kaltimkece.id Iring-iringan kapal perang berbendera matahari terbit yang angkat sauh dari Davao, Mindanau, Filipina itu tiba di Tarakan pada 11 Januari 1942. Panji-panji militer Jepang segera turun dari kapal. Dalam hitungan jam saja, tentara Nippon sudah menyerbu pulau kecil di bagian utara Kalimantan tersebut.
Sehari setelah serbuan itu, seorang pastor Belanda bernama Marinus Schoots menerima perintah dari pasukan Jepang. Rohaniwan Katolik itu diminta angkat kaki ke Pulau Jawa atau dibunuh. Jepang rupanya marah besar kepada orang-orang Eropa.
Kegusaran tersebut disebabkan karena militer Belanda membumihanguskan semua instalasi minyak di Tarakan begitu tahu akan diserang Jepang. Padahal, pabrik minyak itulah, alasan utama Jepang menginvasi Tarakan. Negara tersebut perlu sumber bahan bakar untuk armada militer mereka di Perang Dunia II.
"Kita tetap di sini. Umat memerlukan kita apapun akibatnya," kata Schoots kepada rekannya, Pastor Wilhelmus Leeferink, seperti dikutip dari Mereka Itu Datang dari Jauh (1997). Buku itu ditulis Monsinyur (Mgr) WJ Demarteau MSF yang diedit Pastor Pieter Sinnema MSF, yang berkarya di paroki Santa Theresia, Prapatan, Balikpapan, pada 2011.
Situasi Tarakan hari-hari berikutnya mencekam. Jepang yang sudah kadung marah menangkap lebih dari 200 prajurit Belanda. Semua prajurit itu diantar kepada malaikat maut dengan dilempar ke dalam laut. Tarakan akhirnya jatuh ke tangan Jepang. Schoots dan Leeferink yang bertahan kemudian ditangkap. Keduanya dibawa ke Banjarmasin dan ditahan bersama para biarawan Belanda yang lain.
Tidak perlu waktu lama bagi Jepang datang ke kota minyak kedua di Kalimantan: Balikpapan. Sebelum merangsek kota teluk itu, petinggi militer Jepang mengirimkan pesan kepada pimpinan militer Belanda di Balikpapan.
"Jika pabrik penyulingan dirusak, semua orang Eropa di Balikpapan akan dibunuh," demikian bunyinya.
Peringatan tersebut sama sekali tak dihiraukan. Belanda memilih menghancurkan fasilitas minyak dengan risiko menghilangkan nyawa para bangsa Eropa di Balikpapan. Seluruh instalasi Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM/setelah dinasionalisasi menjadi Pertamina) diserahkan kepada lidah api yang lapar. Kobarannya bahkan terlihat hingga Samarinda yang jauhnya 100 kilometer (In the Highest Degree Tragic, 2017, hlm 82).
Ancaman tentara Jepang tak di bibir belaka. Mereka membuktikan petisinya ketika mengetahui kilang BPM sudah jadi abu. Pada malam yang dingin, 23 Januari 1942, pasukan Jepang mendarat di Balikpapan. Keesokan harinya, seluruh kota sudah dikuasai. Pasukan Jepang mulai membantai orang-orang Eropa. Puluhan orang ditawan untuk membongkar muatan kapal Jepang, termasuk Pastor Adamus Janmaat, Pastor Fredericus van der Linden, dan Pastor Cornelis van de Hoogte. Kemungkinan besar, yang pertama kali dibunuh tentara Jepang adalah Pastor Linden sebagaimana penuturan Pastor Pieter Sinnema MSF dalam wawancara kepada penulis pada 2011.
Jepang telah menguasai Balikpapan sekian pekan ketika dua rohaniawan bernama Pastor Janmaat dan Pastor Hoogte, bersama 80 orang Eropa yang lain dibawa ke tepi pantai dekat benteng kuno di Klandasan. Selain rohaniwan, orang-orang Eropa itu adalah pejabat pemerintah setempat, pasien rumah sakit, dan dokter (Konflik Bersejarah: Runtuhnya Hindia Belanda, 2013, hlm 103).
Setiap dua orang dari mereka diikat dengan tali lalu dinaikkan ke kapal yang menuju lautan dangkal. Mereka pun direndam di dalam air setinggi dada. Selanjutnya, semua orang Eropa yang masih terikat itu kemudian diberondong peluru di hadapan masyarakat. Sejumlah orang Flores yang tinggal di Balikpapan kaget bukan kepalang beberapa jam kemudian. Mereka menemukan banyak jenazah di tepi laut. Di antara jasad itu, dua sosok yang amat mereka kenal: Pastor Janmaat dan Pastor Hoogte.
Rupanya, setelah dibuang ke laut dan ditembak tentara Jepang, jasad itu kembali ke pantai karena terdorong air pasang. Para pastor itu kemudian dikebumikan di dekat sebuah pohon kelapa. Makam kedua biarawan itu diberi tanda palang. Seorang berdarah Flores yang memakamkan para pastor itu sempat ditemui Pastor Pieter Sinnema MSF dan menceritakan kejadian ini kepadanya. Sayangnya, tanda palang itu hilang manakala pasukan sekutu menyerang balik Jepang tiga tahun kemudian.
