kaltimkece.id Sebuah kabar menyerempet nama Bupati Penajam Paser Utara, Abdul Gafur Masud, sebagaimana mengemuka di sejumlah media. Gafur yang memimpin kabupaten “calon ibu kota baru RI” itu disebut-sebut membeli Pulau Malamber di Gugusan Balabalakang, Sulawesi Barat. Harganya Rp 2 miliar dengan down payment Rp 200 juta di muka.
Menurut keterangan camat setempat, seperti dilansir berbagai media, transaksi berlangsung pada April 2020. Tidak jelas luas lahan dalam transaksi tersebut namun diperkirakan satu pulau. Kepolisian Resor Kota Mamuju tengah menyelidiki transaksi yang mengundang tanya tersebut.
Abdul Gafur Masud memberikan klarifikasi. Ia mengatakan bahwa pulau tersebut milik keluarganya sejak sebelum Indonesia merdeka. “Dari kakek-nenek kami. Orangtua saya memang dari Mandar, Sulawesi Barat. Saya cucu KH Muhammad Husain,” terang Gafur dalam pesan pendeknya kepada media.
Gafur juga menengarai, desas-desus tersebut berhubungan dengan jabatannya sebagai bupati di Kaltim. Patut dicatat bahwa Gugusan Balabalakang telah menjadi rebutan antara Provinsi Kaltim dengan Provinsi Sulbar.
“Sementara saya, tak masuk ke ranah situ,” tegasnya.
Tinjauan Hukum
Sebenarnya, bagaimana aturan membeli, memiliki, memegang izin, atau menguasai suatu pulau di Indonesia? kaltimkece.id menemui Bernard Marbun, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Samarinda (bagian dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-YLBHI). Ia memberikan pemaparan dari sudut pandang hukum secara detail.
Sebelum membahas aturan boleh tidaknya suatu pulau dikuasai, Bernard Marbun mengatakan, harus dipahami bahwa konstitusi Republik Indonesia sebagai aturan hukum tertinggi telah mengatur penguasaan, pemberian hak, serta perizinan. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Aturan ini berlaku di seluruh daratan republik, baik pulau besar maupun pulau kecil.
“Inilah sumber hukum tertinggi dalam hal penguasaan maupun pengelolaan seluruh ruang di Indonesia. Mulai tanah, bawah tanah, sungai, laut, hingga angkasa, termasuk pulau kecil, sejatinya dikuasai negara,” jelasnya.
Definisi pulau kecil dijabarkan dalam UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagaimana diubah UU 1/2014. Lebih terperinci lagi, diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 17/2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Menurut regulasi di atas, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi (kira-kira tiga kali luas Samarinda) beserta kesatuan ekosistemnya,” demikian Bernard Marbun.
Ketika wilayah pulau yang dikuasai negara sesuai UUD 1945, negara berwenang mengatur penguasaan pulau kecil tersebut kepada pihak lain. Penguasaan tersebut dapat berbentuk hak atas tanah maupun perizinan kepada perseorangan atau swasta.
“Jadi, negara diperkenankan memberikan hak atas tanah atau menerbitkan perizinan di pulau kecil,” terangnya. Alumnus Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda, itu, mengatakan bahwa dasar kewenangan tersebut adalah Permen Agraria 17/2016 tadi.
Hak Atas Tanah di Pulau Kecil
Hak atas tanah di pulau kecil terdiri dari beragam jenis. Pasal 16 UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan, hak atas tanah di pulau kecil berupa hak milik yang terdiri dari hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, dan hak membuka tanah. Kemudian ada hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Seluruh hak tersebut dibuktikan secara legal berdasarkan sertifikat hak.
Namun demikian, ada regulasi hak atas tanah yang berbeda antara pulau kecil dengan pulau besar. Bernard Marbun dari LBH Samarinda mengutip pasal 9 Permen Agraria 17/2016 yang mengatur ketentuan hak atas tanah di pulau-pulau kecil.
Yang pertama, penguasaan atas pulau-pulau kecil paling banyak 70 persen dari luas pulau, atau sesuai arahan rencana tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota dan/atau rencana zonasi pulau kecil tersebut. Kedua, sisa paling sedikit 30 persen luas pulau kecil dikuasai negara dan digunakan dan dimanfaatkan untuk kawasan lindung, area publik, atau kepentingan masyarakat.
Ketiga, harus mengalokasikan 30 persen dari luas pulau untuk kawasan lindung. Penguasaan dan pemilikan tanah di pulau kecil juga tidak boleh menutup akses publik. Syarat yang lain adalah rekomendasi dari pemprov atau pemkab/pemkot jika tata ruang pulau tersebut belum diatur RTRW. Aturan tersebut hanya bagi WNI sementara untuk orang asing, syaratnya lebih banyak lagi.
“Artinya, seseorang (WNI) boleh memiliki hak atas tanah di pulau kecil namun hanya sebagian. Hukum RI tidak membolehkan perseorangan atau swasta menguasai pulau secara keseluruhan,” jelasnya. Napas dari beleid ini tidak lain pasal 33 UUD 1945. Dengan tidak diizinkannya seseorang atau swasta menguasai pulau secara keseluruhan, negara memiliki kewenangan ketika pulau tersebut memiliki kandungan berharga, semisal mineral.
Dalam hal hak atas tanah dipegang seseorang atau swasta hanya di sebagian pulau, Bernard menilai, tidak ada masalah ketika pemegang hak menjual kepada pihak lain. Namun ketika yang dijual adalah satu pulau secara keseluruhan, ia menyebut hal itu mustahil.
“Karena aturan hukum kita tidak memungkinkan suatu pulau dikuasai penuh, tidak mungkin ada sertifikat hak yang terbit seperti itu. Lantas, apa yang hendak dijual?”
Perizinan di Pulau Kecil
Di samping pemberian hak atas tanah, negara dapat mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Bentuk pengelolaan tersebut melalui pemberian penguasaan kepada pihak lain, baik perseorangan atau swasta, melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak lain ini tidak mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid), mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad).
Izin pengelolaan di pulau kecil dapat diperoleh perseorangan atau swasta yang telah memegang izin lokasi. Adapun izin yang diperbolehkan untuk pengelolaan pulau kecil di antaranya untuk produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi, hingga wisata bahari. Ada pula izin pemasangan pipa dan kabel bawah laut, serta izin pengangkatan benda muatan kapal tenggelam. (*)
Ikuti berita-berita berkualitas dari kaltimkece.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: