kaltimkece.id Kebakaran hutan dan lahan yang begitu hebat pada Juli 1997 menjadi pembuka krisis lain yang silih berganti datang. Saking hebatnya bencana itu, kawasan hutan konservasi bahkan nyaris ludes di Kaltim. Luas hutan penelitian dan hutan lindung yang terbakar mencapai 47.596 hektare tersebar di Bontang, Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Hutan Lindung Sungai Wain Balikpapan, hingga hutan DAS Manggar (Solo Pos, 6 April 1998).
Pada waktu yang hampir bersamaan, Gubernur Kaltim HM Ardans memasuki akhir masa jabatannya. DPRD Kaltim mulai bersidang secara maraton untuk mencari kandidat yang menggantikannya sejak akhir 1997. Legislatif akhrinya menyepakati lima nama calon gubernur pada 25 April 1998.
Kelima kandidat itu adalah adalah Brigadir Jenderal TNI Suwarna Abdul Fatah, Drs Chaidir Hafiedz, Harsono SSos, Drs H Ahmad Maulana Sulaiman, dan Drs Yurnalis Ngayoh. Suwarna dan Chaidir pernah menjadi wakil gubernur. Harsono adalah ketua DPRD Kaltim. Adapun Sulaiman, merupakan bupati Daerah Tingkat II Kutai (Kompas, 27 April 1998).
Situasi politik yang mulai menghangat di Kaltim rupanya diiringi krisis sembako. Sejak Februari 1998, susu sukar sekali diperoleh masyarakat. Ramaon Dearnov Saragih, ketua harian Senat Mahasiswa Universitas Mulawarman, menyebutkan bahwa harga susu sudah setara lima bungkus rokok. Ramaon bercerita dalam memoarnya di Sketsa Unmul bahwa mahasiswa berinisiatif mengadakan operasi pasar. Mereka mengantarkan dua truk sembako kepada warga Samarinda (Sketsa Unmul, 2016).
Krisis ekonomi yang sudah mulai menampakkan wujudnya sejak 1997 mulai memuncak. Pada April 1998, Kompas dalam artikel bertajuk Inflasi Terus Menjadi Momok menyebut bahwa harga telur di Samarinda naik 4,15 persen. Kondisi ekonomi di Kaltim makin babak belur karena pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM sebulan kemudian. Sebagian masyarakat panik.
Keadaan itulah yang mengilhami mahasiswa untuk berdemonstrasi. Jejak unjuk rasa mahasiswa tersebut dimulai pada Februari 1998. Sejumlah mahasiswa Unmul berkumpul di depan Kantor Gubernur Kaltim. Mereka menuntut pemerintah provinsi segera mengadakan operasi pasar demi meringankan beban masyarakat. Berharap dapat bertemu Gubernur HM Ardans, mereka hanya dijumpai wakilnya, Chaidir Hafiedz.
Sencihan, ketua Senat Mahasiswa Unmul yang ikut dalam aksi berteriak saking kecewanya. "Gubernur kita seorang pengecut!" (Sketsa Unmul, 2016).
Memasuki April 1998 ketika kondisi ekonomi makin sulit dan krisis multidimensi sudah di depan mata, 200 mahasiswa Unmul berdemonstrasi di Kampus Gunung Kelua. Mereka segera diadang aparat di gerbang kampus saat hendak ke jalan raya. Bentrok antara mahasiswa dengan aparat pun tak terhindarkan. Batu-batu beterbangan ke angkasa.
Kapolresta Samarinda waktu itu, Letkol (Pol) Drs Trisna Setiawan, mengatakan bahwa kepolisian menghormati kesepakatan yang dibuat dengan kampus. Aksi unjuk rasa hanya boleh di dalam lingkungan kampus.
"Itu sebabnya, apa pun risikonya, kami tetap melarang mereka keluar kampus," tegas Kapolresta (Kompas, 17 April 1998).
Amarah Kenaikan Harga BBM
Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bak menuangkan bensin ke dalam sekam yang membara. Gelombang unjuk rasa yang sebelumnya dimotori mahasiswa kini meluas. Para sopir angkot turut serta memprotes kebijakan pemerintah Orde Baru yang dikeluarkan pada 4 Mei 1998. Kenaikan harga BBM dinilai bukannya memperbaiki keadaan melainkan membuat para sopir sengsara.
"Pengusaha bingung, pelajar tak terangkut, pertengkaran, sampai pelibatan polisi sebagai pengemudi menggantikan sopir yang mogok," demikian Kompas menulis situasi Samarinda pada 6 Mei 1998. Pada waktu itu, nilai mata uang rupiah terus dan terus melemah.