Misi Katolik di Balikpapan pun berhenti total. Semua fasilitas hancur. Sekolah Roma Katolik di Jalan V&W, Klandasan, rata dengan tanah. Sekeadaan dengan sekolah, Gereja Santa Theresia berikut pastorannya di Prapatan juga hancur lebur.
Pelarian Para Rohaniwan
Pertemuan dalam keadaan darurat itu diadakan di pusat karya misi Katolik di Tering, sebuah kampung di pedalaman Sungai Mahakam (kini Kecamatan Tering, Kabupaten Kutai Barat). Pastor Jacobus Romeijn MSF berkumpul bersama seluruh biarawan yang bertugas di aliran sungai sepanjang 940 kilometer itu pada pertengahan Februari 1942 (kronik/catatan Kongregasi Keluarga Kudus/MSF, tanpa tahun).
Beberapa hari sebelumnya, pasukan Jepang sudah menguasai Samarinda. Pada 2 Februari 1942, tentara Matahari Terbit memasuki Samarinda dan membunuh lima pegawai Belanda. Para rohaniawan di Samarinda yang mendengar kabar tiga pastor di Balikpapan meregang nyawa di tangan Jepang segera pergi ke hulu Mahakam.
Para pastor, bruder, serta suster tersebut membentuk kelompok. Sebagian suster menetap di Tering untuk menantikan kemungkinan terburuk jika Jepang datang. Sisanya, sebanyak 13 pastor dan tiga bruder melewati riam-riam Mahakam untuk pergi ke Long Pahangai (kini kecamatan di Kabupaten Mahakam Ulu).
Para rohaniawan berpendapat, Jepang tidak akan berani mudik ke hulu Mahakam karena ada riam-riam itu. Perkiraan yang ternyata tak sepenuhnya benar. Empat bulan kemudian, tersiar kabar bahwa Jepang akan datang ke Long Pahangai. Pada 12 Juni 1942, masih menurut catatan Kongregasi Keluarga Kudus-MSF, sebanyak 16 biarawan dan delapan tentara Belanda melarikan diri ke Sungai Meraseh, anak Sungai Mahakam.
Jepang lalu mengirimkan seorang kurir. Kepada seorang guru di Long Pahangai, pengantar pesan itu berkata bahwa semua orang Eropa yang ditemui Jepang akan dibunuh. Para biarawan pun bersembunyi di gua-gua di dalam hutan selama sepekan.
Pelangi mulai menampakkan diri. Secercah harapan datang ketika para pastor yang mengungsi di pedalaman menerima sepucuk surat dari Samarinda. Seorang pastor bernama Johannes van der Linden (bukan Linden yang dipenggal Jepang di Balikpapan) mengabarkan bahwa mereka telah diterima baik oleh tentara Jepang di Samarinda. Para biarawan mendapat dua rumah. Satu bagi biarawan, satu lagi buat para suster.
Membawa perbekalan yang menipis, para pastor di pedalaman akhirnya pergi ke hilir. Mereka menaiki kapal Theresia milik karya misi Katolik. Perjalanan dalam kondisi buruk dan tanpa perawatan medis itu menyebabkan seorang bruder bernama Egidius Stoffels meninggal.
Di samping itu, ketika mereka melewati pangkalan militer Jepang di jalur Melak-Barong Tongkok yang disebut Samarinda II, kapal mereka ditahan. Sebulan lagi baru mereka tiba di Samarinda dan dibawa ke Banjarmasin.
Para Pastor yang mengungsi ke hulu Mahakam itu di antaranya Schoots, Romeijn, dan Linden (Romeijn kelak menjadi uskup Samarinda). Ketika dibawa ke Kalimantan Selatan, mereka bertemu dengan Pastor Leefrink dari Tarakan yang ditangkap Jepang pada awal invasi. Para biarawan ini akhirnya mengikuti Romusha, kerja paksa zaman Jepang. Para pastor dan bruder dipaksa menyelesaikan proyek bandara pesawat terbang amfibi Catalina di atas lahan gambut di tepi Sungai Barito. (*)
Baca seri selanjutnya: Derita Misionaris Asing di Kaltim (2): Dibatasi dan Diusir Negara pada 1958 hingga 1965
Senarai Kepustakaan
Demarteau W.J. 1997. Mereka Itu Datang Dari Jauh. Sejarah Misionaris Keluarga Kudus di Kalimantan. Diedit S. Piter. Samarinda: Komsos Samarinda.
Kehn, Donald M. 2017. In the Highest Degree Tragic: The Sacrifice of the U.S. Asiatic Fleet in the East Indies During World War II. United States: Potomac Books.
Oktorino, N. 2013. Konflik bersejarah: runtuhnya Hindia Belanda. Indonesia: PT Elex Media Komputindo.
Kronik Catatan Kongregasi Keluarga Kudus (MSF), Keuskupan Agung Samarinda, belum dipublikasikan.