kaltimkece.id Kota Bangun merupakan satu dari 20 kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Wilayah di hulu Tenggarong ini tercatat di berbagai naskah tempo dulu. Berbagai peristiwa dalam sejarah kesultanan Kutai berkaitan dengan tempat ini. Kota Bangun juga dikenang banyak pelancong asing yang sempat berkunjung pada masa lampau.
Nama Kota Bangun pertama kali tertera dalam naskah Hikajat Bandjar. Sebagai informasi, bagian akhir hikayat tersebut baru selesai ditulis pada 1663. Atas inisiasi Sir Thomas Stamford Raflles, sekitar 1815, salinan naskah tersebut diminta kepada Sultan Pontianak yang kemudian diserahkan ke Museum Inggris. Naskah itu selanjutnya menjadi bahan studi literatur para sarjana Barat di antaranya JJ Ras.
Dalam Hikajat Bandjar ini, Kota Bangun tertera di sub-halaman 3985.
"Dan Pangeran Dipati Anom baristri lawan Gusti Barap, anak Raden Aria Dikara itu, asal orang Kota Bangun. Pangeran Antasari itu baistri anak mantri, anak Kjai Wiramarta, namanja Njai Haju. Pangeran Dipati Anta-Kasuma baristri anak mantri Kahajan itu namanya Njai Tapu itu pada timang-timangannja." (Ras: hlm 468)
Dari keterangan tadi, nama Kota Bangun dikenal sebagai asal dari Raden Aria Dikara yang merupakan ayah dari Gusti Barap. Gusti Barap yang dimaksud di sini adalah Gusti Barap II, istri Pangeran Dipati Anom bergelar Penembahan Darat, yang kemudian menjadi Mangkubumi sekitar 1642 sampai 1652, sejak Sultan Inayatullah berkuasa. Pernikahan itu menjadi penanda telah dikenalnya syariat Islam oleh orang Kota Bangun pada pertengahan abad ke-17. Menurut Ras, Islam di Banjar telah masuk sekitar abad ke-16.
Maka tak salah jika Mikhail Coomans dalam bukunya, Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan menganggap Kota Bangun sejak dulu menjadi tempat penting bagi kunjungan Sultan Kutai. Kota Bangun juga termasuk tempat penyebaran awal Islam di tanah Kutai.
"Pada tahun itu, Paulus de Bock mengadakan kunjungan ke Kutai dan Berau. Dalam laporannya dikatakan bahwa pada waktu kunjungannya itu, raja Kutai berada di Kota Bangun. Kalau raja itu mengunjungi Kota Bangun, pastilah sebagian besar penduduknya telah masuk Islam. Maka perkembangan Islam sampai ke Kota Bangun sudah terjadi sebelum 1670," catat Coomans (hlm 21).
Sementara itu, dalam De Kroniek van Koetei yang ditulis Mees berdasar Silsilah Raja dalam Negeri Kutai, terdapat sebuah negeri bernama Negeri Paha di Kota Bangun. Setelah Muara Kaman dikalahkan, seorang pembesar Muara Kaman bernama Ki Narangbaja pergi ke Kota Bangun. Ia ingin bertemu Maharaja Talikat pemimpin Negeri Paha untuk melaporkan keadaan. Bahwasanya, negerinya telah dikalahkan Kutai. Ki Narangbaja dan Maharaja Talikat kemudian bersepakat membangun negerinya kemudian meminta suaka kepada Raja Kutai.
"Alkisah maka terseboetlah perkataan orang besar Moerakaman jang bernama Ki Narangbaja pergi ke negeri Kotabangoen maka kepada itoe Maharadja Talikat toeroen dari Negeri Paha nama negerinja maka bertemoelah dengan Ki Narangbaja di Kotabangoen itoe adapoen Negeri Paha itoe di darat Kotabangoenâ¦" (Mees, hlm 257).
Ada kemungkinan, sebelum masuknya Islam, terdapat pengaruh Buddha di Kota Bangun kuno. Hal ini ditandai dengan penemuan patung Buddha berbahan perunggu di Kota Bangun. FDK Bosh dalam Midden Oost Borneo Expeditie 1925 menuliskan tentang patung itu.
"Gambaran tentang ini pertama kali disebutkan oleh Von De Wall dalam buku hariannya pada 1846-1847, di mana ia menyebutnya sebagai patung batu bernama Gendawa-Gie. Patung itu kemudian menjadi milik beberapa keluarga yang disebut pengikut Muhammad yang tinggal di tepi Keeham, sebuah sungai kecil yang mengalir ke Danau Wis, dekat tepi kanan Sungai Mahakam antara Muara Muntai dan Kota Bangun." (hlm 402).