Kenaikan harga BBM ikut menyebabkan warga Samarinda menyerbu delapan SPBU dan pengecer minyak tanah. Kedelapan SPBU itu terletak di Jalan Kesuma Bangsa, Jalan RE Martadinata, Jalan Ir Juanda, Jalan Pangeran Suryanata, kawasan Sungai Kunjang, Temindung, Samarinda Seberang, dan Loa Janan. Sebanyak 3 juta liter premium yang dipasok ke delapan SPBU tadi ludes (Kompas, 5 Mei 1998).
Kenaikan harga BBM juga direspons para sopir angkot di Balikpapan. Pada hari pertama berlakunya harga baru BBM pada 5 Mei 1998, unjuk rasa berlangsung di Kota Minyak. Para sopir mendesak DPRD agar pemerintah daerah menyesuaikan tarif angkot. Puluhan angkot diparkir di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dekat Gedung DPRD Kota Balikpapan (Kompas, 6 Mei 1998).
Pada hari yang sama, sejawat mereka di Samarinda juga berunjuk rasa. Kahar Al Bahri atau Ocha adalah aktivis yang terlibat dalam gelombang aksi mahasiswa sepanjang Mei 1998 termasuk demonstrasi sopir angkot. Ia menuturkan ulang peristiwa tersebut kepada kaltimkece.id. Ocha, waktu itu mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Unmul, mengatakan bahwa pada pagi 5 Mei 1998, para sopir berkumpul di beberapa titik. Satu di antaranya, di simpang Terminal Muara Badak (kini simpang Mal Lembuswana).
Massa bergerak menuju Jalan Ruhui Rahayu sekitar pada pukul 10.00 Wita. Mereka mengajak mahasiswa Unmul bergabung. Kompas edisi 7 Mei 1998 memperkirakan, jumlah awal mereka sekitar 50 orang. Para mahasiswa lalu menumpang dengan duduk di atas kap angkot dan kembali ke simpang Terminal Muara Badak.
Para sopir trayek B ini menunjuk seorang sopir bernama Mahmud sebagai pimpinan dan bergabung dengan sopir trayek A dan C. Sementara itu, Ocha yang memimpin massa mahasiswa bersama Wisanggeni dan Sencihan, menyatakan bahwa massa hendak ke Balai Kota Samarinda. Tujuan tersebut akhirnya diubah ke kantor DPRD Samarinda.
Menurut laporan Kompas, sekitar 400 sopir angkot dari ketiga trayek tadi tiba di Jalan Basuki Rahmat tepat tengah hari. Mereka mendesak Pemerintah Kotamadya Samarinda menetapkan tarif angkutan yang baru menyusul kenaikan harga BBM. Para sopir juga menuntut kebijakan seragam bagi sopir angkot dihapus sebab melahirkan praktik pemerasan oknum petugas terhadap sopir yang tak mengenakannya.
Aksi para sopir menyebabkan Jalan Basuki Rahmat lumpuh total selama tiga jam. Aktivitas perkantoran di sepanjang ruas jalan itu, seperti Kantor Kanwil Depsos Kaltim, Kanwil Depdikbud Kaltim, dan Kanwil Departemen Agama, praktis terhenti. Demonstran kemudian menggelar poster dan memasang bendera merah putih setengah tiang. Aksi ini diawasi dua satuan setingkat kompi dari Polresta Samarinda dan Kodim 0901/Samarinda.
Ketua DPRD Samarinda saat itu, Mudjanarko, datang menemui demonstran. Mengenai tarif baru, ia mengatakan, ketentuan itu sudah dikeluarkan Wali Kota Samarinda. Seingat Ocha, aksi unjuk rasa berhenti saat para sopir angkot sepakat dengan tarif yang baru. Mengenai penghapusan seragam, Mudjanarko mengatakan bahwa DPRD sepakat dengan tuntutan tersebut. Aksi pun berakhir sore hari.
Dua Hari yang Penuh Kekerasan
Aksi besar mahasiswa dimulai keesokan harinya, 6 Mei 1998. Berdasarkan penuturan Sencihan yang dicatat Sketsa Unmul, mahasiswa berkumpul secara spontan. Mereka memenuhi Jalan Ruhui Rahayu (kini Jalan Letjen S Parman) dan berhadap-hadapan dengan polisi. Mahasiswa maju ke arah Jalan Belibis (kini Jalan AM Sangaji). Kantor Gubernur Kaltim menjadi tujuan utama mereka.
