kaltimkece.id Langit lumayan cerah ketika lima remaja yang duduk di bangku SMP berencana mengisi akhir pekan di objek wisata Danau Biru. Dari lima remaja yang tinggal dan bersekolah di Tanah Grogot, Paser, tersebut, tiga orang berangkat duluan dan tiba sebelum tengah hari. Dua teman yang lain menyusul selepas zuhur.
Ahad, 6 September 2020, pukul 15.00 Wita, kelima remaja tersebut akhirnya berkumpul di objek wisata Danau Biru, Desa Krayan Makmur, Kecamatan Long Ikis, Paser. Semua remaja ini berusia 14 tahun dengan inisial MHI, MRS, AB, MAPS, dan MI. Sesampai di tepi danau, dua dari lima remaja itu punya usul mengambil sebuah rakit di tengah danau. Rencananya, rakit tersebut dibawa ke tepian untuk bermain.
MRS dan MAPS pun terjun dan berenang menuju rakit tersebut. Dua rekan yang lain, AB dan MHI, menyusul di belakang, sebagaimana laporan tertulis Badan Penanggulangan Bencana Daerah Paser yang diterima kaltimkece.id.
Tragedi bermula ketika MHI yang sedang berenang kehabisan napas dan kelelahan. Melihat nyawa temannya terancam, MRS, MAPS, dan AB berusaha menolong. Namun demikian, mereka berenang tanpa alat keselamatan apapun seperti jaket penyelamat atau pelampung. Ketika ketiganya sudah dekat dengan tubuh MHI, terjadi tarik-menarik di antara mereka.
Keadaan semakin kacau sehingga MRS dan MAPS yang tadinya berusaha menolong justru tenggelam. Nyawa keduanya pun tidak tertolong. Jenazah keduanya ditemukan oleh Tim SAR setelah pencarian. MRS dan MAPS menjadi korban ke-38 dan ke-39 yang tenggelam di lubang bekas galian tambang di Kaltim sejak 2011.
Lubang Tambang Jadi Objek Wisata
Danau Biru di Long Ikis adalah objek wisata yang sedang naik daun di kalangan milenial lokal. Airnya biru kehijau-hijauan, khas bekas galian tambang. Tanah di sekitarnya lebih banyak mengandung pasir. Pohon kelapa sawit yang belum tinggi mengelilingi sebagian besar danau. Untuk mencapai lokasi tersebut tersebut, pengunjung memang mesti melewati liku-liku jalur perkebunan kelapa sawit.
Di ujung jalan dekat Danau Biru, sebuah pelang dengan tulisan tangan menunjukkan tarif masuk. Satu sepeda motor dan pengendaranya dikenai biaya Rp 5.000. Ketika sudah di dalam lokasi wisata, sebuah pondok beratap daun adalah tempat berteduh. Pengelola juga menyediakan beberapa bangku kayu di bawah pohon akasia untuk bersantai di tepi danau. Tak ada pagar pembatas di sekeliling danau. Pengunjung bebas untuk berenang.
Menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Danau Biru dulunya adalah lokasi galian tambang PT SDH. Perusahaan ini pernah memegang izin di dua lokasi. Yang pertama di Long Ikis, Paser, seluas 186,05 hektare dengan status clean and clear (CNC). Izin PT SDH di sini diakhiri gubernur Kaltim pada 2017. Lokasi izin perusahaan kedua adalah di Penajam Paser Utara seluas 3.700 hektare, juga sudah CNC. Izin yang diterbitkan pada 2011 sedang diperpanjang.
“Dalam hal Danau Biru, perusahaan sudah tidak beroperasi. Jika lubang bekas tambang tidak ditutup justru dijadikan lokasi wisata, ini adalah kegagalan reklamasi,” tegas Pradarma Rupang, dinamisator Jatam Kaltim.
Rupang mengatakan, harus dilihat pengelola objek wisata ini apakah perorangan, pemerintah desa, kabupaten, atau provinsi. Masalahnya, mengubah lubang bekas tambang menjadi objek wisata perlu proses yang ketat. Objek wisata dari lokasi bekas tambang harus diuji kelayakan, memiliki izin lingkungan, dan melibatkan pemerintah dalam hal ini Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim. Kolam bekas tambang juga harus dipastikan tidak mengandung logam berbahaya.
“Fakta dari Danau Biru ini, reklamasi lubang galian menjadi objek wisata ternyata belum tentu aman,” kata Rupang. Padahal, tujuan alih fungsi tersebut salah satunya adalah menghindari jatuhnya korban. Jatam menegaskan, reklamasi terbaik adalah menutup lubang tambang dan mengembalikan fungsinya seperti semula.
Jatam mengingatkan, danau wisata dari bekas lubang tambang sangat berbahaya karena dasarnya curam. Berbeda dengan danau alami yang landai. Lebih dari itu, ada protokol keamanan untuk lubang bekas tambang yang disepakati pemerintah dalam pakta integritas pada 2016. Protokol tersebut ialah wajib memasang pelang peringatan, dipagari untuk pembatasan akses, dan menempatkan petugas jaga.
“Ketika dialihfungsikan menjadi objek wisata, pertanyaannya, apakah kewajiban itu gugur?
Korban Ke-38 dan Ke-39
Dua nyawa yang hilang di Paser menjadikan total korban jiwa akibat lubang tambang di Kaltim menjadi 39 orang sejak 2011. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak. Berdasarkan periodenya, korban paling banyak jatuh pada 2011-2015 dengan total 19 nyawa. Daerah dengan korban jiwa terbesar adalah Samarinda dan Kutai Kartanegara. Pada periode ini, kewenangan pertambangan masih dipegang pemerintah kota/kabupaten.
Periode kedua adalah masa transisi yakni pada 2016. Seiring berlakunya UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, seluruh kewenangan pertambangan beralih ke pemerintah provinsi. Masa transisi ini ditandai dengan peralihan seluruh dokumen perizinan dari kabupaten/kota ke provinsi. Waktu itu, pemprov menerima 1.404 IUP dengan total luas izin 4,13 juta hektare.
Pada periode transisi ini, Gubernur Awang Faroek Ishak mencabut 670 IUP. Namun, pada periode ini korban jiwa tidak berhenti berjatuhan. Sejak kewenangan pertambangan beralih ke pemprov di masa Gubernur Awang Faroek, atau pada 2016 hingga akhir 2018, sebanyak 10 anak tewas di kolam bekas tambang.
Periode ketiga adalah yang sekarang. Kewenangan pertambangan dipegang Pemprov Kaltim yang diarsiteki duet Isran-Hadi (sebelum dialihkan ke pusat melalui UU Minerba tahun ini). Sejak dilantik 1 Oktober 2018, sebanyak 10 nyawa telah melayang hingga 2020.
Jatam mengklaim, setidaknya masih ada 1.735 lubang tambang batu bara di sekujur Kaltim yang ditinggalkan tanpa reklamasi dan rehabilitasi. Khusus di Paser, kabupaten yang menjadi lokasi korban ke-38 dan ke-39, sebanyak 60 bekas galian ditemukan. (*)
Ikuti berita-berita berkualitas dari kaltimkece.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: