kaltimkece.id Kamis, 7 Maret 2019, menjadi momen bahagia bagi Avifah Rindayanti dan Muliadi. Pada usia pernikahan ke-5, pasangan suami istri ini dianugerahi buah hati keempat. Si bungsu dinamai Keizha Anandhita Raveena.
Namun, kebahagiaan itu dibaluti kekhawatiran. Bayinya yang baru lahir mengidap gangguan pernapasan. Avifah melahirkan melalui bedah sesar di Rumah Sakit Ibu dan Anak Qurrata A’yun Samarinda. Dalam proses tersebut, Keizha terhirup cairan dan menggumpal di paru-paru.
Sang bayi perlu mendapat perawatan intensif. Ia dirujuk ke Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) pada 8 Maret 2019. Dilarikan ke Pediatric Intensive Care Unit, ruang perawatan intensif untuk bayi. Dirawat dalam inkubator.
Avifah dan Muliadi tak diberikan izin menginap. Keduanya hanya dipanggil ketika Keizha membutuhkan air susu ibu. Di luar itu pertemuan hanya memungkinkan pada waktu membesuk. Selebihnya, Avifah menjalani recovery di kediamannya, Jalan Damanhuri, Kecamatan Sungai Pinang.
Keadaan sang bayi diketahui berangsur membaik. Namun, pada Selasa siang, 12 Maret 2019, Avifah mendapat panggilan dari nomor tak dikenal. Dalam sambungan telepon, seorang pria berbicara mengatasnamakan rumah sakit tempat bayi dirawat.
Mengklaim bernama dr Hendra, ia menyampaikan kondisi Keizha yang sedang kritis. Dokter itu kemudian mengarahkan Avifah menghubungi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) IA Moeis. Perlu alat khusus untuk penanganan sang bayi. Dan fasilitas itu, disebut hanya dimiliki rumah sakit pelat merah di Samarinda Seberang tersebut.
Dari sambungan telepon, Avifah diminta mengajukan peminjaman perangkat dimaksud ke RS SMC. Pria di sambungan telepon kemudian memberikan nomor telepon pihak RSUD IA Moeis. Kontak dikirim atas nama dr Nugroho, orang yang diklaim menangani alat operasi tersebut.
Tanpa aba, Avifah menghubungi nomor itu. Dalam sambungan telepon, dr Nugroho meminta pembayaran administrasi sebesar Rp 3,8 juta. Muliadi sang suami, menyarankan Avifah segera memenuhi pembayaran yang diminta.
Dari tempat kerja, Muliadi bergegas pulang. Ia menjemput Avifah dan bertolak ke rumah sakit. Pembayaran ke dr Nugroho dilakukan via aplikasi mobile banking. Ditransfer ke rekening atas nama Eli Nurhayati. Proses pembayaran administrasi pun selesai.
Setelah mengirimkan bukti pembayaran, Avifah kembali dihubungi dr Nugroho. Alat operasi disebut sedang dibawa ke RS SMC. Muliadi dan Avifah melanjutkan perjalanan ke rumah sakit yang terletak di Jalan Kadrie Oening, Kecamatan Samarinda Ulu. Namun, beberapa waktu kemudian ponsel kembali berdering.
Pria yang sama kembali menelepon. Dari sambungan itu, dikatakan bahwa masih ada alat yang dibutuhkan. Biaya administrasi kali ini Rp 5 juta. "Katanya alat kedua. Alat yang pertama sudah berangkat. Pas di telepon itu ada suara sirene ambulans. Jadi seakan memang alat diantar ambulans. Makanya saya percaya," sebut Avifah kepada kaltimkece.id.
Avifah dan Muliadi sudah tak memiliki uang. Namun demi keselamatan si buah hati, keduanya memutuskan mencari pinjaman. Muliadi pun mendapat talangan dari pimpinan tempatnya bekerja. Sang pimpinan sendiri mengirim Rp 5 juta ke rekening yang sama.
Setelah pembayaran kedua, Avifah dan Muliadi tiba di rumah sakit. Namun, keduanya tak menemukan anaknya di ruang operasi. Bayi mereka malah masih dirawat di tempat semula. Salah satu perawat mengatakan Keizha dalam keadaan sehat. Operasi yang dimaksud pria dalam sambungan telepon juga tidak benar. Avifah dan Muliadi segera sadar telah menjadi korban penipuan mengatasnamakan RS SMC.
Saat ditemui di kediamannya pada Jumat malam, 15 Maret 2019, Avifah mengungkapkan keheranannya. Pelaku penipuan seakan memiliki rekam medis anaknya. Secara rinci data Keizha bisa disebutkan. Padahal, tak seharusnya data tersebut dimiliki selain pihak rumah sakit.