Kemudian Bosch melanjutkan, pada saat Carl Bock mengunjungi tempat itu pada 1879-1880, barulah diketahui ternyata patung itu tidak terbuat dari batu melainkan perunggu. Pemiliknya menganggap patung itu sebagai patung Dayak. Patung itu dikenal sebagai Dingaugi.
Temuan patung Buddha perunggu di Kota Bangun ini menjadi sangat penting. Patung tersebut menjadi penanda masuknya unsur seni rupa India di Nusantara. Menurut Bosch, ada kesamaan patung Budha di Kota Bangun dengan patung Budha berdiri dari Borubudur. Akan tetapi, terdapat ciri lain dari patung di Kota Bangun yang membedakannya. Ada semacam jaring laba-laba di telapak tangannya. Ciri ini diduga berasal dari zaman Ghandara.
Ghandara merupakan pusat Buddhisme di anak benua India, kini wilayah Pakistan Utara dan sebagian Afghanistan pada abad ke-3 SM hingga 1200 Masehi. Seni patung Buddha dari Gandhara diketahui memadukan gaya seni India, Helenistik (Yunani), dan Romawi.
"Adalah sebuah kejutan untuk menemukan bahwa perunggu Kota Bangun merupakan tiruan dari tradisi yang tidak tertulis namun telah berkembang dalam praktik hidup perdagangan dari para pematung. Penemuan ini menjadi penting sekarang karena Gandhara dapat ditunjukkan sebagai tempat asal-usul tradisi ini dan kita sekali lagi diiingatkan akan betapa pentingnya persimpangan peradaban Helenistik dan India ini bagi penyebaran seni Buddha di dunia. Timur Jauh (dalam hal ini Kota Bangun, pen) telah mengalaminya," tulis Bosch (hlm 407).
Patung Buddha dari Kota Bangun ini kemudian dibawa ke Museum Batavia pada 1925. Patung tersebut kemudian dipinjamkan ke Prancis untuk dipamerkan di Paris pada 1931. Patung ini entah rusak berat atau hilang karena kebakaran saat pameran itu berlangsung. Sebagaimana patung-patung Buddha Gandhara di Afghanistan yang dihancurkan Taliban, jejak patung Buddha dari Kota Bangun beserta pengetahuan tentangnya kini telah raib.
Nama Kota Bangun
Dalam pengetahuan lokal, nama Kota Bangun merupakan pemberian dari Puncan Karna. Pangeran Puncan Karna merupakan putra bungsu dari pasangan Aji Tulur Djangkat dan Muk Bandar Bulan dari Kerajaan Pinang Sendawar di Tanah Tunjung.
Pada suatu hari, Puncan Karna melakukan perjalanan untuk meminta suaka kepada Raja Kutai. Ia kemudian tertidur dan bermimpi. Pangeran lantas terbangun dari tidurnya di suatu perkampungan yang baru dibangun. Tempat itulah yang kelak menjadi Kota Bangun. Kisah ini masih bisa ditemukan, misalnya, dalam Salasilah Kutai karya D Adham (1979).
"Di tepi sungai sebelah kanan dilihatnya suatu perkampungan kecil. Puncan Karna menyuruh iring-iringan kapal mereka berlabuh di tepi perkampungan itu. Beberapa naik ke darat untuk mencari buah-buahan sebagai penambah bahan makanan mereka. Mereka tanyakan apa nama kampung itu. Ternyata kampung itu baru dibangun dan belum diberi nama. Kepada Puncan Karna diberitahukan oleh anak buah kapal yang turun ke darat itu tentang keramah-tamahan orang kampung itu dan bahwa kampung itu sendiri belum mempunyai nama. Maka sahut puncan Karna: 'Turun kembali ke darat dan sampaikan terima kasihku. Kemudian kuberikan nama kampung itu Tebangun, karena aku baru di sini bangun dari tidurku semalam (negeri ini sekarang dikenal dengan nama Kota Bangun).' Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan meninggalkan Kampung Tebangun." (Adham, hlm 163)
Jika mengambil kisah itu sebagai rujukan, dalam cerita Puncan Karna itu diketahui bahwa raja yang memerintah Kutai adalah Aji Maharaja Sultan. Dalam buku Dari Swapradja ke Kabupaten Kutai, tertulis bahwa Maharaja Sultan berkuasa dari 1360 sampai 1420. Dapat diperkirakan bahwa Kota Bangun yang awalnya berupa perkampungan mulai didirikan sekitar akhir abad ke-14 sampai awal abad ke-15.
