kaltimkece.id Sejumlah tempat di Indonesia mengalami kerusuhan rasial sewaktu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Samarinda kembali turun ke jalan. Pada 13 Mei 1998 itu, gerakan mahasiswa di Kaltim merespons penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti. Aksi kali ini terbilang lebih masif. ABRI sampai-sampai mengerahkan enam hingga tujuh panser dari Balikpapan. Militer memblokade gerbang utama kampus di Jalan M Yamin. Suasana hari itu amat mencekam karena sudah seperti perang saja.
"Aparat berjaga mulai depan kantor Pengadilan Negeri, Jalan M Yamin sampai daerah Jalan Pramuka," demikian Sketsa Unmul menuliskan situasi tersebut.
Mahasiswa di bundaran Jalan M Yamin kemudian ditemui rombongan DPRD Kaltim yang dipimpin ketuanya, H Harsono. Ia didampingi dua pejabat lain yaitu Achmad Amins selaku wakil wali kota Samarinda dan H Abdul Waris Husain selaku Asisten Sekwilda Pemda Kaltim.
Mahasiswa yang tak puas dengan pertemuan itu bentrok. Mereka dikejar aparat sampai ke Perumahan Voorvo. Sencihan selaku koordinator aksi lapangan yang sebelumnya sempat koma, menyebut bahwa 17-20 orang menderita luka berat. Puluhan yang lain luka ringan. Adapun Kompas mencatat, tujuh orang luka berat dan dua di antaranya perlu rawat inap (Kompas, 14 Mei 1998).
Keesokan harinya, 14 Mei 1998, mahasiswa mengadakan aksi berkabung. Mereka menyanyikan Gugur Bunga karangan Ismail Marzuki (Kompas, 15 Mei 1998). Sepanjang itu, kondisi di Samarinda termasuk Kaltim masih belum stabil. Pemerintah memang telah menurunkan harga BBM. Akan tetapi, harga minyak tanah di pangkalan maupun eceran masih Rp400 sampai Rp500 per liter. Sebelumnya, harga minyak tanah di Samarinda hanya Rp315 hingga Rp350 per liter (Kompas, 18 Mei 1998).
Tumbangnya Rezim Orde Baru
Vox populi, vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Protes dan unjuk rasa telah menggema di seluruh negeri. Angin sudah berubah. Kekuasaan Orde Baru yang sebelumnya kokoh dan otoriter kini serapuh kayu yang lapuk. Hanya tinggal menunggu waktu bagi rezim untuk tumbang.
Pagi itu, 19 Mei 1998, mimbar bebas di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Unmul, dihadiri sejumlah dosen dari semua fakultas. Hasil mimbar bebas dirumuskan lalu diserahkan kepada rektorat untuk dibahas. Universitas Mulawarman kemudian mengeluarkan surat pernyataan sikap yang menuntut keikutsertaan dosen dan para pejabat universitas untuk menemani mahasiswa. Menurut rencana, aksi demo akbar itu diadakan keesokan hari, 20 Mei 1998.
Hanya Prof Rachmad Hernadi selaku rektor Unmul yang tidak bisa ikut karena sakit. Meski begitu, dukungannya kepada reformasi disebut tak perlu diragukan (Sketsa Unmul, 2016; Gunawan, 19 Mei 1998).
Pada hari yang sama, beberapa tokoh masyarakat mengadakan dialog dengan Wakil Gubernur Kaltim, Suwarna Abdul Fatah; serta Kolonel Inf M Djali Yusuf selaku komandan Korem 0901/Aji Surya Natakesuma. Hasil dari dialog tersebut adalah mahasiswa boleh apel secara tertib dan damai. Selain itu, warga diimbau tidak panik dan tetap beraktivitas seperti biasa (Kompas, 20 Mei 1998).
Aksi damai sekaligus yang terbesar di Kaltim itu akhirnya tiba. Tepat 20 Mei 1998, kelompok pro-reformasi yang menyuarakan tuntutan sekaligus merayakan Hari Kebangkitan Nasional, mengawali dengan apel. Ribuan mahasiswa dan dosen berkumpul di depan Auditorium Unmul. Tak seperti biasanya, para dosen tidak mengenakan seragam Korpri. Mereka memakai kemeja lengan panjang berwarna cerah atau putih dengan kain pengikat di lengan (IndoProtest, 19 Mei 1998).
Adam Idris, seorang dosen Fisipol Unmul, menceritakan pengalamannya mengikuti aksi. Ia memakai pita hitam di lengan kiri dan ikat kepala berupa pita berwarna merah. "Seingat saya, (aksi) itu merupakan pergerakan mahasiswa yang terbesar di Kaltim," ujarnya sebagaimana dikutip dari Sketsa Unmul.