Massa yang merangsek ke Jembatan Sungai Karang Mumus segera disambut tentara yang sudah berjaga. Barisan depan mahasiswa pun mencoba menembus blokade tersebut. Bentrokan tak terelakkan. Sencihan selaku koordinator lapangan bergerak maju barisannya untuk menenangkan rekan-rekannya. Tiba-tiba, kepalanya terkena lemparan paving block. Ia sempat tak sadarkan diri.
Ramaon selaku ketua harian Senat Mahasiswa Unmul mengambil alih pimpinan aksi. Ia memerintahkan rekan-rekannya mundur ke kampus. Mereka juga berupaya membawa Sencihan, yang belakangan diketahui koma, ke rumah sakit. Baru mencapai Jalan Ruhui Rahayu, mereka lagi-lagi dihalangi polisi.
"Enggak tahu apa kalau ini lagi bawa orang koma," kenang Ramaon (Sketsa Unmul, 2016).
Aksi pada 6 Mei 1998 dilanjutkan keesokan harinya. Menurut Ketut Gunawan (kini dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unmul) yang dimuat IndoProtest pada 8 Mei 1998, aksi dimulai pukul 09.00 Wita. Mahasiswa menggelar mimbar bebas di Fakultas Ekonomi Unmul. Di tengah-tengah acara, mahasiswa menangkap seorang intel dan melemparinya dengan batu. Intel itu bergegas melarikan diri dari amukan.
Mahasiswa kemudian mengelilingi kampus dan membentuk barisan. Mereka mendapat tambahan massa dari anggota UKM, mahasiswa FKIP, dan Fakultas Kehutanan. Massa kemudian bergerak keluar kampus melalui pintu utama tetapi lagi-lagi diadang pasukan pengendalian huru-hara dari kepolisian.
Mengakali blokade tersebut, mahasiswa berputar balik dan menyusuri jalan setapak di samping Fakultas Kehutanan menuju Jalan Ruhui Rahayu. Aparat merespons dengan memagari ruas tersebut. Mahasiswa lalu membalas dengan membakar ban bekas yang didorong ke barisan aparat. Pasukan petugas sempat mundur dengan tujuan mencegah mahasiswa mencapai Jalan Dr Soetomo. Akan tetapi, sebagian mahasiswa justru lebih leluasa ke arah timur menyeberangi Jembatan Ruhui Rahayu.
Satu jam kemudian, massa sudah berbelok ke Jalan Tekukur sebelum menyusuri Jalan Gatot Subroto dan Jalan Merak. Mereka diadang aparat setibanya di Jalan Belibis. Sekitar 500 mahasiswa mencoba mendobrak blokade tetapi gagal. Aparat membalas dengan mengejar mereka. Para mahasiswa yang tercerai-berai bersembunyi di rumah-rumah warga. Sebagian bahkan disembunyikan warga di plafon rumah.
Dalam peristiwa ini, dua mahasiswi mencoba mendekati barisan aparat dengan membawa bunga. Pimpinan barisan menolak tetapi kedua mahasiswi itu tak patah arang. Mereka mencoba memberikan bunga tersebut kepada petugas lain dengan maksud menitipkan salam kepada anak istri mereka. Kedua mahasiswi itu berusaha memberitahu bahwa mahasiswa sedang berjuang untuk nasib dan aspirasi mereka juga. Petugas tersebut awalnya bergeming tetapi akhirnya dengan setengah berbisik mengatakan, "Kita sama, Dik."
Demonstrasi mahasiswa dilanjutkan pada 7 Mei 1998. Keadaan kian memanas. Aparat mengejar dan memukul para mahasiswa terutama di bagian kepala hingga babak belur. Sepeda motor mahasiswa dan warga yang terparkir juga dijungkirbalikkan dan dirusak.
Menyuarakan Asa di Gedung DPRD
Keesokan harinya lagi, 8 Mei 1998, sudah berbeda dari aksi dua hari sebelumnya. Mahasiswa Universitas Widya Gama Mahakam dan STMIK Widya Cipta Dharma ikut serta. Merekalah yang memulai aksi. Boleh dikatakan, aksi 8 Mei merupakan puncak dari aksi-aksi sebelumnya. Aksi ini dimulai pukul 08.00 Wita saat 70 mahasiswa UWGM bergerak ke Jalan M Yamin mengenakan jaket almamater sambil bernyanyi. Lima belas menit kemudian, mereka diikuti 68 mahasiswa STMIK Widya Cipta Dharma yang juga mengenakan almamater.
Pada pukul 08.30 Wita, massa berkumpul di depan pintu gerbang kampus Unmul untuk menunggu kawan-kawan Kampus Hijau. Setelah mengatur barisan, mereka bergerak menyusuri Jalan M Yamin menuju Gedung DPRD Kaltim di Jalan Teuku Umar. Meski menyebabkan kemacetan, sebagian masyarakat bersimpati dan justru ikut serta dalam barisan.
Mahasiswa mengutus lima orang untuk bernegosiasi dengan komandan pengendalian masyarakat yang telah menunggu di depan Gedung PKK. Mereka sepakat bahwa aksi boleh dilanjutkan dengan pengawalan aparat. Letkol (Pol) Drs Trisna Setiawan selaku Kapolresta Samarinda berjalan sekitar 5 meter di depan barisan terdepan massa dengan pengawalan beberapa petugas.
Massa kemudian melewati kampus Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda di Jalan Juanda. Mahasiswa Untag segera bergabung ke barisan. Sepuluh menit kemudian, mereka melintasi rumah Gubernur HM Ardans. Dua batu sempat dilempar ke rumah itu tetapi tidak merusak apa-apa. Akhirnya, massa sampai di depan gedung DPRD Kaltim pukul 11.15 Wita. Jumlah mereka sudah 2.500 orang, disusul 1.000 mahasiswa lagi dari Polnes yang bergerak dari Samarinda Seberang. Massa juga bertambah dari mahasiswa STAIN dan Unmul yang bergabung belakangan.
Sejumlah anggota dewan menemui ribuan demonstran. Mereka membacakan tuntutan yaitu reformasi politik dan penurunan harga BBM, tarif listrik, air, dan sembako. Mereka juga membacakan daftar nama mahasiswa yang menjadi korban aparat pada aksi sebelumnya serta meminta pertanggung jawaban Mayor Arief yang menyebut para demonstran sebagai Gerakan Pengacau Keamanan. Seingat Ocha ketika diwawancarai kaltimkece.id, Mayor Arief adalah petinggi Kodim atau Korem di Samarinda.
Harsono, ketua DPRD Kaltim, menemui mahasiswa tepat pada tengah hari. Ia diminta membacakan kembali tuntutan mahasiswa dengan dilatari replika keranda mayat. Ketut mencatat bahwa tiap kali Harsono berkomentar, mahasiswa membalasnya dengan sinis. Lima menit kemudian, aparat yang bertugas di sekitar gedung meninggalkan tempat. Mahasiswa pun bereaksi dengan sinis.
Harsono rupanya disebut hendak meninggalkan massa. Alasannya, ia ingin salat Jumat. Akan tetapi mahasiswa menduga Harsono khawatir karena massa tak terkendali. Beberapa mahasiswa pun mencegatnya. Seorang di antara mereka berteriak, "Bapak tidak perlu salat Jumat di tempat lain. Kita bisa salat Jumat bersama di sini!"
Harsono dan mahasiswa akhirnya bersama-sama menunaikan salat jumat di dalam gedung. Setelah ibadah selesai, mahasiswa kembali ke kampus sembari meneriakkan yel-yel "Hidup rakyat!" (bersambung)
Baca serial selanjutnya: Detik-Detik Reformasi Mei 98 di Benua Etam (2): Puluhan Ribu Mahasiswa Tuntut Soeharto Turun
Senarai Kepustakaan
8 Kawasan konservasi terbakar, Solo Pos, 6 April 1998.
Daerah Sekilas: Samarinda - Lima nama calon Gubernur Kaltim disepakati DPRD setempat, Kompas, 27 April 1998.
Diumumkan di Siang Bolong: Panik, Macet, Penumpang Terlantar, Kompas, 5 Mei 1998.
Di Berbagai Kota, Angkutan Kota Mogok, Kompas, 7 Mei 1998.
Gunawan, Ketut. Rusuh di Samarinda, IndoProtest, 8 Mei 1998.
Irjen Depdagri Terima Laporan Akhir Jabatan Gubernur Kaltim, Berita Yudha, 31 Desember 1997.
Pemda Belum Siap, Sopir Angkutan Bingung, Kompas, 6 Mei 1998.
Terjadi Bentrokan: Mahasiswa dan Aparat Luka-luka, Kompas, 17 April 1998.
Unmul 1998: Jakarta Bergejolak, Samarinda Ikut Bergerak, Sketsa Unmul, No. 27, Mei-Juli 2016, hlm. 3-4.