Kota Bangun pada masa silam adalah persinggahan banyak pengelana asing. Petualang asal Norwegia, Carl Bock, merupakan seorang di antaranya. Di tengah perjalanannya ke Kutai pada 1878, Carl Bock sempat berkunjung ke Kota Bangun. Ia menyebut dalam catatannya bahwa Kota Bangun merupakan perkampungan besar dengan lebih dari 1.000 penduduk Melayu dan Bugis.
"Lebih dari selusin perahu pedagang dari Samarinda yang berlabuh di sini, bertukar atau menjual barang-barang mereka," tulis Bock.
Dari tulisan Carl Bock, dapat diketahui sedikit gambaran masyarakat Kota Bangun kala itu. Penduduknya menanam sedikit padi, selain pisang, tebu, dan jagung. Menurut Bock, seperti halnya di seluruh wilayah pedalaman, penduduk asli hanya memiliki sedikit makanan yang cukup untuk dikonsumsi sendiri. Hampir tidak ada barang yang dapat dibeli kecuali beras. Meskipun demikian, sungai penuh dengan ikan. Tak ada penjual ikan waktu itu mungkin karena melimpah.
Selain itu, penduduk Kota Bangun mengusahakan lilin, madu, dan gutta percha (orang lokal menyebutnya malau). Pada masa itu, pencarian gutta percha sepertinya menjadi salah satu mata pencaharian utama. Orang-orang Melayu menempuh perjalanan dua atau tiga hari ke dalam hutan dan perjalanan dilakukan secara berkelompok.
"Pada dua malam berturut-turut setelah saya tiba di Kota Bangun, setelah matahari terbenam, saya melihat sejumlah lentera mengapung di sungai. Setiap lentera terbuat dari setengah kulit buah kakao, mengandung minyak dan sumbu tebu. Awalnya aku mengira itu dihanyutkan oleh anak-anak yang sedang bermain. Tetapi melihat lentera-lentera kecil ini lagi pada malam ketiga, saya bertanya apa itu. Dan dijelaskan kepada saya bahwa lentera-lentara itu semacam lampu doa yang dinyalakan dan dihanyutkan di sungai oleh istri-istri orang-orang Melayu yang tengah pergi mengumpulkan mallau--semacam jimat untuk menjaga mereka tetap aman dan memastikan keberhasilan dalam pencarian mereka," catat Bock (hlm 118).
Pada masa kini, hampir tidak ditemukan lagi pencari malau di Kota Bangun. Tradisi menghanyutkan lentera di sungai seperti yang digambarkan Carl Bock juga telah punah. (bersambung)
Baca juga artikel selanjutnya dari tulisan ini: Kota Bangun dalam Catatan Masa Silam (2): Lokasi Pertahanan Sultan dan Kisah Awang Long
Penulis: Chai Siswandi, petani yang tinggal di Kota Bangun, Kutai Kartanegara
Senarai Kepustakaan
Adham, D. Salasilah Kutai. Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai. 1979
Bock, Carl. The Hunters of Borneo. Graham Brash. Singapore.1988
Boyce, David. Kutai East Kalimantan A Journal of Past and Present Glory. Kota Bangun. 1983
Buijs, D.W, Witkkamp, H. Endert, F.H. Siebers, H.C. Bosch, D.F.K. Midden Oost Borneo Expeditie 1925. Indisch Comite Voor Wetenschappelijke Onderzoekingen. Druk Van G. Kolff & Co. Weltevreden. 1927
Coomans, Mikhail. Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Cet.1. Jakarta: Gramedia 1987
Dalton. Mr Dalton Journal of A Tour Up The Coti River. Singapore Chronicle. March 1831
Eisenberger, J. Kroniek der Zuider En Oosterafdeeling van Borneo. Drukkerij: Liem Hwat Sing. Bandjermasin. 1936
Knappert, S.C. Beschrijving Van De Onderafdeeling Koetei. 1 Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia. 1905
Mees, C.A. De Kroniek van Koetei: Tekstuitgave Met Toelichting. Santpoort. N.V. Uitgeverij. 1935
Ras, J.J. Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. The Hague.1968