuk fungsi budi daya menggiring provinsi ini menuju kehancuran sosio–ekologis,” timpal Tiko.
Apalagi, sambung dia, Kaltim tengah menghadapi problem tingginya pelepasan karbon. Pada 2021, suhu panas Bumi Etam dilaporkan berada di peringkat dengan rata-rata 38,4 derajat celsius. Walhi Kaltim menyebut, biang keroknya adalah pembukaan lahan secara masif akibat tidak ada aturan perlindungan lingkungan yang jelas.
“Makanya, tidak mengherankan, 60 persen bencana di Kaltim adalah banjir. Banjir ini, akumulasi dari tidak adanya keadilan ruang hidup dalam peruntukan tata ruang,” bebernya.
Dikonfirmasi secara terpisah, ketua pansus revisi RTRW Kaltim, Baharuddin Demmu, menyatakan tidak mempermasalahkan masukan dan kritik dari organisasi nonpemerintah ini. Menurutnya, masukan dan kritik sangat diperlukan untuk mengakomodasi kebutuhan tiap daerah dalam revisi RTRW Kaltim. “Termasuk melihat jika ada perubahan peruntukan kawasan. Jadi, kami perlu sesuaikan dengan masukan yang ada,” katanya.
Mengenai waktu kerja pansus yang dianggap singkat, Baharuddin memastikan, dalam dua bulan ke depan prosesnya diperbaiki. Perbaikannya meliputi penyinkronan RTRW yang mengatur pola ruang darat dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil atau RZWP3K di laut, termasuk melibatkan kelompok masyarakat yang bersentuhan langsung.
“Seperti nelayan, masyarakat adat, serta warga di lingkar tambang dan hutan. Kami akan melibatkan semuanya karena itu cukup penting,” pungkasnya. (*)