Massa kemudian bergerak menuju Taman Makam Pahlawan (TMP) Kesuma Bangsa. Mereka menuju Kantor Gubernur Kalimantan Timur. Jumlah massa kali ini mencapai belasan ribu orang. Sencihan mencatat, Unmul membawa 8.000 orang, Poltek 3.000, dan diikuti Untag, Universitas Widya Gama, STMIK Samarinda, STIE Muhammadiyah, dan 30-an perguruan tinggi yang lain (Sketsa Unmul, 2016; Gunawan, 20 Mei 1998).
Aksi itu diikuti massa yang bergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa yang dibentuk Sencihan pada April 1998. Unmul, Untag, Poltek, dan Universitas Widya Gama Mahakam menjadi anggota pendirinya. Wadah itu dibentuk untuk mengkoordinasi aksi-aksi sepanjang Mei 1998 (Sketsa Unmul, 2016).
Kembali ke aksi 20 Mei 1998, aparat tak lagi mengadang gerak mereka seperti hari-hari sebelumnya. Para pengunjuk rasa menurunkan bendera merah putih menjadi setengah tiang di kantor-kantor pemerintah. Jalan dan aktivitas kota lumpuh hari itu. Setibanya di Kantor Gubernur Kaltim, mereka membacakan tuntutan. Pernyataan sivitas akademika Unmul dibacakan pembantu rektor I Unmul. Adapun mahasiswa, membacakan Panca Tuntutan Rakyat atau Pantura di samping sambutan dari wakil pemerintah daerah yang diikuti mimbar bebas.
Sivitas akademika Unmul menyatakan sikap mendukung gerakan mahasiswa dan mendesak pemerintah mengatasi keadaan yang genting. Aparat juga diminta tidak melakukan kekerasan. Terakhir, mereka menuntut Presiden Soeharto mengundurkan diri dan menyelenggarakan reformasi yang demokratis dan transparan.
Isi Pantura yang disampaikan mahasiswa antara lain: evaluasi kepemimpinan nasional Orde Baru, turunkan Soeharto dan bubarkan kabinet, menolak Komite Reformasi bentukan pemerintah, bentuk komisi anti-korupsi dan tindak tegas semua pejabat yang korupsi, dan stabilkan perekonomian nasional secepatnya. Ada juga tuntutan lain seperti mencabut gelar "Bapak Pembangunan" dan "Bapak Integrasi" yang disematkan kepada Soeharto. Kemudian mengadili pelaku penembakan Trisakti dan mengubah nama Taman Hutan Raya Bukit Soeharto menjadi Bukit Reformasi.
Soeharto akhirnya mengundurkan diri dari kursi presiden yang sudah 32 tahun ia duduki pada 21 Mei 1998. Mahasiswa Kaltim kembali mengadakan aksi. Seperti hari sebelumnya, massa kali ini mencapai 10 ribu orang dari lintas perguruan tinggi. Tuntutan utama hari itu adalah turunnya Soeharto, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya, penghapusan dwifungsi ABRI, dan hukuman kepada para pejabat yang terbukti melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Bedanya, aksi pada 21 Mei 1998 ini diwarnai bentrokan. Menurut Kahar Al Bahri atau Ocha, setidaknya tiga kali bentrokan antara mahasiswa dengan aparat pada hari itu. Lokasi bentrok yakni di perempatan Terminal Muara Badak (kini Mal Lembuswana), simpangan Jalan Awang Long (kini Taman Samarendah), dan depan Kantor Gubernur Kaltim.
Menurut Ocha yang waktu itu bertugas sebagai tim pengaman massa, aksi selesai setelah Soeharto mengundurkan diri. Hujan pun turun dengan derasnya membasahi tanah Samarinda.
"Bahkan, alam pun merayakan kemenangan kami," kenang Ocha. (*)
Baca serial sebelumnya: Detik-Detik Reformasi 98 di Benua Etam (1): Perjuangan yang Penuh Darah
Senarai Kepustakaan
Adam Idris: Unmul Pelopori Aksi Massa di Kaltim Era 1998, Sketsa Unmul, No. 27, Mei-Juli 2016, hlm. 6-7.
Bangsa Berada pada Titik yang Menentukan, Kompas, 18 Mei 1998.
Gunawan, Ketut. Unmul Demo 20 Mei, IndoProtest, 19 Mei 1998.
_____________. Samarinda Demo, IndoProtest, 20 Mei 1998.
Kisah Kahar, Motor Penggerak Aksi Mei 1998 Kahar Al Bahri, Menulis Catatan Harian Usai Aksi Seperti Soe Hok Gie, Sketsa Unmul, No. 27, Mei-Juli 2016, hlm. 12-13.
Kota Solo Penuh Asap, Kompas, 15 Mei 1998.
Protes dan Berkabung Warnai Aksi Mahasiswa, Kompas, 14 Mei 1998.
Rabu Ini Warga Surabaya Diminta Pakai Pita Biru, Kompas, 20 Mei 1998.
Suara Reformasi Bergelora, Kompas, 21 Mei 1998.
Unmul 1998: Jakarta Bergejolak, Samarinda Ikut Bergerak, Sketsa Unmul, No. 27, Mei-Juli 2016, hlm. 3-4.