"Anak saya didiagnosa di paru-parunya seperti ada gumpalan lemak dan cairan. Berbahaya sekali. Sesak pernapasannya. Makanya saya dapat kabar begitu ketakutan anak saya kenapa-kenapa," terang Avifah.
Saat kejadian, Avifah juga bertemu salah satu orangtua pasien yang juga korban penipuan dengan modus sama. Dari pernyataan rumah sakit kepadanya, kejadian serupa sudah beberapa kali terjadi.
Avifah melaporkan kejadian ini ke kepolisian. Namun, laporan penipuan tidak diterima. Kurangnya bukti berupa buku tabungan dari rekening untuk mengirimkan uang jadi alasan. "Uang itu kami pinjam. Ditransfer pakai rekening bos suami. Jadi enggak bisa kami sertakan karena sifatnya pribadi. Kalau bukti transfer ada. Tapi, polisi enggak mau terima," terangnya.
Avifah kecewa dengan pihak rumah sakit. Dianggap membiarkan data pasien bocor. Ia berharap ada ganti rugi. "Mau enggak mau saya tetap cicil untuk pembayaran pengobatan. Saya sudah minta keringanan karena penipu mengatasnamakan rumah sakit. Juga memiliki data lengkap kami. Seharusnya data pasien dilindungi," sebutnya.
Ia berharap RS SMC tidak lagi lalai menjaga data medis. Kejadian yang menimpa dirinya, semoga menjadi pelajaran. Yang terpenting, kondisi Keizha sudah membaik. "Alhamdulillah, anak saya sudah sehat. Anak saya keluar setelah kejadian, 13 Maret 2019," tambah Avifah.
Dokumen Rahasia
Negara menempatkan rekam medis pasien sebagai dokumen rahasia. Sebagaimana disebutkan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, dokumen rekam medis berisi catatan dan identitas pasien. Termasuk hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien.
Dari UU Praktik Kedokteran, dokumen rekam medis dimiliki oleh dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan. Sedangkan isinya merupakan kepemilikan pasien. Sebagaimana disebutkan ayat 1, rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi, dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan 269/2008 tentang Rekam Medis, membatasi pihak-pihak yang dapat mengakses dokumen ini. Sebagaimana disebutkan Pasal 12 ayat 4, ringkasan rekam medis hanya bisa didapatkan pasien, keluarga pasien, orang yang diberi kuasa pasien atau keluarga pasien. Selain itu, orang yang mendapat persetujuan tertulis dari pasien atau keluarga pasien.
Undang-Undang 44/2009 tentang Rumah Sakit juga menegaskan kerahasiaan rekam medis. Dalam Pasal 38 ayat 1, disebutkan jika segala sesuatu yang berhubungan dengan temuan dokter atau dokter gigi dalam rangka pengobatan, dicatat dalam rekam medis yang dimiliki pasien dan bersifat rahasia.
Kasus Pertama
Longaday Hieronimus Aldo Yediya, humas RS SMC, membenarkan laporan penipuan dari pasien. Dalam hal, pihaknya menanggapi dengan melakukan evaluasi. RS SMC melangsungkan investigasi penyebab data privasi pasien dimiliki pelaku penipuan.
Aldo menegaskan komitmen rumah sakit menjaga data medis. Namun, dugaan kebocoran masih belum bisa dipastikan penyebabnya. "Kami masih terus melakukan investigasi terhadap kasus ini. Kami sudah maksimal menjaga privasi pasien," terang Aldo.
Menurutnya, kebocoran data pasien bisa disebabkan berbagai faktor. Namun, pihaknya tak ingin berspekulasi hingga investigasi selesai.
Di sisi lain, Aldo mengklaim kasus penipuan begini baru pertama kali di RS SMC. Selama ini, pihak rumah sakit disebut tidak menerima keluhan pasien lain soal ini. "Setiap ada keluhan, pihak kami memfasilitasi pasien yang mengeluhkan itu. Selama ini tidak ada laporan intens terkait laporan kasus penipuan," klaimnya.
Meski begitu, ditegaskan bahwa data privasi pasien sangat tidak mungkin bocor. Data berbentuk berkas rekam medis. Di dalamnya berisikan catatan pasien sejak awal dirawat hingga diizinkan pulang. Ia memastikan data benar-benar rahasia pihak rumah sakit. "Spekulasi ada oknum orang dalam, kami belum bisa beri keterangannya. Masih proses penanganan kita.”
Aldo meyakini pelaku penipuan orang di luar lingkungan RS SMC. Dalam konteks ini, ia menyebut pihak rumah sakit juga sebagai korban. Ulah penipu sama saja pencemaran nama baik RS SMC. Atas dasar itu, pihak rumah sakit tak akan mengganti kerugian korban. "Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Itu transaksi antara korban dan penipu. Ibaratnya, kami hanya dicatut," pungkasnya. (*)
Editor: Bobby Lolowang