kaltimkece.id Dua celana dan selembar pakaian diterima Ngayoh, seorang anak petinggi atau kepala kampung di Barong Tongkok. Ia baru saja lulus “ujian” masuk sekolah ketika umurnya genap enam tahun. Ujian itu sederhana. Ngayoh hanya perlu melintangkan tangan kanannya di atas kepala kemudian menggapai telinga kiri. Jika ujung jarinya bisa menyentuh telinga, Ngayoh boleh bersekolah.
Pagi itu, 2 Agustus 1948, Ngayoh akhirnya sah menjadi murid SD Katolik Bersubsidi milik Yayasan Pendidikan Pengajaran dan Pembangun Rakyat. Sekolah yang punya enam kelas tersebut berdiri di Barong Tongkok, kini ibu kota Kutai Barat. Bangunannya sederhana. Atapnya dari anyaman bambu. Hanya beberapa ruangan yang beralas papan. Sisanya masih tanah. Ngayoh punya 17 teman sekelas di situ.
Semua murid SD Katolik Bersubsidi sekolah dengan bertelanjang kaki. Untuk tulis-menulis, para murid menggunakan batu tulis sebagai pengganti buku tulis. Batu tulis terbuat dari batu kapur yang dibingkai. Lebarnya seperti buku tulis biasa. Di atas batu tulis tersebut, para murid menggunakan pensil yang dibagikan sekolah untuk mencatat.
Ngayoh lahir di Barong Tongkok, 20 Agustus 1942. Ia sudah duduk di kelas empat ketika seorang guru yang sangat dekat dengan keluarganya mengajak berbicara. Guru tersebut berkata kepada Ngayoh, “Nama depanmu sebaiknya Yurnalis, bagaimana?” (Seabad Mengalir di Mahakam-6: Ngayoh ke Samarinda, Katolik ke Samarinda, Surat Kabar Harian Kaltim Post, 2012)
Ngayoh mengangguk kendati sama sekali tidak mengetahui arti dari Yurnalis, nama yang diberikan kepadanya. Yang dia tahu, nama "Ngayoh" berarti dapat diterima semua pihak.
Pada waktu Ngayoh kecil, belum semua penduduk di kampungnya memeluk Katolik. Ayah Ngayoh yang petinggi kampung tadi juga tidak. Walaupun demikian, ayahnya tidak keberatan bila Ngayoh menganut Katolik. Lagi pula, para biarawan dan pengasuh di sekolah selalu baik kepada warga setempat.
“Ketika dibaptis, saya baru tahu bahwa nama “Yurnalis” tidak lazim dipakai sebagai nama baptis. Nama itu tidak sengaja diberikan,” tutur Ngayoh dalam wawancara. Ia pun dibaptis dengan nama Petrus Kanisius Yuvenalis Yurnalis Ngayoh. Selanjutnya, ia memakai nama Yurnalis Ngayoh. Sebuah nama yang kelak masuk dalam daftar gubernur Kaltim.
Merantau ke Samarinda
Ujian nasional kelulusan Sekolah Rakyat berhasil dilewati Ngayoh pada 1955. Ayahnya ingin Ngayoh melanjutkan pendidikan di Samarinda. Kebetulan, ayah Ngayoh kenal dengan dua pastor asal Belanda di Kota Tepian. Kedua agamawan itu bernama Pastor Marinus Schoots MSF dan Monsinyur Jacobus Romeijn MSF. Keduanya pernah memimpin paroki di Barong Tongkok pada dekade 1930. Di rumah kedua pastor itu, Ngayoh tinggal.
Ngayoh yang sudah masuk SMP 1 Samarinda tinggal di pastoran yang dindingnya mulai reyot. Ia tinggal setahun di situ. Di depan rumahnya, berdiri gereja tua dengan menara kayu agak miring ke belakang. Lokasi gereja yang dimaksud tak lain Katedral Santa Maria Penolong Abadi di Jalan Jenderal Sudirman. Sepanjang tinggal di sana, Ngayoh mengaku, sering melihat Pastor Schoots dan Romeijn berdoa bersama.
Ngayoh lulus SMP tiga tahun kemudian atau pada 1958. Ia melanjutkan pendidikan ke SMA 1 Samarinda lalu kuliah di Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, pada 1961. Masuk fakultas ekonomi, Ngayoh menjadi sedikit dari antara putra Dayak, termasuk anak-anak Kaltim, yang bisa kuliah di UGM pada masanya.
Menjadi Gubernur Kaltim
Ngayoh aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan di Jogjakarta. Ia dikenal sebagai aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia atau PMKRI. Setelah meraih gelar sarjana ekonomi pada 1968, Ngayoh berkhidmat sebagai pegawai negeri. Ngayoh yang sudah mengenakan kacamata tebal sejak muda lantas mengabdi di Akademi Pendidikan Dalam Negeri di Samarinda sampai 1975. Setelah itu, Ngayoh dipercaya sebagai sekretaris wilayah Daerah Tingkat II Paser (1975-1980) dan Kutai (1980-1987).
Karier kepegawaian Ngayoh terus menanjak ketika menjabat Pembantu Gubernur Kaltim Wilayah Selatan di Balikpapan. Waktu itu, gubernur memiliki dua pembantu yang bertugas di wilayah utara dan selatan. Pada awal reformasi, ayah empat anak ini menjabat sebagai wakil gubernur Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan.
Suami Helena Nontje ini menjadi wakil gubernur definitif mendampingi Suwarna Abdul Fatah lewat pemilihan gubernur di DPRD Kaltim pada 2003. Pada pemilihan kepala daerah terakhir di parlemen tersebut, pasangan Suwarna-Ngayoh mengalahkan calon kuat Awang Faroek Ishak-Abu Thalib Chair. Dalam sidang paripurna pada 2 Juni 2003, Suwarna-Ngayoh meraih 24 suara dari 45 anggota dewan (60 Tahun Kiprah dan Pengabdian Awang Faroek Ishak: Mentradisikan Karya Terbaik, hlm 288-289, 2008).
Tiga tahun kemudian, Gubernur Suwarna tersandung kasus korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi menyangkakan Suwarna terlibat dalam rasuah pembukaan 1 juta hektare lahan sawit. Suwarna akhirnya diberhentikan sementara pada 8 Desember 2006. Posisinya digantikan sang wakil, Yurnalis Ngayoh, sebagai pelaksana tugas. Ngayoh akhirnya dilantik sebagai gubernur definitif pada 11 Februari 2008. Ia menjabat selama lima bulan, sampai 25 Juni 2008. Waktu itu, usianya sudah 66 tahun.
Berpulang ke Rumah Tuhan
Senin, 8 Februari 2021, Ngayoh berpulang ke rumah Tuhan pada pukul 08.10 Wita di RSUD AW Syahranie, Samarinda. Kepada kaltimkece.id, Irene Yuriantini, putri kedua Yurnalis Ngayoh, mengatakan bahwa sejam sebelum wafat, mendiang sempat dibawa ke rumah sakit karena kondisi tubuh yang menurun.
"Sempat upaya kejut jantung namun tidak tertolong," jelas Irine. Ia menjelaskan, ayahnya memang memiliki riwayat diabetes. Kondisi fisik sang ayah juga sudah renta dimakan usia. "Bapak sudah tidak bisa makan banyak lagi. Sop kikil kesukaannya sudah tidak bisa disantap. Bapak cuma makan roti dan minum jus," kenangnya.
Menurut rencana, jenazah disemayamkan di Gereja Katolik Santo Lukas, Jalan Ahmad Yani. Mendiang akan dimakamkan di Pemakaman Katolik Sungai Siring pada Rabu, 10 Februari 2021. Selamat jalan, Pak Ngayoh, putra terbaik Kaltim. (*)
Dilengkapi oleh: Samuel Gading